Sunday 12 February 2017

Bahasa Arab, dan Arus Globalisasi.

Abstrak: Artikel ini akan menjelaskan potensi yang dimiliki bahasa Arab, tantangan yang dihadapi bahasa Arab di era globalisasi, peluang-peluang yang dapat diwujudkan melalui bahasa Arab, khususnya di bidang pendidikan, faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan potensi dan peluang bahasa Arab, dan langkah-langkah strategis dalam menatap masa depan dan prospek bahasa Arab di Indonesia, terutama dari aspek bisnis, pariwisata, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Melalui tulisan ini, penulis mengajak pembaca untuk ikut serta berpartisipasi aktif dalam berfikir ulang dan merefleksidalam menentukan masa gemilang, keemasan, dan kemajuan bahasa Arab. Metodologi penulisan artikel ini adalah melalui pendekatan kualitatif, dengan pendekatan ilmu sosiolinguistik, dan dengan metode deskriptif analitis. Kata Kunci: Bahasa Arab, dan globalisasi. A. Pendahuluan Kita sekarang hidup di era digital (sekaligus era globalisasi ) Hal ini terjadi, tentu saja, akibat kemajuan pesat di bidang sains dan teknologi, terutama teknologi komunikasi dan informatika. Perkembangan dan perubahan dalam segala aspek kehidupan menjadi sangat cepat dan pesat. Berbagai peristiwa dari belahan dunia manapun, dengan teknologi satelit, bisa kita saksikan secara langsung (live, mubâsyir) dalam waktu yang bersamaan. Menurut Muhbib (2008:108), sejauh ini belum ada hasil penelitian yang memastikan sejak kapan studi bahasa Arab di Indonesia mulai dirintis dan dikembangkan. Asumsi yang selama ini berkembang adalah bahwa bahasa Arab sudah mulai dikenal oleh bangsa Indonesia sejak Islam dikenal dan dianut oleh mayoritas bangsa kita. Jika Islam secara meluas telah dianut oleh masyarakat kita pada abad ke-13, maka usia pendidikan bahasa Arab dipastikan sudah lebih dari 7 abad. Karena perjumpaan umat Islam Indonesia dengan bahasa Arab itu paralel dengan perjumpaannya dengan Islam. Dengan demikian, bahasa Arab di Indonesia jauh lebih “tua dan senior” di bandingkan dengan bahasa asing lainnya, seperti: Belanda, Inggris, Portugal, Mandarin, dan Jepang. Namun demikian, jika dibandingkan dengan bahasa Inggris yang bercitra lebih baik, mengapa bahasa Arab tampaknya termarginalkan oleh arus globalisasi. Citra bahasa Arab tampaknya kurang menggembirakan. Apakah posisi bahasa Arab sebagai bahasa kitab suci al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Saw. selama ini tidak cukup memberikan daya dorong (inspirasi dan motivasi) bagi umat Islam untuk mau mengkajinya secara lebih intens? Apakah studi basaha Arab di Indonesia hanya dipacu oleh semangat (motivasi) untuk memahami ajaran Islam semata, dan terbatas di kalangan kaum tradisional “santri” saja. Sebenarnya banyak pertanyaan reflektif yang bisa diajukan. Oleh karena itu, makalah ini mencoba menguraikan seputar potensi bahasa Arab, dan tantangan serta harapan di tengah arus globalisasi. B. Mengenal Potensi Bahasa Arab Bahasa Arab merupakan bahasa yang paling banyak menyandang atribut. Selain merupakan bahasa kitab suci alQur’an dan Hadis Nabi Muhammad Saw., bahasa Arab adalah bahasa agama dan umat Islam, bahasa resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bahasa nasional lebih dari 22 negara di kawasan Timur Tengah, lughat al-dhat, dan bahasa warisan sosial budaya (lughat at-turats). Jâbir Qumaihah, misalanya menegaskan bahwa bahasa Arab merupakan bahasa yang mendapat garansi dan “proteksi Ilahi” (al-himâyah al-Ilahiyyah), seiring dengan digunakannya bahasa Arab sebagai “wadah ekspresi” al-Qur’an (wi’â’ alQur’an). Bahasa Arab juga dipandang sebagai bahasa yang sangat orisinal; tidak memiliki masa kanak-kanak sekaligus masa renta (Mukram,1995:3). Perkembangannya sudah berlangsung lama, bahkan mungkin sudah ada jauh sebelum Masehi. ‘Abbâs al-‘Aqqâd, seperti dikutip oleh Abd alShabûr Syâhîn (1984:215) menyatakan bahwa budaya Arab telah ada jauh sebelum budaya Yunani. Budaya Arab telah lahir lebih dari 2000 tahun yang lalu. Warganya menjuluki meraka dengan nama Arab sebagaimana orang lain juga menyebut mereka dengan nama tersebut. Mereka berdomisili di jazirah Arabia sebelum mengadakan emigrasi ke beberapa tempat di sekitarnya. Karena itu, dapat dipastikan bahwa bahasa Arab telah eksis di jazirah Arabia dari sejak 3000 tahun yang lalu. Hanya saja, perkembangan bahasa Arab hingga turunnya al-Qur’an kurang mendapat perhatian dan pengkajian dari para ahli. Hal ini boleh jadi disebabkan karena minimnya informasi dan data terkait dengan perkembangan bahasa Arab praIslam di satu segi, dan di segi lain karena para sarjana lebih tertarik kepada fenomena bahasa Arab yang kemudian dijadikan oleh Allah sebagai bahasa kitab suci al-Qur’an, yang kebetulan saat itu, bahasa dan sastra Arab mencapai puncak kefashahan dan kejayaannya. Meskipun al-Qur’an adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw, bahasa Arab tetap merupakan bahasa manusia atau produk budaya bangsa Arab. Ia bukan bahasa Tuhan atau malaikat (Muhbib, 2002:99). Sebagai produk dan subsistem budaya, bahasa Arab mempunyai dimensi linguistik, humanistik, sosio-kultural, dan pragmatik. Bahasa Arab pada dasarnya tunduk kepada (mengikuti) sistem linguistik yang telah menjadi kesepakatan penutur bahasa ini, baik sistem fonologi, leksikologi, morfologi, sintaksis maupun semantik.Kendatipun sebagai bahasa Al-Qur’an, bahasa Arab tidak perlu disakralkan atau dianggap sebagai bahasa suci, melainkan cukup diposisikan sebagai bahasa terhormat dan diberi apresiasi tinggikarena ia merupakan bahasa Al-Qur’an, bahasa yang digunakan dalam sebagian besar ibadah ritual, dan bahasa budaya Islam (lughah al-tsaqâfah al-Islâmiyyah). Pendapat Yusuf al-Qaradhawi ini mengisyaratkan bahwa bahasa Arab adalah sebuah sistem sosial-budaya yang terbuka untuk dikaji, dikritisi, distudi, dan dikembangkan (Ibn Faris,1963:16). Sebagai subsistem budaya, bahasa Arab merupakan salah satu bahasa Semit yang dinilai paling tua dan tetap eksis hingga sekarang (Bakalla,1984:1). Kemampuan bahasa Arab tetap eksis hingga sekarang, antara lain, disebabkan oleh posisinya sebagai bahasa pilihan Tuhan untuk kitab suci-Nya (al-Qur’an). Meskipun fungsinya lebih merupakan media ekspresi kitab suci bagi masyarakat Arab (tempat/lokasi Nabi Muhammad Saw. mendakwahkan ajaran Islam), bahasa Arab merupakan bahasa yang telah mencapai puncak “kedewasaan dan kematangannya”. Hal ini, antara lain, terbukti dari penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa sastra dan pemersatu pada masa Jahiliyyah. Selain itu, bahasa Arab hingga kini juga menjadi bahasa yang mampu menampung kebutuhan para penggunanya dan menyerap berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam berbagai bidang (Syubar,2000:12). Hal ini antara lain disebabkan oleh watak dan karakteristik bahasa Arab yang elastis, menganut sistem derivasi dan analogi yang komprehensif, dan memiliki perbendaharaan kata yang kaya (Ahmad,1999:52-55). Seperti diketahui bahwa warga Arab dahulu hidup bersuku-suku, terisolir dari suku lain, terpencar di berbagai daerah Jazirah Arabia. Mereka hidup dalam sebuah ikatan suku (qabilah), dimana antara satu suku dengan lainnya selalu terjadi peperangan dan permusuhan. Bahkan konon peperangan dan permusuhan tidak jarang terjadi dalam kurun waktu ratusan tahun lamanya. Di sisi lain permusuhan itu tidak jarang berakhir dengan perdamaian yang disponsori oleh kabilah Quraisy yang terjadi di Mekkah baik di kala musim haji atau pada saat musim pasar lainnya. Kondisi demikian membuat posisi Mekkah dan kabilah Qurasisy secara khusus sangat signifikan dalam dunia Arab di zaman Jahiliyah (Sayuti,2009:3). Setelah al-Qur’an, posisi bahasa Arab menjadi semakin kuat dan menjadi bahasa standar dari sekian banyak ragam lahjah (dialek) bahasa Arab. Bersamaan dengan itu pula, terbangunlah sinergi simbiosis antara bahasa Arab dan al-Qur’an. Daya tarik terhadap kajian al-Qur’an pada saat yang sama juga mendorong munculnya kajian terhadap bahasa dan sastra Arab, sehingga lahirnya berbagai ilmu-ilmu keislaman. Dari sekian banyak bahasa di dunia, yang dipakai secara luas dalam bahasa lisan, tulisan, ilmu pengetahuan dan teknologi, di antaranya bahasa Inggris, Jerman, Spanyol, Cina, Arab dan sebagainya. Bahasa Arab adalah bahasa Istimewa, Allah SWT berkenan berbicara kepada umat manusia dengan bahasa Arab lewat al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, karena bahasa Arab adalah bahasa yang fasih, jelas, luas dan maknanya sangat mengena untuk jiwa manusia serta istimewa karena Allah menurunkan wahyuNya dengan bahasa Arab. Allah AWT bukan tidak tahu bahwa manusia mempunyai ribuan jenis bahasa, namun Ia menetapkan bahwa hanya ada satu bahasa yang digunakannya untuk memberi petunjuk untuk umat manusia, yaitu bahasa Arab. Sekarang bahasa Arab merupakan salah satu bahasa mayor di dunia yang dituturkan oleh lebih dari 200.000 umat manusia. Bahasa ini digunakan secara resmi oleh kurang lebih 20 negara (Azhar,2003:14). Di Afrika, bahasa Arab ini dituturkan dan menjadi bahasa pertama di Negara Mauritania, Maroko, Al-jazair, Libya, Mesir dan Sudan. Di semenanjung Arab, bahasa ini merupakan bahasa resmi di Oman, Yaman, Bahrain, Kuwait, Saudi Arabia, Qatar, Emirat Arab, jauh ke utara, Jordan Irak, Syria, Lebanon dan Palestina. Dan karena ia bahasa kitab suci dan tuntunan agama umat Islam sedunia, maka tentu saja ia merupakan bahasa yang paling besar signifikansinya bagi milyaran muslim sedunia, baik yang berkebangsaan Arab maupun bukan Arab. Bahasa Arab selain sebagai bahasa lisan, ia juga bahasa tulisan. Bahasa tulisan inilah yang telah membangun tradisi ilmiah di kalangan umat islam. Secara historis dapat dibuktikan melalui karya-karya fenomental ulama-ulama di berbagai bidang; di bidang tafsir dikenal karya tulis hasil kajian ulama semacam Abdullah Ibnu Abbas kitabnya Tafsir Ibnu Abbas, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabarani (w, 310 H) karyanya tafsir Jami’at al-Bayanfi Tafsir alQur’an, Abu al-Qosim Muhammad bin Umar al-Zamakhsari tafsirnya alkasysyaf, Rasyid ridho tafsirnya alManar, Thanthawi Jauhari tafsirnya tafsir Jawahir (Hakim dan Jaih,2008:81), dan banyak lagi yang lain-lain, semuanya tertulis dalam bahasa Arab. Demikian juga dalam bidang hadits,alJami’ al-shahih karya imam Bukhari( 194-252 H),al-Jami’ al-Shahih karya imam Muslim(204-261 H), al-Sunan Abu Daud karya Abu Daud (202-275 H),al- Sunan Ibnu majah karya Ibnu majah dan di bidang ilmu-ilmu keislaman yang lainnya, tertulis dalam bahasa Arab. Karena sumber-sumber asli ajaran Islam dan ilmu-ilmu keislaman adalah bahasa Arab, maka sangatlah penting bagi umat islam terutama kalangan ilmuannya untuk mempelajari dan memahami serta menguasai bahasa Arab. Jika tidak sulit bagi kita untuk mengkaji Islam dari sumber aslinya yang berasal dari bahasa Arab. Oleh karena mengkaji peran bahasa dalam kajian Islam dan apresiasi pendidikan islam terhadapnya, sungguh menarik dan penting, disebabkan : pertama: bahwa sumber asli ajaran islam al-qur’an dan assunnah ditulis dalam bahsa Arab, kedua; kitab-kitab karya ulama-ulama besar yang mempengaruhi alur pemikiran umat Islam terutama di bidang tafsir, hadits,fiqih, aqidah, tasawuf ditulis dalam bahasa Arab. Ketiga kajian ilmu keislaman akan semakin berbobot jika mengambil rujukan dari bahasa Arab, keempat realitas kekinian di kalangan sarjana muslim, terutama Indonesia semakin menipis mengkaji ilmu keislaman yang berbasis bahasa Arab. Menurut para ahli, bahasa Arab dinilai sebagai salah satu bahasa rumpun bahasa Semit yang paling tua dan tetap eksis hingga sekarang. Kemampuan bahasa Arab tetap bertahan sampai sekarang, antara lain, disebabkan oleh posisinya sebagai bahasa pilihan Tuhan untuk kitab suci-Nya (Sulthani,2001:23). Meskipun fungsinya lebih merupakan media ekspresi kitab suci bagi masyarakat Arab (di mana Nabi Muhammad Saw. menyampaikan dakwah Islam), bahasa Arab —dalam hal ini bahasa suku Arab Quraisy sebagai bahasa standar saat itu— merupakan bahasa yang telah mencapai puncak “kedewasaan dan kematangannya”. Hal ini, antara lain, terbukti dari penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa sastra, lingua franca, atau bahasa pemersatu berbagai suku bangsa Arab pada masa Jahiliyyah. Selain itu, bahasa Arab hingga kini juga menjadi bahasa yang mampu menampung kebutuhan penggunanya dan menyerap berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam berbagai bidang (Syubar,2000:12). Hal ini antara lain disebabkan oleh watak dan karakteristik bahasa Arab yang elastis, menganut sistem qiyâs dan kaya denganisytiqâq dan perbendaharaan mufradât. Kemampuan bahasa Arab beradaptasi dengan perkembangan zaman, baik melalui penciptaan kosakata atau istilah baru maupun dengan meminjam bahasa asing, juga dinilai luar biasa. Pada masa kejayaan Islam, terutama masa pemerintahan ’Abbasiyah, bahasa Arab bukan hanya merupakan bahasa persatuan, bahasa resmi, dan bahasa administrasi pemerintahan, melainkan juga bahasa ilmu pengetahuand an peradaban. Sejak gerakan Arabisasi yang dipelopori Malik ibn Marwan hingga puncak kemajuan peradaban Islam –yang ditandai dan disemarakkan oleh gerakan penerjemahan karya-karya Yunani, Suryani, Persia dan India ke dalam bahasa Arab— posisi dan peta bahasa Arab cenderung meluas dan mendunia. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kemudian beberapa negara yang terbebaskan dan penduduknya menjadi Muslim kemudian menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi, seperti: Mesir, Sudan, al-Jazair, Marokko, dan sebagainya. Menurut Wafa Kamil (2006:6-7), dewasa ini dari segi jumlah native speaker-nya, bahasa Arab menempati urutan kelima dari 20 bahasa dunia. Urutan peringkatnya adalah (1). bahasa Cina dengan penutur asli lebih dari 1 milyar, (2). bahasa Inggris (lebih dari 400 juta penutur, (3). bahasa Spanyol (sekitar 250 juta penutur), (4). bahasa India (sekitar 200 juta), dan (5). bahasa Arab (dengan lebih dari 150 juta penutur). Sedangkan dari segi penggunanya sebagai bahasa resmi (lughah rasmiyyah), bahasa Arab menempati posisi ketujuh (digunakan lebih dari 170 juta orang) setelah bahasa Inggris (peringkat pertama karena digunakan lebih dari 1,5 milyar orang), bahasa Cina (lebih dari 1 milyar), bahasa India (lebih dari 700 juta), bahasa Spanyol (280 juta), bahasa Rusia (270 juta), bahasa Perancis (220 juta). Sementara itu, dari segi jumlah negara yang menetapkan bahasa Arab sebagai bahasa resmi, bahasa Arab menduduki peringkat ketiga setelah bahasa Inggris dan Spanyol. Bahasa Arab juga menduduki peringkat keempat dari segi prevalensi (persebaran) penggunanya setelah bahasa Cina, Inggris, dan Spanyol). Setelah tragedi 11 September 2001, bahasa Arab termasuk paling diminati untuk dipelajari di negara-negara Barat, khususnya Amerika. Semua itu menunjukkan bahwa bahasa Arab di era globalisasi ini tetap mampu eksis bahkan cenderung mengalami perkembangan signifikan di negara-negara non-Arab. Karena itu, potensi pengembangan dan pemanfaatan bahasa Arab dalam berbagai bidang kehidupan (sosial, ekonomi, bisnis, pariwisata, politik, budaya, dan sebagainya) tetap besar dan terbuka lebar. Hanya saja, untuk mengembangkan potensi bahasa Arab, terutama melalui jalur pendidikan, citra kurang positif masih melekat pada bahasa Arab sebagai bahasa yang sulitdipelajari. Selain itu, bahasa Arab juga dicitrakan sebagai bahasa agama yang kurang mampu beradaptasi dengan kemajuan Iptek. Menurut saya, pencitraan atau stigma bahasa Arab sebagai bahasa yang sulit dan rumit dipelajari tidaklah sepenuhnya benar. Buktinya, orang yang menguasai bahasa Arab bukan hanya orang Arab; banyak non-Arab dan sarjana non-muslim yang menekuni studi bahasa Arab karena dianggap menarik dan sangat penting sebagai instrumen studi Islam maupun studi orientalisme: studi tentang bahasa, budaya dan agama masyarakat timur, khususnya Timur Tengah. C. Orientasi Pendidikan Bahasa Arab Pendidikan bahasa Arab di Indonesia sudah diajarkan mulai dari Taman Kanak-kanak sampaiPerguruan Tinggi. Berbagai potret penyelenggaraan pendidikan bahasa Arab di lembagalembaga pendidikan Islam setidaknya menunjukkan adanya upaya serius untuk memajukan sistem dan mutunya. Secara teoritis, paling tidak ada empat orientasi pendidikan bahasa Arab sebagai berikut (Muhbib,2008:105-106): 1. Orientasi Religius, yaitu belajar bahasa Arab untuk tujuan memahami dan memahamkan ajaran Islam (fahm al-maqrû’). Orientasi ini dapat berupa belajar keterampilan pasif (mendengar dan membaca), dan dapat pula mempelajari keterampilan aktif (berbicara dan menulis). 2. Orientasi Akademik, yaitu belajar bahasa Arab untuk tujuan memahami ilmu-ilmu dan keterampilan berbahasa Arab (istimâ’, kalâm, qirâ’ah, dan kitâbah). Orientasi ini cenderung menempatkan bahasa Arab sebagai disiplin ilmu atau obyek studi yang harus dikuasai secara akademik. Orientasi ini biasanya identik dengan studi bahasa Arab di Jurusan Pendidikan bahasa Arab, Bahasa dan Sastra Arab, atau pada program Pascasarjana dan lembaga ilmiah lainnya. 3. Orientasi Profesional/Praktis dan Pragmatis, yaitu belajar bahasa Arab untuk kepentingan profesi, praktis atau pragmatis, seperti mampu berkomunikasi lisan (muhâdatsah) dalam bahasa Arab untuk bisa menjadi TKI, diplomat, turis, misi dagang, atau untuk melanjutkan studi di salah satu negara Timur Tengah, dsb. 4. Orientasi Ideologis dan Ekonomis, yaitu belajar bahasa Arab untuk memahami dan menggunaakanbahasa Arab sebagai media bagi kepentingan orientalisme, kapitalisme, imperialisme, dsb. Orientasi ini, antara lain, terlihat dari dibukanya beberapa lembaga kursus bahasa Arab di negara-negara Barat. D. Bahasa Arab Ditengah Arus Globalisasi Bahasa Arab sampai saat ini masih merupakan bahasa yang tetap bertahan dan mendunia, sejajar dengan bahasa Inggris dan Perancis. Yang jelas, angka 0, 1, 2, 3, 4, 5 dan seterusnya merupakan kontribusi bahasa Arab dalam usaha mempermudah hitungan dan penulisan angka Romawi yang kurang realistis. Itulah sebabnya, di dalam semua kamus bahasa Inggris, angka-angka tersebut dinamakan “Arabic Numerals”. Ini membuktikan mendunianya bahasa Arab yang tidak dapat disangkal sama sekali. Bahasa Arab sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, mempelajari dan menguasai bahasa menjadi keperluan setiap muslim. Baginya, bahasa Arab perlu untuk membentuk pribadi sebagai muslim dan meningkatkan kualitas keimanan dan pemahaman terhadap ajaran agama, bahkan perlu sebagai sarana dakwah penyebaran agamaIslam. Bahasa Arab perlu dipandang sebagai bahasa agama dan bukan sebagai bahasa budaya, etnis, kawasan, maupun negara tertentu saja. Itu ditandai dengan banyaknya tokoh dan ulama muslim yang berasal dari bukan kawasan Arab, semisal Al-Ghazali, AlBiruni, Ibnu Sina, Al-Razi, Al-Kindi, dsb., namun menguasai bahasa Arab sebagai bagian dari studi Islam yang mereka tekuni. Selain itu, agama Islam yang salah satu unsurnya adalah bahasa Arab, seyogyanya menjadi budaya yang dominan mewarnai kehidupan umat Islam di tingkat pribadi, keluarga, dan masyarakat. Berseberangan dengan hal tersebut, harus diakui bahwa ada upaya kalangan kolonial dan sekuler untuk meminggirkan dan menjauhkan bahasa Arab dan sejumlah budaya keislaman dari kehidupan umat Islam. Dari segi upaya akademis, ada salah satu contoh, Al-Munjid, yaitu kamus bahasa Arab yang sangat kurang memasukkan unsurunsur Arab yang terkait dengan keislaman. Kamus itu disusun oleh akademisi Khatolik Libanon, Louis Maluf. Selain itu, secara kultural, ada upaya pula yang ingin diterapkan dan disebarluaskan di kalangan masyarakat Arab, yaitu pemopuleran penggunaan bahasa Arab kolokial (dialek lokal) dan pengesampingan penggunaan bahasa Arab standar (fusha). Hal itu berakibat pada minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat Arab sendiri terhadap bahasa Arab yang resmi dan standar. Ada satu keuntungan yang dimiliki bahasa Arab standar, yaitu pemertahanannya yang langsung melibatkan peran Allah melalui turunnya Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang berbahasa Arab. Secara politis internasional, bahasa Arab kini sudah diakui sebagai bahasa internasional dan digunakan juga sebagai salah satu bahasa diplomasi resmi diforum Perserikatan Bangsa-bangsa. Beberapa negara nonArab di dunia, seperti Malaysia, bahkan sudah mengakui bahasa Arab di negaranya dan memberikana presiasi berupa adanya tulisan-tulisan berbahasa Arab di tempat-tempat umum. Dalam hal perkembangan situasi ekonomi global, bahasa Arab mengambil tempat dan peran yang sangat penting. Itu ditunjukkan dengan semakin pentingnya kawasan Timur Tengah, yang notabene mayoritas masyarakatnya berbahasa Arab, sebagai pusat sumber daya energi dan mineral dunia. Berbagai kalangan di dunia yang berkepentingan dan ingin membuka jalur komunikasi dengan negara-negara Timur Tengah harus berpikir dan mengambil sikap bahwa mereka sangat membutuhkan penguasaan bahasa Arab, sebagai pintu masuk komunikasi antar budaya yang kemudian membuka jalan bagi hubungan ekonomi, politik, dan sebagainya. Sebagai contoh, Duta Besar Jerman dan Duta Besar Belanda yang sekarang bertugas di Indonesia ternyata mampu berbicara dalam bahasa Arab dengan lancar sekali. Sebagai kawasan bisnis baru yang sangat terbuka dan menjanjikan peluang serta prospek yang cerak. Timur Tengah adalah primadona baru yang sedang merebut perhatian banyak kalangan di dunia. Itu ditandai pula dengan semakin banyaknya lembaga dan perusahaan dari luar Arab yang berdatangan dan membuka kantor di negara-negara Timur Tengah. Mereka yang berdatangan itu menyadari bahwa bahasa Arab, selain bahasa Inggris, adalah syarat utama komunikasi dan diplomasi sekaligus pendekatan dengan masyarakatdan negara-negara Timur Tengah. Tidak hanya proses masuknya investasi asing ke Timur Tengah yang memerlukan bahasa Arab. Berbagai negara, dalam hal ini termasuk Indonesia, yang menyadari pentingnya kawasan Timur Tengah sebagai mitra, menyadari bahwa banyak pula harapan akan masuknya investasi negara-negara Arab ke Negara mereka. Di Indonesia bahkan sudah ada beberapa perwakilan perusahaan dan lembaga keuangan asing yang membuka kantor di Indonesia. Itu memang tak terlepas dari peran aktif dan keseriusan pemerintah RI untuk mengundang investorasal Timur Tengah datang ke Indonesia. Dalam hal ini, proses komunikasi, diplomasi, dan negosiasi bilateral tentulah membutuhkan bahasa Arab sebagai medianya yang paling utama. Sayangnya, harus diakui bahwa tenagatenaga ahli yang menguasai bahasa Arab, seperti diplomat dsb., masih sedikit jumlahnya. Padahal kebutuhan akan hal itu kini begitu tinggi. Hal itu sekaligus menjadi peluang dan tantangan bagi masyarakat Indonesia untuk melihat situasi yang sudah berubah, hubungan Indonesia dengan kawasan Timur Tengah yang semakin intensif dan semakin terbukanya peluang kerja dan berpikir ulang bahwa bahasa Arab kini bukan bahasa kelas tiga, tapi sudah menjadi bahasa yang penting dan mutlak perlu dipelajari. Perubahan situasi tersebut jelas menguntungkan masyarakat dan bangsa Indonesia. Namun, keuntungan itu hanya akan dinikmati jika proses komunikasiantar budaya dan antar negara yang berlangsung dijembatani oleh pemahaman bahasa dan budaya yang baik. Jika bangsa dan masyarakat Indonesia tidak memahami bahasa dan budaya Arab dengan baik, maka semua rencana besar menyangkut politik, ekonomi, dsb. Antar negara akan sulit terwujud suatu hal yang patut menjadi keprihatinan nasional. Negara ini akan tetap mengalami kerugian besar hanya karena tidak bisa berkomunikasi dan mendekati secara kultural orang-orang Arab yang sesungguhnya kini mulai tertarik dan bahkan berlomba untuk masuk menanamkan modalnya di Indonesia, meski negara ini dengan tegas menyatakan kepada Timur Tengah bahwa pemerintah membuka pintu seluas-luasnya dan memberikan banyak fasilitas khusus kepada mereka. Tak diragukan lagi pentingnya bahasa Arab bagi umat Islam, terutama bahasa Al-Qur’an dan Hadits, dua pilar pokok dalam Islam. Hal yang wajar dan tak bisa disederhanakan, apalagi dituduh arabisme ketika Imam Syafi’i dalam arRisalahnya, disusul kemudian pengarang kitab yang lagi digandungi sarjana Islam Imam Syathibi dalam Muwafaktnya, mensyaratkan bagi siapa-siapa yang mau berijtihad untuk terlebih dahulu menguasai ilmu bahasa Arab. Bahasa Arab juga adalah bahasa Ilmu, terutama keilmuan Islam klasik. Beratus-ratu ribu buku dari berbagai disiplin ilmu warisan nenek moyang kita memakai bahas Arab. Keistimewaan lain bahasa Arab, dibanding bahasa-bahasa dunia lainnya, adanya ikatan kuat dengan agama. Karena kitab suci agama Islam diturunkan dengan bahasa Arab. Sementara bahasa asli Taurat dan Injil kini sudah punah. Pada masanya dulu, tepatnya sebelum Barat memasuki masa renaissance, berabad-abad lamanya bahasa Arab jadi bahasa dunia. Ia merupakan bahasa politik, ekonomi, bahkan dunia keilmuan. Ada beberapa sebab yang membuatnya jadi bahasa peradaban dunia, dimana setiap orang yang berkeinginan maju, merasa berkewajiban menguasainya. Diantaranya yang paling penting adalah adanya proyek Arabisasi buku-buku administrasi pemerintahan pada masa dinasti Mu’awiyah (Khalifah Abd. Malik 685-705 M dan anaknya al-Walid 705- 710 M) yang mau tidak mau memaksa para pegawai pemerintahan yang tak bisa berbahasa Arab untuk belajar bahasa Arab dan proyek terjemahan, terutama buku-buku keilmuan, secara besarbesaran pada masa dinasti Abasiah (200 H/ 900 M), dari bahasa Yunani, India, Suryani ke dalam bahasa Arab, yang mengakibatkan orang Islam menjadi bangsa yang luar biasa kreatif dan kemudian menjadikan Islam sebagai kiblat keilmuan dan peradaban dunia. Keadaan diatas itu terjadi dulu. Kalau kita amati sekarang, kondisinya akan tampak berbalik. Apalagi sejak memasuki era globalisasi, keadaannya makin mengkhawatirkan. Bahasa Arab perlahan tapi pasti posisinya mulai tergusur, dan bahasa Inggris menahbiskan diri sebagai bahasa nomor satu dunia. Permasalahannya tidak berhenti sampai di situ. Akibat globalisasi zaman, dan budaya konsumtif yang tinggi dikalangan negara Arab, ditambah ledakan informasi, secara sadar atau tidak sadar, mau atau tak mau, bahasa Inggris meringsek masuk ke dalam sistem-sistem sosial di kalangan Arab sendiri. Misalnya, dalam bidang pendidikan, banyak sekolah-sekolah di sana, terutama dalam mata pelajaran eksakta: Kimia, Fisika, Matematika dan biologi, bukunya menggunakan bahasa Inggris. Begitu juga dalam dunia teknologi, kosa kata asing tidak bisa dibendung. Celakanya kemudian bahasa itu diterima apa adanya, karena secara level sosial akan dinggap sebagai orang modern. Perubahan kalimat asing hanya dari sisi tulisan dari latin ke arab, bunyi tetap sama: laptop, mouse, keybord, mobile, oke, dan lain-lain. Kondisinya tidak seperti abad dua Hijriah dulu. Walaupun kosa-kata asing banyak bermunculan, tapi tidak langsung dimakan mentah-mentah. Ada proses yang sangat ketat, dimana kosa kata asing sedapat mungkin dicarikan kosa kata yang semakna, kalau tidak ada dilakukan penerjemahan, kemudian kalau masih tidak bisa baru diterima apa adanya. Himbauan kepada lembagalembaga kajian bahasa Arab saja tidak cukup tentunya. ‘Serangan’ itu akan terus bertubi-tubi, bahkan makin dahsyat selama mereka tidak meneladani generasi awal Islam yang menjadi bangsa yang sangat kreatif, menjadi produsen, bukan konsumtif dan pemalas seperti sekarang ini. Para ulama sepakat bahwa mempelajari dan menguasai bahasa Arab sangat penting dalam dunia dirasah Islamiyah. Bahasa Arab turut digelar sebagai lisan al-Malaikah (bahasa para malaikat) atau kalam Al-Jannah (Bahasa ahli syurga). Rasa cemburu orientalis terhadap bahasa Arab telah membawa kepada usaha-usaha untuk memperkembangkan dialek-dialek daerah bagi menggantikan bahasa Arab klasik, namun hanya menemui kegagalan. Ini dapat dilihat melalui peristiwa yang berlaku pada tahun 1912 ketika Kongress Orientalis Antara bangsa berlangsung di Athens. Seorang sarjana Mesir yang menghadiri kongres tersebut menolak teori bantuan dari pada bahasa tambahan ke dalam bahasabahasa lain seperti berlakunya penerimaan dialek Volapuk, Esperant dan Ido ke dalam bahasa Eropah. Bahasa Arab memberi satu corak pengaruh cukup besar terhadap perkembangan kebudayaan manusia sampai saat inii. Bahasa Arab di negara-negara Timur Tengah, seperti: Arab Saudi, Mesir, Syria, Iraq, Yordania, Qatar, Kuait, dapat dibedakan menjadi dua ragam, yaitu Arab fushha dan Arab ’âmmyah. Keduanya digunakan dalam realitas sosial dengan konteks dan nuansa yang berbeda. Bahasa Arab fushha digunakan dalam forum resmi (kenegaraan, ilmiah, akademik, jurnalistik, termasuk khutbah); sedangkan bahasa Arab ‘âmmiyah digunakan dalam komunikasi tidak resmi, intrapersonal, dan dalam interaksi sosial di berbagai tempat (rumah, pasar, kantor, bandara, dan sebagainya). Frekuensi dan tendensi penggunaan bahasa Arab ‘âmmiyah tampaknya lebih sering dan lebih luas, tidak hanya di kalangan masyarakat umum, melainkan juga kalangan masyarakat terpelajar dan pejabat (jika mereka berkomunikasi dengan sesamanya). Mereka baru menggunakan bahasa Arab fushha jika audien bukan dari kalangan mereka saja. Menurut ‘Abd al-Shabûr Syâhîn, pendidikan bahasa Arab dewasa ini dihadapkan pada berbagai tantangan yang serius. Pertama, akibat globalisasi, penggunaan bahasa Arab fushha di kalangan masyarakat Arab sendiri mulai berkurang frekuensi dan proporsinya, cenderung digantikan dengan bahasa Arab ‘âmmiyah atau dialek lokal (allahajât al-mahalliyah). Jika jumlah negera Arab berjumlah 22 negera, berarti paling tidak ada 22 ragam bahasa ‘âmmiyah. Hal ini belum termasuk dialek suku-suku dan kawasan-kawasan tertentu. Misalnya, dialek lokal Iskandaria (Alexandria) tidak sama dengan dialek Thantha, dan sebagainya. Dewasa ini, terutama di kalangan generasi muda Arab, terdapat kecenderungan baru, yaitu munculnya fenomena al-fush’amiyyah campuran ragam fushha dan ‘âmmiyah. Gejala ini merupakan tantangan serius bagi dunia pendidikan karena terjadi degramatisasi atau pengeleminasian beberapa gramatika (qawâ’id). Kaedah kaedah bahasa yang baku kurang diperhatikan, sementara pembelajaran qawâ’id pada umumnya tidak efektif. Kultur fush’amiyyah lebih dominan daripada kultur akademik yang memegang teguh kaedah-kaedah bahasa Arab. Bahkan di kalangan perguruan tinggi Mesir, termasuk di Fakultas Adab, sebagian besar dosennya banyak menggunakan ragam baru ini (Syahin,2014). Kedua, masih menurut Syâhîn, realitas bahasa Arab dewasa ini juga dihadapkan pada tantangan globalisasi, tepatnya tanganan pola hidup dan kolonialisasi Barat, termasuk penyebarluasan bahasa Arab di dunia Islam. Kolonialisasi ini, jika memang tidak sampai menggatikan bahasa Arab, minimal dapat mengurasi prevalensi penggunaan minat belajar bahasa Arab di kalangan generasi muda. Ketiga, derasnya gelombang pendangkalan akidah, akhlak, dan penjauhan generasi muda Islam dari sumber-sumber ajaran Islam melalui pencitraan buruk terhadap bahasa Arab. Dalam waktu yang sama terjadi kampanye besar-besaran atas nama globalisasi untuk menyebarkan dan menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa yang paling kompatibel dengan kemajuan teknologi. Farîd al-Anshârî (2014) menambahkan bahwa agenda neokolonialisasi globalisme yang dilancarkan Barat terhadap dunia Islam dewasa ini memang dimaksudkan untuk “membunuh karakter dan identitas budaya”, terutama Arab. Hal ini, antara lain, dapat dilihat dari arogansi Amerika Serikat, baik menyangkut kebijakan politik luar negerinya maupun perilaku politiknya, terhadap dunia Islam, khususnya Timur Tengah. Negara Adidaya ini seringkali mencampuri urusan dalam negara-negara Islam, baik melalui “intervensi langsung” maupun melalui operasi agen-agen rahasianya yang terkenal lihai dan licin. Salah satu agenda yang “diselundupkan” ke dunia Arab adalah penghilangan atau pendangkalan identitas bahasa dan budaya Arab, marjinalisasi sumber sumber ajaran Islam dari sistem pendidikan di dunia Islam, dan sekularisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Selain ada upaya penggantian huruf Arab dengan latin, bahasa Arab pada lembaga pendidikan di dunia Islam juga mulai digeser –meskipun belum sampai digantikan—oleh bahasa Inggris atau Perancis sebagai bahasa pengantar untuk pembelajaran sains. Berbagai siaran langsung olah raga di dunia Arab, terutama sepakbola, yang disiarkan dari Barat (liga Inggris, Spanyol, Italia, Perancis, atau Belanda) sudah banyak menggunakan bahasa Inggris. Demikian pula, program tayangan televisi di dunia Arab juga sudah banyak dipengaruhi oleh gaya dan pola hidup Barat yang sekuler dan materialistik (Mansur,2014). Akibatnya, minat dan motivasi untuk mempelajari bahasa Arab secara serius menjadi menurun. Semantara itu, di Indonesia, kita cenderung hanya mempelajari bahasa Arab fushha, dengan rasionalitas bahwa bahasa Arab fushha itu merupakan bahasa al-Qur’an dan al-Sunnah, karena tujuan utama studi bahasa Arab adalah untuk kepentingan memahami sumber sumber ajaran Islam. Sebagian kalangan –boleh jadi karena ketidaktahuan bahasa Arab ‘âmmiyah— cenderung anti bahasa Arab ‘âmmiyah, karena mempelajari bahasa Arab pasaran itu dapat merusak bahasa Arab fusha. Tudingan sementara pihak bahwa upaya mengganti bahasa Arab fusha dengan âmmiyah merupakan usaha kaum orientalis agar umat Islam menjauhi atau tidak dapat memahami al-Qur’an dengan baik juga tidak sepenuhnya benar. Sebab, bagaimana mungkin orientalis Barat mendiktekan kemauan mereka untuk berbahasa Arab âmmiyah, sedangkanmereka sendiri (para orientalis) secara akademis mempelajari bahasa Arab fusha sebelum mengkaji budaya dan peradaban Timur (Islam)? Bahasa Arab fusha akan tetap lestari meskipun orang-orang Arab sendiri lebih suka berbahasa Arab âmmiyah. Kecenderungan berbahasa Arab âmmiyah tampaknya lebih didasari oleh kepentingan dan tujuan pragmatis, yaitu: komunikasi lisan yang lebih mengutamakan aspek kepraktisan, simpel, dan cepat. Namun demikian, maraknya penggunaan bahasa Arab âmmiyah tetap merupakan sebuah tantangan yang dapat mengancam atau setidak-tidaknya mengurangi mutu kefashihan orang atau bangsa Arab pada umumnya (Nazir,1991). Orientasi studi bahasa Arab pada lembaga pendidikan kita tampak masih mendua dan setengah-setengah: antara orientasi kemahiran, dan orientasi kailmuan. Keduanya memang perlu dikuasasi oleh mahasiswa, namun salah satu dari keduanya perlu dijadikan sebagai fokus: apakah bahasa Arab diposisikan sebagai studi keterampilan yang berorientasi kepada pemahiran mahasiswa dalam empat keterampilan bahasa secara mumpuni? Ataukah bahasa Arab diposisikan sebagai disiplin ilmu yang berorientasi kepada penguasaan tidak hanya kerangka epistemologinya, melainkan juga substansi dan metodologinya. Selain itu, kebijakan pendidikan dan pengajaran bahasa Arab di madrasah dan lembaga pendidikan lainnya, selama ini, juga tidak menentu. Ketidakmenentuan ini dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama, dari tujuan, terdapat kerancuan antara mempelajari bahasa Arab sebagai tujuan (menguasai kemahiran berbahasa) dan tujuan sebagai alat untuk menguasai pengetahuan yang lain yang menggunakan bahasa Arab (seperti mempelajari tafsir, fiqh, hadits, dan sebagainya). Kedua, dari segi jenis bahasa Arab yang dipelajari, apakah bahasa Arab klasik (fusha turâts), bahasa Arab modern/kontemporer (fusha mu’âshirah) atau bahasa Arab pasaran (‘âmmiyyah). Ketiga, dari segi metode, tampaknya ada kegamangan antara mengikuti perkembangan dan mempertahankan metode lama. Dalam hal ini, bahasa Arab banyak diajarkan dengan menggunakan metode qawâ’id wa tarjamah(Emzir,2007:2-3). Tantangan lainnya yang juga tidak kalah pentingnya dalam pengembangan pendidikan bahasa Arab adalah rendahnya minat dan motivasi belajar serta kecenderungan sebagai pelajar atau mahasisiwa bahasa Arab untuk “mengambil jalan yang serba instan” tanpa menulis proses ketekunan dan kesungguhan. Hal ini terlihat dari karya-karya dalam bentuk makalah dan skripsi yang agaknya cenderung merosot atau kurang berbobot mutunya. Mahasiswa yang sudah berada di “dunia ” bahasa Arab seakan tidak betah dan ingin mencari “dunia lain”, sehingga –ini perlu disurvei dan dibuktikan secara akademis—tidak sedikit yang mengeluh bahwa jurusan bahasa Arab itu sebetulnya bukan “habitat” mereka yang sesungguhnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jamsuri Muhammad Syamsuddin dan Mahdi Mas’ud (2007:23-25) terhadap 30 mahasiswa Ilmu Politik (Humaniora) pada International Islamic University Malaysia mengenai kesulitan belajar bahasa Arab menunjukkan bahwa penyebab kesulitan belajar bahasa Arab ternyata bukan sepenuhnya pada substansi atau materi bahasa Arab, melainkan pada ketiadaan minat (100%), tidak memiliki latar belakang belajar bahasa Arab (87%), materi/kurikulum perguruan tinggi (83%), kesulitan memahami materi bahasa Arab (57%), dan lingkungan kelas yang tidak kondusif (50%). Lebih dari itu, ditemukan bahwa 80% penyebab kesulitan belajar bahasa Arab adalah faktor psikologis. 77% di antara mereka memiliki kesan negatif terhadap bahasa Arab; dan 33% herregristasi mata kuliah bahasa Arab dianggap mempengaruhi belajar bahasa Arab mereka di kampus. Jadi, faktor penyebab kesulitan belajar bahasa Arab bukan sepenuhnya bersumber dari bahasa Arab itu sendiri (faktor internal sistem bahasa Arab), melainkan lebih disebabkan oleh faktor psikologis (minat, motivasi, tidak percaya diri), edukatif, dan sosial. Karena itu, pendekatan dan metode yang dipilih dalam pembelajaran bahasa Arab seharusnya mempertimbangkan faktorfaktor psikologis, edukatif, dan sosial kultural. Sumber-sumber dan literatur kebahasaaraban di lembaga pendidikan kita juga masih relatif kurang, jika tidak dikatakan terbatas. Hal ini, antara lain, disebabkan oleh minimnya perhatian pimpinan fakultas dan universitas untuk mengembangkan pendidikan bahasa Arab; dan juga disebabkan oleh kurangnya hubungan lintas-universitas atau lembaga pendidikan dalam bentuk kerjasama ilmiah kita dengan perguruan tinggi di Timur Tengah, sehingga kita tidak banyak mendapat pasokan sumbersumber dan hasil-hasil penelitian kebahasaaraban. Selain itu, penting juga ditegaskan, bahwa perhatian negaranegara Arab dalam bentuk penyediaan sumber belajar, termasuk referensi dan literatur yang memadai, untuk negaranegara berkembang seperti Indonesia, relatif masih kurang (al-Dakhil,1994:83), jika dibandingkan dengan negara-negara Barat, seperti Amerika dengan Amcor (American Corner)-nya. E. Membangun Sikap Optimisme Setiap tantangan pasti memberikan peluang jika kita berusaha untuk menghadapi tantangan itu dengan berpikir positif (al-tafkîr al-îjâbî) dan bersikap penuh kesungguhan dan kearifan, termasuk tantangan yang kini dihadapi pendidikan bahasa Arab. Menurut Muhbib (2008:120-121), ada beberapa optimisme studi bahasa Arab di masa depan yang dapat diraih, jika para penggiat dan peminat studi bahasa Arab secara bersama-sama mau dan mampu menekuninya dan mengubah tantangan menjadi peluang. Pertama, peluang untuk pengembangan bahasa Arab semakin terbuka, karena seseorang yang menguasai bahasa Arab dapat dipastikan memiliki modal dasar untuk mendalami dan mengembangkan kajian Islam, atau setidak-tidaknya mengembangkan studi ilmu-ilmu keislaman seperti:fiqh, tafsir, hadits, sejarah Islam, filsafat Islam, dan sebagainya, dengan merevitalisasi penelusuran (eksplorasi) dan elaborasi sumber-sumber aslinya. Dengan kata lain, bahasa Arab dapat dijadikan sebagai alat dan modal hidup untuk mencari dan memperoleh yang lain di luar bahasa Arab, baik itu ilmu maupun keterampilan berkomunikasi lisan. Kedua, pengembangan profesi keguruan, yaitu: menjadi tenaga pengajar bahasa Arab yang profesional. Sebab yang mempunyai kompetensi dan kewenangan akademik dan profesional di MI/SD, MTs/SMP, dan MA/SMU atau lembaga pendidikan yang sederajat adalah lulusan Pendidikan Bahasa Arab, bukan lulusan BSA (Bahasa dan Sastra Arab) atau lainnya, meskipun belakangan ini ada kecenderungan lulusan BSA mengambil Program Akta Mengajar (Akta IV) untuk memperoleh kompetensi dan kewenangan menjadi guru. Ketiga, penggiatan dan pembudayaan tradisi penelitian dan pengembangan metodologi pembelajaran bahasa Arab. Hal ini perlu dilakukan agar ilmu bahasa Arab dan metodologi pembelajarannya semakin berkembang dinamis dan maju. Melalui penggiatan penelitian, tentu saja, karya akademik dapat dihasilkan, dan pada gilirannya komunitas pendidikan bahasa Arab menjadi lebih tercerahkan. Oleh karena yang selama ini menjadi hambatan – setidak-tidaknya kurang mengundang minat meneliti—adalah rendahnya dana penelitian, maka dipandang penting pimpinan UIN “mewajibkan” setiapkan dosen untuk meneliti dan/atau menulis karya-karya akademik yang relevan dengan bidang keilmuannya. Kebijakan “wajib meneliti” ini, tentu saja, harus dibarengi dengan pemberian “insentif” (ujrah) yang memadai: membuat khusyu’, tekun, dan menikmati proses penelitiannya. Keempat, intensifikasi penerjemahan karya-karya berbahasa Arab, baik mengenai keilmuan dan keislaman ke dalam bahasa Indonesia dan/atau sebaliknya. Profesi ini cukup menantang dan menjanjikan harapan, meskipun penerjemah relatif belum mendapat apresiasi yang sewajarnya. Menarik dicatat bahwa salah satu faktor yang mempercepat kemajuan peradaban Islam di masa klasik adalah adanya gerakan penerjemahan besar-besaran, terutama pada masa Hârûn al-Rasyîd (786-809 M) dan al-Ma’mûn (786-833 M). Gerakan penerjemahan itu disosialisasikan dengan ditunjang oleh adanya pusat riset dan pendidikan seperti Bait al-Hikmah (Wisma Kebijaksanaan). Kelima, intensifikasi akses dan kerjasama dengan pihak luar, termasuk melalui Departemen Luar Negeri, agar “pos-pos” yang bernuansa atau berbasis bahasa Arab dapat diisi oleh lulusan PBA, yang meminati karir di bidang diplomasi dan politik. Jika program peminatan atau konsentrasi yang terkait dengan bahasa Arab dapat dikembangkan, makna peluang untuk memperoleh lapangan pekerjaan bagi alumni pendidikan bahasa Arab menjadi lebih terbuka dan kompetetif. Oleh karena itu, pembenahan internal, terutama penjaminan mutu akademik dan peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM (tenaga pendidik) yang mengabdikan diri pada Pendidikan Bahasa Arab mutlak harus “didisiplinkan”, baik dari segi keilmuan maupun kesejahteraan. Keenam, pengembangan media dan teknologi pembelajaran bahasa Arab. Kita selama ini masih lemah atau belum mumpuni dalam menciptakan produk media dan teknologi, sehingga proses pembelajaran bahasa Arab di lembaga kita masih belum mendapat sentuhan “modernitas” yang bercirikan: mudah, cepat, tepat, dan efektif. Karena itu, tenaga yang menekuni bidang ini perlu dihasilkan atau dimiliki oleh Pendidikan Bahasa Arab. Dengan kata lain, kita perlu bermitra dan bersinergi dengan SDM yang memiliki kompetensi untuk mengembangkan teknologi pendidikan dan pembelajaran bahasa Arab yang modern. Dengan begitu, tampilan atau performansi pembelajaran bahasa Arab akan memiliki nilai tambah (added value) dan daya tarik tersendiri. Ketujuh, sudah saatnya Pendidikan Bahasa Arab melahirkan karya-karya akademik (hasil-hasil penelitian, teori-teori baru, buku, media, dan sebagainya) yang dapat memberikan pencerahan masyarakat. “Lahan” pemikiran pendidikan bahasa Arab sejauh ini belum “tergarap” dengan baik, sehingga dalam hal ini kita masih “miskin” produktivitas keilmuan. Menurut Mahmûd Fahmî Hijâzî, studi bahasa Arab masih terus memerlukan karya terutama di bidang pengembangan kosakata dan istilah-istilah modern, ensiklopedi, bank istilah sains dan teknologi, dan sebagainya, sehingga bahasa Arab tidak dianggap sebagai bahasa yang tidak mampu beradaptasi dengan perkembangan ilmu dan teknologi (Hijazi,1998:79). F. Penutup Sebagai bagian dari bahasa dunia, bahasa Arab mengalami pasang surut. Bahasa Arab mengalamai masa kejayaan di abad kedua hijriah, saat masa keemasan kekhalifahan Islam, yang berlangsung ratusan tahun. Dan pada saat kekhalifahan Islam jatuh, bahasa Arab pun terbawa ke dalam situasi yang kurang menguntungkan, bahkan “dianaktirikan” oleh para penguasa dan masyarakat pada umumnya. Hal ini bahkan terjadi sampai sekarang. Hegemoni bahasa asing, misalnya bahasa Inggris, mandarin terus menindas dan menjajah bahasa Arab. Di tengah pesimisme tersebut, tentu masih ada harapan dan sikap optimisme akan kebangkitan bahasa Arab. Disamping itu, sebagai bahasa al-Quran, lisan al- Malaikah (bahasa para malaikat) atau kalam Al-Jannah (Bahasa ahli syurga)paling tidak menjadi berkah tersendiri bagi bahasa Arab. Karena selama al-Quran dibaca oleh umat Islam, dan Islam dipeluk maka bahasa Arab pun akan terus hidup sepanjang masa. DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahab, Muhbib, Epistemologi dan Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab Jakarta: UIN Press, 2008. Arsyad, Azhar, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Anîs, Ibrâhîm,Fi al Lahjaat al-Arabiyah, Kairo: Maktabat al-Anglo alMishriyyah, 1973 Badrân, Muhammad Mamdûh, “alLughah al-`Arabiyyah wa Tadrîsuhâ li ghair al-Nâthiqîn bihâ”, dalam Ta`lîm al-Lughah al-`Arabiyyah li Ghair alNâthiqîn bihâ: Qadhâyâ wa Tajârib, Tunis: Isesco, 1992. Bakalla, MH., Pengantar Penelitian Studi Bahasa Arab, Terj. dari Arabic Culture, Through Its Language and Literature oleh Males Sutiasumarga, Jakarta: Hardjuna Dwitunggal, 1984 C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Terj. dari Philosophy and Science in the Islamic World oleh Hasan Basari, Jakarta: Obor Indonesia, 1989. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta, 1995. Dardjowidjojo, Soenjono, Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003. al-Difâ’, Abdullah, Rawâ`i’ wa Ishâmât al-Hadhârah al-Islâmiyyah, Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1999. Djumarsyah, M., Filsafat Pendidikan. Malang: Bayumedia Publishing, 2008. Effendi, Ahmad Fuad, “Peta Pelajaran Bahasa Arab di Indonesia”, dalam Jurnal Bahasa dan Seni, 29 Oktober 2001. Farkhan, Muhammad, An Introduction To Linguistics. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006. Harran, Tâjussirri Ahmad, al-‘Ulum wa al-Funun fi al-Hadharah alIslamiyyah, Riyadh: Dar Eshbekia, 2002. Hakim, Atang Abd. dan Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, Bandung: Rosdakarya, 2008. al-Hilwu, Abduh dan Bahzad Jâbir, alWâfî fî Târîkh al-`Ulûm `inda alArab, Beirut: Dâr al-Fikr alLubnânî, tt. Hijazi, Muhammad Fahmi, al-Bahts alLughawi, Kairo: Maktabah Gharîb, 1993. Ibn Fâris, al-Shâhibî fi Fiqh al-Lughah wa Sanan al-‘Arab fi Kalâmihâ, Beirût: ‘Muassasah Badrân, 1963. Jinni, Ibn, al-Khashaish, Tahqiq (Editor) Abdul Majid Handawi. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003. Kridalaksana, Harimurti, Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia, 1983 Mukram, Abd al-‘Âl Sâlim, al-Lughah al-‘Arabiyyah fi Rihâb al-Qur’an al-Karîm, Kairo: ‘Alam al-Kutub, 1995. Mushthafâ ‘Inânî dan al-Iskandarî, alWasîth fi Târîkh al-Adab al- ‘Arabî, Kairo: Dâr al-Ma`ârif, tt. Mahjûb, Abbâs, Musykilât Ta’lîm alLughah al-‘Arabiyyah: Hulûl Nazhariyyah wa Tathbîqiyyah,Doha: Dâr alTsaqâfah, tt Ma’lûf, Louis, al-Munjid fî al-Lughah wa al-A’lâm, Beirut: Dâr alMasyriq, 1986. Mas’ud, Jibran, al-‘Arabiyyah alFushha: Sya’latun la tanthafi’, Beirut: Bait al-Hikmah, 2001. Nakosteen, Mehdi, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, terjemahan, Surabaya: Risalah Gusti, 1996. Qaddur, Ahmad Muhammad, Madkhal ila Fiqh al-Lughah al- ‘Arabiyyah, Damaskus: Dar alFikr, 1996. Qumaihah, Jabir, Atsar Wasa’il al-I’lam al-Maqru’ah wa al-Masmu’ah wa al-Mar’iyyah fi al-Lughah al- ‘Arabiyya. Madinah: Nadi alMadinah al-Munawwarah alAdabi, 1998. Rihâb Khudlar 'Akkâwi, Mawsû’ah ‘Abaqirat al-Islâm, Beirut: Dâr al-Fikr al-Arabî, 1993. al-Rukâbi, Jaudat, Thuruq Tadrîs alLughah al-`Arabiyyah, Beirut: Dâr al-Fikr, 1981. as-Shaghir, Abdul Majid, al-Ma’rifah wa as-Sulthah fi at-Tajribah alIslamiyyah, Kairo: al-Hai’ah alMishriyyah al-‘Ammah, 2010. Saridjo, Marwan dkk, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma Bhakti, 1979. al-Sâmirrâ’î, Ibrâhim, Min Asâlîb alQur’an, Beirut: Muassasah alRisâlah, 1983. Syâhîn, 'Abd al-Shabûr, Fi ‘Ilm al Lughah al-Âmm, Beirut: alRisâlah, 1984. Syahin, Abdushobur, Fi ‘Ilm al Lughah al-Âmm, Bairut: al-Risâlah,1984. Syubar, Sa’îd, al-Mushthalah Khiyâr Lughawî wa Simah Hadlâriyyah, Qatar: kitab al-Ummah, Edisi 78, 2000. al-Thanthâwi, Muhammad, Nasy’at alNahwi wa Târîkh Asyhar alNuhât, Makkah: Maktabah Ihya’ al-Turâts al-Islâmî, 2002. Yûsuf al-‘Isysy, al-Dawlah alUmawiyyah wa al-Ahdâts alTârîkhiyyah al-lati Sabaqathâ wa Mahhadât lahâ ibtidân min

No comments:

Post a Comment

Pragmatisme Manusia Moderen

Pragmatisme Manusia Moderen Sejak bergulirnya Era reformasi Indonesia sudah Berganti 5 kali kepemimpinan Presiden Namun ekonomi bukan semak...