Sunday 12 February 2017

Dialek Perempuan Dalam Bahasa Arab ( Al-Lughah Wa Al-Tsaqafah Al-‘Arabiyah)

Dialek Perempuan Dalam Bahasa Arab ) Al-Lughah Wa Al-Tsaqafah Al-‘Arabiyah) A. Pendahuluan Al-Quran mengisyaratkan bahwa manusia pertama adalah seorang lelaki, yakni Adam a.s., yang kemudian daripadanya diciptakan seorang prempuan bernama Hawa. Dari kedua manusia inilah kemudian tumbuh bermiliar-miliar manusia dengan berbagai suku, bangsa, budaya, bahasa, dan sebagainya seperti yang kita saksikan hari ini. Bahasa adalah sebuah keistimewaan bagi manusia yang tidak didapati pada makhluk hidup yang lain. Kebudayaan manusia berkembang dan dapat diwariskankarena peranan bahasa ini. Tak ada peradaban manusia tanpa bahasa. Bahasa adalah cirri manusia yang membedakannya dari makhluk lain. Bahasa merupakan media untuk memahami makna dan mentransfer ide dan fikiran antara sesama manusia, sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan sesamanya secara baik. Manusia sebagai makhluk sosial dapat dicirikan dengan sifatnya yang selalu ingin berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia lain dalam satu kebudayaan maupun dengan manusia yang dari kebudayaan yang berbeda. Interaksi dan komunikasi tersebut dapat menyebabkan keragaman atau bahkan perubahan pada masing-masing kebudayaan yang terlibat langsung dalam proses tersebut. Sebagaimana disinggung di awal tulisan ini, bahwa Tuhan menciptakan dua macam manusia: pria dan wanita dengan derajat berbeda. Pria menjadi sebab bagi wanita, karena wanita (Hawa) hanyalah sekadar cuatan dari tulang rusuk Adam a.s. Tentu menarik dikaji bagaimana wanita berbahasa. Apakah posisi sekunder dalam sejarah penciptaannnya berpengaruh terhadap bahasa wanita di seluruh penjuru dunia ini? Makalah ini tidak ditujukan untuk menjawab tuntas pertanyaan tersebut, melainkan akan mengkaji dialek wanita, dalam konteks budaya dan bahasa Arab. B. Pembahasan 1. Otak wanita Menurut Paul Broca, di dalam otak terdapat apa yang disebut “medan Broca” yaitu tempat produksi bahasa-ujar. Selain itu ia menyatakan bahwa otak pria lebih besar, mempunyai fungsi lebih baik, lebih cerdas , dan memiliki kelebihan lainnya bila dibandingkan dengan otak wanita. Temuan tersebut bisa jadi tidak dipercaya begitu saja oleh berbagai kalangan, terbukti dengan munculnya temuan yang lebih mutakhir di bidang neurologi menegaskan bahwa dalam beberapa hal otak wanita lebih unggul. Telah dibuktikan bahwa otak wanita berfungsi secara berbeda dengan otak pria, dan dalam beberapa hal perbedaan itu membuat wanita lebih unggul. Letak keunggulan otak wanita tersebut meliputi : (a) otak wanita lebih seimbang, (b)otak wanita lebih tajam, dan (c) otak wanita lebih awet dan selektif. Temuan lain adalah pada waktu rileks ada perbedaan system limbic yang mengolah keseluruhan emosi. Rileks pada pria berarti mematikan kerja bagian reptilian brain yang memicu ekspresi emosi primitive berupa agresi dan kekerasan. Sedangkan pada wanita rileks sama dengan mematikan bagian yang disebut cingulate gyrus, yaitu bagian yang mengendalikan ekspresi simbolis, seperti gerak gerik dan kata-kata. Dengan kata lain, dalam keadaan aktif pria cenderung ke arah agresi dan gerak fisik, sedangkan wanita bila sedang aktif lebih ke arah yang lebih beradab yaitu bergerak dan berbicara. Maka tidak usah heran bila dalam keadaaan ekstrem, misalnya marah, pria lebih suka berkelahi daripada bertengkar. sebaliknya, wanita lebih siap bertengkar dengan kata-kata. 2. Wanita Dalam Bahasa-Bahasa Di Dunia Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ada bahasa di dunia ini yang pemakaiannya dibedakan untuk pria dan untuk wanita. Bahasa wanita Jepang, misalnya, berbeda dengan bahasa para prianya. Makna untuk suatu kalimat yang sama seperti “kamu mau pergi ke mana?” diwujudkan dalam dua bentuk: (1). Kimiwa dokoe ikunda? (2). Anatawa dokoe ikuno? di mana pria memakai bentuk (1) dan wanita memakai bentuk (2). Demikian pula dalam tingkat tatakramanya, wanita Jepang memakai ujaran yang lebih sopan atau halus daripada pria. Banyak bahasa lain yang juga membedakan macam bahasa yang dipakai oleh pria di satu pihak dan wanita di pihak lain. Jespersen dalam bukunya berjudul “language” (1922) menyajikan satu bab penuh “the woman”, di mana antara lain disebutkan bahwa seperti bahasa Karibia di Antile Kecil, bahasa Bantu di Afrika, bahasa Chiquito in Bolivia, dan bahasa Yana di California membedakan ragam bahasa yang dipakai oleh pria dan wanita—yang pada umumnya memberikan kedudukan yang sekunder kepada wanita. Hass (1964) juga menyebutkan bahwa bahasa Koasati, suatu bahasa Indian di Louisiana, membeda-bedakan antara bahasa wanita dengan bahasa pria. 3. Wanita dalam bahasa-bahasa kita Dalam pelbagai bahasa daerah seperti bahasa Sunda, Balai, Madura, dan Jawa, menurut Soenjono Dardjowidjojo, budaya kita mungkin saja tidak secara eksplisit meremehkan wanita tetapi paling tidak meempatkan wanita pada posisi junior. Dalam hubungan perkawinan, misalnya, suami adalah semacam kakak – kang, mas, akang - dan istri berstatus adik – diajeng, rayi. Karena dalam tata budaya kita seorang junior wajib menghormati yang senior, maka dalam kebahasaan, seorang istri ‘’semacam diwajibkan’’ untuk menyapa suaminya dengan predikat kesopanan seperti mas atau kang- Mas Joko, Kang Cecep. Sebaliknya,seorang suami boleh menyapa istrinya hanya dengan namanya saja, tidak perlu dengan jeng atau yi. Dalam bahasa-bahasa yang memeiliki system honorific seperti bahasa Jawa, seorang istri juga lumrahnya “berbahasa ke atas” kepada suaminya. Dia akan bertanya, misalnya, (3). Opo wis dahar, mas? Apa sudah makan, kak? Di mana bentuk hormat dahar (makan) dipakai. Sang suami “dilarang” oleh budayanya untuk berbahasa ke atas terhadap istrinya. Untuk tidak merendahkan derajat sang istri, dan sekaligus menambah bumbu kecintaan, dia mencari cara lain, misalnya dengan meminjam kosakata anak-anak seperti kata maem sehingga jawabannya menjadi, (4).Wis, mau ono kantor. Wis podo maem? Sudah, tadi di kantor. Sudah pada makan? Pemilihan kata dahar pada (3) dan maem pada (4) adalah untuk mempertahankan nilai-nilai social-budaya yang berlaku di masyarakat tersebut. Bahasa nasional kita, bahasa Indonesia, juga menunjukan perlakuan yang tidak berbeda. Kita, misalnya mengenal kategori pria dan wanita seperti pada kata-kata dewa-dewi, siswa-siswi, putra-putri, dsb. Bila rujukan jenerik kita inginkan, maka umumnya bentuk yang untuk prialah yang dipakai (5). a. putranya berapa, bu? b. tiga. Dua laki-laki dan satu perempuan. (6). Ada 8.900 mahasiswa di universitas kami. (7). Wartawan yang mewawancarai Presiden SBY adalah Achmad, Tito, dan Lastri. Kecenderungan memilih istilah pria sebagai wakil tampak pula pada nomina turunan, seperti kata wartawan, sukarelawan, hartawan, budiman dll. Sebagian ada padanan wanitanya, seperti wartawati, sukarelawati, tetapi sebagian lain tak memilikinya. Tidak atau belum kita jumpai, misalnya *hartawati, atau budiwati. Dan, bila pengertian jenerik yang disampaikan, kita umumnya memakai bentuk pria. Sebenarnya, ada juga istilah yang pada mulanya khas perempuan dan tidak dijumpai padanannya untuk pria, seperti peragawati, dan pramugari. Namun kekosongan leksikal itu dengan cepat segera diisi oleh istilah baru, seperti pramugara dan peragawan. Ini berbeda dengan kekososngan leksikal untuk perempuan, seperti pada kasus hartawati dan budiwati. Inilah salah satu dalil untuk menyebut bahwa ada sebagian bahasa yang bersifat seksis. Tidak hanya dalam leksikal saja, peranan sekunder dari wanita tampaknya meresap pula ke semantic dan sintaksis. Karena faktor social-budaya, seorang wanita tidak dibenarkan untuk berperan aktif , khususnya dalam hal menyangkut perkawinan atau seks. Kata-kata mengawini mengandung berbagai fitur semantic, salah satu di antarany adalah bahwa pelaku perbuatannya haruslah pria. Karena Kendala social budaya ini, maka kalimat (8) terasa aneh (8) Siti akan mengawini Parto minggu depan Kalau suatu perkawinan antara Siti dan Parto harus terjadi, maka Siti tidak dianggap layak memegang peranan yang aktif. Dengan kata lain, Parto boleh mengawini Siti, tetapi Siti hanya bisa dikawini oleh Parto atau kawin dengan Parto. 4. Dialek Wanita Dalam Bahasa Arab Di atas telah disinggung bahwa kelas atau status social teretentu akan melahirkan ragam bahasa atau dialek social tertentu. Oleh karena itu, pada masyarakat yang membedakan status social antara pria dan wanita dalam kehidupan sehari-harinya, yang membatasi pergaulan di antara keduanya, baik karena anjuran agama atau system social yang ada, maka akan didapati dialek perempuan yang berbeda dengan dialek lelaki, baik dalam skala kecil maupun besar . Sabri Sayyid Ibrahim melaporkan hasil temuannya tentang kekhasan dialek perempuan dalam bahasa Arab sebagai berikut: Pertama, dari segi suara. Suara wanita memiliki karakteristik yang berbeda dari suara pria, yang meliputi beberapa point berikut; a. Wanita menggunakan macam-macam intonasi kalimat yang lebih banyak dari yang diguanakan oleh pria. Intonasi pada wanita lebiih banyak bersifat sentimentil (‘athifiyyah); b. Wanita berbicara dengan tekanan suara (pitch) tinggi ynag menyerupai tekanan suara anak-anak, dan terkadang lebih keras dari suara pria; c. Dalam bahasa cinta dan kasih sayang, suara rendah dan suara hidung tampak pada pria, sedangkan suara bibir (al ashwat al syafawiyyah) dan suara terbahak-bahak (ashwat al-qahqahah) tampak pada wanita; d. Pada umumnya wanita berbicara dengan bentuk suara yang halus dan lembut (muraqqaqah), sehingga mereka misalnya - Mengganti bunyi qaf dengan kaf , sehingga mereka mengatakan al-kiyamah sebagai ganti dari al qiyamah - Mengganti bunyi tho denga ta sehingga mereka mengatakan al-talab sebagai ganti dari al-thalab - Mengganti bunyi dhodh denga dal sehingga mereka mengatakan afrad sebagai ganti dari afradh - Mengganti bunyi shad denga sin sehingga mereka mengatakan al-salb sebagai ganti dari all-shalb - Mengganti bunyi zho denga za sehingga mereka mengatakan al-tahafuz sebagai ganti dari al-tahafudz. Kedua, dari segi pemilihan kata (leksikal). Pada saat-saat tertentu terkadang muncul pemilihan kata yang khas, yang berbeda antara pilihan ungkapan dialek perempuan dengan dialek lelaki. Misalnya, - Wanita lebih cenderung memilih dan menggunakan kata yang menguatkan kewanitaan mereka, seperti: فاتن- جذاب، ساحر- رائع- جيب- جميل، لطيف، حلو، - Wanita juga sering mengungkapkan kata-kata yang bermuatan perasaan , baik digunakan untuk kenyataan atau sekadar basa-basi saja, seperti: خيالي – يجنن – مش ممكن - Wanita banyak menggunakan gaya bahasa penguat (intensifiers) sepert: جد – ضخم – هائل – تماما - Wanita menggunakan kata kerja dan kata sifat tertentu, bahkan bahasa Arab mengkhususkan wazan فعال untuk mencela wanita, seperti: يا فساق maksudnya يا فاسقة - Wanita terkadang tidak menggunakan kata-kata yang digunakan oleh pria, kalaupun wanita menggunakan, maka penggunaannya berbeda dari penggunaannya berbeda dari penggunaan pria, seperti penggunaan kata pada warna. Kata-kata yang menunjukan warna yang banyak digunakan oleh wanita: الأبيض – الأحمر – الروز – البرتقال – الوردي – الكريم – السكري – الأصفر – النحاسي – الذهبي – الأخضري- الزيتي – السماوي – الزهري – الرمادي – الرصاص ،, sedangkan warna yang sering digunakan oleh pria adalah: الأبيض – البني – الأخضر – الرمادي – الرصاص – الأسواد – الأحمر – الكحلي – الأرزق. Perbedaan dalam hal penggunaan bahasa oleh kaum laki-laki dengan kaum perempuan sulit untuk dikatakan sebagai suatu kecenderungan yang bersifat biologis semata. Kenyataan lebih menunjukan bahwa faktor social dan budaya sering memegang peranan yang penting dan menentukan tentang cara bagaimana kaum perempuan dan laki-laki (harus) berbicara. Hal ini mengakibatkan semakin tidak mudahnya memahami bahasa hanya dari struktur kata dan kalimatnya saja tanpa menelusuri lebih jauh faktor-faktor lain yang melatarbelakangi pemakaian bahasa tersebut dalam suatu komunitas kehidupan tertenttu. B. Kesimpulan Dari sejarah penciptaannya, hubungan pria dan wanita tidak berada satu level, dimana pria (Adam a.s.) diciptakan lebih dahulu ketimbang wanita (Hawa), di samping juga Hawa disebut-sebut tercipta dari cuatan tulang rusuk Adam. Konsep ini barangkali telah mempengaruhi cara wanita “harus” berbahasa kepada pria dan sebaliknya. Proses berbahasa melibatkan kerja psikologis yang melibatkan kerja otak. Memang ada perbedaan ukuran dan cara kerja antara otak pria dan wanita. Namun, perbedaan dalam hal penggunaan bahasa oleh kaum laki-laki dengan kaum perempuan sulit untuk dikatakan sebagai suatu kecenderungan yang bersifat biologis semata. Kenyataan lebih menunjukan bahwa faktor social dan budaya sering memegang peranan yang penting dan menentukan tentang cara bagaimana kaum perempuan dan laki-laki (harus) berbicara. Hal ini mengakibatkan semakin tidak mudahnya memahami bahasa hanya dari struktur kata dan kalimatnya saja tanpa menelusuri lebih jauh faktor-faktor lain yang melatarbelakangi pemakaian bahasa tersebut dalam suatu komunitas kehidupan tertentu. Wallahu a’lam. D. Daftar pustaka Chaer, Abdul, Psikolinguistik Kajian Teoretik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), Cet. Pertama Dardjowidjojo, Soenjono, Rampai Bahasa, Pendidikan, Dan Kebudayaan, (Jakarta: Yayayasan Obor Indonesia, 2003), cet. ke-1. Liliweri, Alo, Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) http://sabine-elli.blogspot.com/search?q=bahasa, diakses tanggal 9 oktober 2012, pukul 7.27 WIB. al-Sayyid, Sabri Ibrahim, ilmu al-lughah al-ijtima’ Mafhumuha wa Qadayahu, (Iskandariah: Daral-Ma’rifah al-Jami’iyyah, tth). Wafi, Ali Abdul Wahid, al-Lughah wa al-Mujtama’,(Kairo:Dar Nahdhah Misr, tth.) Wafi, Ali Abdul Wahid, Fiqh al-Lughah ,Kairo: Maktabah Nahdhah, Cet. V , 1962. Wafi, Ali Abdul Wahid Ilmu al-Lughah, Kairo: Maktabah Nahdhah, Cet. V , 1962. Yunus, Fath ‘Ali Dan Muhammad Abd Al-Rauf Al-Syaikh, Al -Marja’ Fi Ta’lim Al Lughah Al ‘Arabiyyah Li Al Ajanib :Min Al Nadzariyyat Wa Al Tathbiq, (Kairo: Maktabah Wahibah, 2003)

No comments:

Post a Comment

Pragmatisme Manusia Moderen

Pragmatisme Manusia Moderen Sejak bergulirnya Era reformasi Indonesia sudah Berganti 5 kali kepemimpinan Presiden Namun ekonomi bukan semak...