Saturday 4 November 2017

STUDY NAHWU MAZHAB BASRAH

STUDY NAHWU MAZHAB BASRAH Oleh. Jaenal Arifin Bab. I. Pendahuluan Pada Masa Kejayaan Islam mampu mengembangkan sayapnya ke belahan dunia lain. Maka, secara otomatis bahasa arab juga ikut andil dalam hal itu. Karena disamping sebagai bahasa resmi umat islam terutama shalat, juga Negara Arab sebagai tempat turunnya agama Islam, yang ketika itu Makkah sebagai daerahnya. Karena itu, bahasa arab akhirnya banyak yang ingin mempelajarinya sehingga tidak terlepaslah dari percampuran dengan bahasa lain yang secara pasti akan merubah susunan gramatikalnya. Akhirnya, fenomena ini menjadi perhatian penting pencinta dan pemerhati bahasa arab sendiri, karena seringnya mereka menemukan kesalahan (lahn) dalam berbicara dan penulisan. Hal ini terjadi, tidak lepas karena orang non arab (azam) dalam berbicara keseharian masih selalu menggunakan bahasa negaranya sendiri, sehingga ketika berbicara dengan orang yang keturunan arab selalu terdapat kesalahan dalam melafalkan kalimat. Dalam satu riwayat disebutkan, bahwa Abu Al-Aswad Ad-Dhuali sebagai pencinta dan pemerhati bahasa arab yang tinggal di negeri Basrah (sekarang, Irak) pernah menemukan seorang qori sedang mentilawahkan al-Qur an. Ketika itu, qori tersebut membaca kata "rasuulihi" yang terdapat dalam ayat "innallaaha bariiun minalmusyrikiin wa rasuuluhu" dengan berbaris bawah (kasrah) dengan maksud meng'athaf kannya kepada kata" al-musyrikiin". Dan dalam riwayat yang lain, suatu malam Abu Al-Aswad Al-Dhual sedang duduk di balkon bersama putri kesayangannya, ketika sang putri melihat bintang-bintang di langit begitu indah sekali dengan menimbulkan cahaya yang gemilang, sehingga timbul kekagumannya dan mengatakan "ma ahsannus sama a" sebagai badal dari kalimat kagum (ta'azzub) yang seharusnya "ma ahsanasama i". Dan telah banyak ia mendengar keselahan-kesalahan masyarakat pada waktu itu dalam berbicara, sehingga timbul kekhawatirannya akan rusaknya estetika gramatikal bahasa arab dari wujud aslinya. Kemudian ia pergi mengadukan hal-hal yang pernah ditemukannya, yang berkaitan dengan kerusakan estetika gramatikal bahasa arab kepada Saidina Ali Ra. Bab. II Pembahasan A. Pengertian Nahwu Nahwu merupakan bagian dari ‘Ulûmul ‘Arabiyyah, yang bertujuan untuk menjaga dari kesalahan pengucapan maupun tulisan. Ilmu nahwu adalah ilmu yang membahas tentang aturan akhir struktur kalimah (kata) apakah berbentuk rafa’, nashab, jarr, atau jazm. Ilmu Nahwu (gramatika bahasa Arab) sejak awal perkembangannya sampai sekarang senantiasa menjadi bahan kajian yang dinamis di kalangan para pakar linguistik bahasa Arab. Sebagai salah satu cabang linguistik (ilmu lughah), Ilmu Nahwu dapat dipelajari untuk dua keperluan. Pertama, Ilmu Nahwu dipelajari sebagai prasyarat atau sarana untuk mendalami bidang ilmu lain yang referensi utamanya ditulis dengan bahasa Arab, misalnya Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, dan Ilmu Fiqih. Kedua, Ilmu Nahwu dipelajari sebagai tujuan utama (sebagai spesialisasi Linguistik bahasa Arab). Dua bentuk pembelajaran (learning) Ilmu Nahwu itu telah menjadi tradisi yang berkembang secara berkesinambungan di kalangan masyarakat Arab (Islam) dahulu sampai sekarang. B. Aliran Ilmu Nahwu Mazhab Basrah Ahli sejarah sependapat bahwa ilmu nahwu pertama muncul dan berkembang di Basrah. Abu al-Aswad al-Duali (69 H) sebagai peletak pertama ilmu tersebut atas saran dan arahan Amir al-Mu-minin Ali bin Abi Talib setelah melihat adanya gejala lahn (kesalahan), baik di kalangan masyarakat Arab maupun di kalangan orang-orang yang baru masuk Islam (al-mawali). Munculnya ide untuk menyusun kaidah dan dasar ilmu nahwu didasarkan atas beberapa faktor yang mendorong ke arah itu. Namun, faktor terpenting yang menyebabkan lahirnya ilmu itu ialah adanya keinginan memelihara al-Quran al-karim dari lahn (kesalahan) dan tahrif (perubahan) yang bisa menyebabkan kesalahan makna yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran. Al-Tantawi dalam bukunya menjelaskan bahwa para tokoh nahwu aliran Basrah dianggap kelompok pertama yang menyusun dasar-dasar ilmu tersebut. Mereka menumpukan perhatiannya untuk mengembangkan ilmu itu, hampir satu abad lamanya. Atas jasanya dalam memberi tanda baca mushaf Al-Qur’an itu Abu Al- Aswad kemudian dikenal sebagai peletak dasar ilmu I’rab, dan setelah itu banyak orang yang datang kepadanya untuk belajar ilmu qira’ah dan dasar-dasar ilmu i’rab. Dia melaksanakan pengajaran itu di masjid Jami’ Bashrah. Dari sinilah awal mula kota Bashrah dikenal sebagai kota kelahiran Ilmu Nahwu. Banyak murid yang berhasil dan kemudian menjadi generasi penerus yang mengembangkan gagasan-gagasan yang telah dirintisnya, diantaranya adalah Anbasah bin Ma’dan yang dikenal dengan panggilan Anbasah Al-fil, Nashr bin ‘Ashim al-Laitsiy (wafat 89H), dan Yahya bin Ya’mur Al-Adwaniy (wafat 129 H). Anbasah kemudian mempunyai seorang murid yang banyak berpengaruh dalam pengembangan Ilmu Nahwu yaitu Maimun Al-Aqran (Al-Fadlali, 1986:26). Perkembangan Ilmu Nahwu yang sempat dicapai pada masa Yahya bin Ya’mur dan Nashr bin Ashim antara lain adalah: (1) pembakuan sebagian istilah nahwu, seperti rafa’, nasab,jar, tanwin, dan i’rab, (2) perluasan beberapa pokok bahasan nahwu, (3) mulai dipakainya pendekatan nahwiyyah dalam pembahasan masalah-masalah ilmiyah di kalangan para ulama, dan (4) mulai bermunculannya karangan-karangan dalam bidang Ilmu Nahwu, sekalipun masih belum berbentuk buku. Di samping itu, dikenalnya kota Bashrah dengan kota kelahiran nahwu juga karena kota ini selalu menjadi pusat kegiatan pengajian dan penelitian di bidang itu. Para ahli nahwu setelah generasi Yahya dan ‘Ashim, seperti Ibnu Abi Ishaq (wafat 117 H) dan Abu “Amr bin Al-’Ala’ (wafat 154 H) selalu getol dalam mengkaji dan meneliti berbagai masalah yang berkaitan dengan nahwu. Merekalah yang mula-mula mengembangkan metode induksi dan deduksi serta analogi dalam penyusunan Ilmu Nahwu. Untuk mengumpulkan data penelitian itu mereka tidak segan-segan melanglang buana ke berbagai penjuru jazirah Arab yang bahasanya masih dianggap murni, seperti Nejed, Hijaz, dan Tihamah. Dari daerah-daerah itu mereka pilih kabilah-kabilah yang benar-benar kuat dalam memegang kemurnian bahasa, seperti kabilah Tamim, Qais, Asad, Thayyi’, dan Hudzail. Disamping itu, dalam melakukan analogi mereka tidak segan-segan merujuk pada sumber utama ilmu bahasa Arab yaitu Al-Qur’an. Mereka tidak merujuk pada Hadits Nabi dalam melakukan analogi, karena pada waktu itu hadits belum dibukukan. Jika demikian itu keadaan di kota Bashrah, maka tidak demikian apa yang terjadi di kota Kufah (yang pada akhirnya juga dikenal dengan aliran nahwunya). Di saat Bashrah sedang gencar-gencarnya mengkaji dan membahas berbagai hal yang berkaitan dengan Ilmu Nahwu, sampai pertengahan akhir abad kedua Hijriah, Kufah masih berkutat pada pembacaan Al-Qur’an dan pengumandangan syair dan prosa. Dalam hal ini Ibnu Salam berkata: “Bashrah lebih dahulu menaruh perhatian terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab” (Ibnu Salam, tanpa tahun:12). Senada dengan itu, Ibnu Nadim(dalam Dlaif, 1968:20) mengatakan: “Saya lebih mengutamakan pendapat ulama Bashrah, karena dari merekalah Ilmu Nahwu mula-mula dipelajari. C. Tokoh – tokoh Nahwu Basrah. Generasi Pertama 1. Abul Aswad Ad-Duali adalah orang pertama yang menyusun ilmu Nahwu setelah mendapat rekomendasi dari Ali r.a. Abul Asawad meninggal di Bashrah pada tahun 69 H. 2. Abdurrahman bin Hurmuz adalah orang pertama yang menyusun bahasa Arab dan dialah orang pertama yang paling tah ilmu nahwu dan seorang keturunan Quraisy wafat pada tahun 117 H. Generasi Kedua 1. Yahya bin Ya’mur Al-Udwan Al-Laitsi 2. Maimun Al-Aqran 3. Anbasah Al-Fil 4. Nashr bin Ashim Al-Laitsi (wafat pada tahun 89 H) Generasi Ketiga 1. Abdullah bin Abu Ishak 2. Abu Umar bin Ula (wafat pada tahun 154 H.) 3. Isa binAmr ats-Tsaqfi Generasi Keempat 1. Al-Akhfa al-Akbar 2. Al-Khalil bin Ahmad 3. Yunus bin Habib Generasi Kelima 1. Sibawaih 2. Nahsyal bin Hurry 3. Al-Akhthal 4. Al-Yazidy Generasi Keenam 1. Al-Akhfasy al-Awsath 2. Qathrab Generasi Ketujuh 1. Al-Jurmy (wafat pada tahun 225 H) 2. At-Tauzy wafat pada tahun 230 H) 3. Al-Maziny (wafat pada tahun 249 H.) 4. Abu Chatim as-Sijistany (wafat pada bulan Rajab tahun 255 H.) 5. Ar-Riyasyy (wafat pada tahun 257 H) D. Dasar hukum pengembangan Ilmu Nahwu Basrah Mengembangkan Ilmu Nahw. Pada awal perkembangannya, nahw masih merupakan ilmu dengan lingkup yang kecil. Abu al-Aswad menemukannya dan kemudian dikuatkan oleh Imam Ali ra. Ilmu ini mendapat iklim yang bagus untuk berkembang di Basrah sesuai dengan keadaan Basrah waktu itu. Ilmu nahw sangat diperlukan di Basrah karena sangat banyak kesalahan bahasa di sana. Kaum muslim non Arab di Basrah sangat membutuhkan ilmu nahw untuk memperbaiki bahasa, menghilangkan pengaruh bahasa asing, mendalami agama Islam, dan meningkatkan kedudukan mereka di kalangan orang Arab. Setelah Abu al-Aswad membangun sistematika ilmu nahw, ternyata orang Arab juga membutuhkannya dalam berbahasa. Setelah masa Abu al-Aswad, perbedaan mulai timbul di antara para muridnya, seperti ‘Abdurrahman bin Hurmuz, Maimun al-Aqran, ‘Anbasah al-Fil, Yahya bin Ya‘mur, Nasr bin ‘Asim, dan juga para murid berikutnya, seperti ‘Isa bin ‘Umar, Abu ‘Amr bin al-‘Ala, dan Yunus bin Habib. Adapun metode yang di gunakan dalam penyusunan ilmu nahwu dapat di lihat di bawah ini: 1. Al- Sama,a Istilah al- Sama,a di gunakan dalam dua konteks yaitu pembuatan dan penggunaan bentuk kata di yang dasarkan pada apa yang biasa di gunakan dan di dengar langsung dari kalam arab yang faseih dan sesuai dengan kaidah nahwu dengan berbagai metode penyusunanya. Al- sama,a juga mejadi landasan teori ulama basrah dalam penyusunan ilmu nahwu. Namun itu bukan satu- satunya metode yang di gunakan. Abu al-Aswad memakai cara ini ketika Bani Qusyair mempertanyakan masuknya dia ke dalam kelompok Syiah. Kemudian Abu al-Aswad mengucapkan sebuah syair yang berbunyi ولست بمخطئ إن كان غيا فإن يك حبهم رشدا أصبه Syair ini adalah bukti bahwa Abu al-Aswad tidak ragu-ragu. Pendapat Abu al-Aswad terkait dengan hak untuk berbeda pendapat. Dia menggunakan ayat al-Qur’an sebagai dalil, yaitu ayat yang berbunyi: وإنا أو إياكم لعلى هدى أو فى ضلال مبين (سبأ : 24) Pada kesempatan yang lain, Abu al-Aswad juga menjelaskan bolehnya menggunakan perkataan لولاي . Hal ini sesuai dengan sebuah syair yang berbunyi: وكم موطن لولاي طيحت كما هوى # بأجرامه من قنة النيق منهرى 2. Al- Qiyas Peletak Dasar metode qiyas dalam ilmu nahwu adalah Abdullah ibn Ishaq al-handrami (W. 177H) Beliaulah yang pertama mengembangkan qiyas (analogi) dan pemikiranya mengenai ilat. Sejak itulah berkembang dengan nuansa qiyas ini juga menjadi pilar atau dalil penting dalam perumusan kaidah ilmu nahwu. Menurut Abu al- barakat al- anbari menurutnya bahwa pada dasarnya nahwu itu semuanya qiyas dan orang yang mengingkari qiyas berarti juga mengingkari nahwu. Qiyas memperoleh momentumnya ketika ilmu keislaman mulai muncul seperti ilmu kalam, ilmu Fiqh dan nahwu bersentuhan dengan pemikiran filsafat, dan mencapai puncaknya pada masa al- Ma,mun dan sesudahnya nahwu berubah dari corak tahlimi menjadi ilmi dan pada segi tertentu cendrung terpengaruh gramatika tradisonal yunani yang menekankan pada aspek tahlil (pemberian argumentasi, ataupun alasan dalam fenomena kebahasaan ) yang kemudian dalam bahasa arab di kenal juga dengan amil. Kemudian ulama nahwu banyak membuat rumusan – rumusan ilmu nahwu yang di nilai sangat rumit dan tidak fungsional yang kemudian berimplikasi terhadap metode ilmi itu sendiri terhadap pengajaranya yang tidak lagi di posisikan sebagai wasilah (media) melainkan tujuan bahasa itu sendiri yang tidak menyentuh pada aspek pemahaman bahasa sebagai media berkomunikasi. Yang di peroleh dengan metode – metode sebelumnya yang cukup berhasil dalam mengembangkan pembelajaran ilmu nahwu. Tetapi metode Qiyas banyak di gunakan ulama – ulama mazhab Kufah. Di bandingkan basrah. 3. Al- Istihsab Sesuai dengan namanya istihsab (taking along, considering the origin), berkaitan erat dengan metode al- ashal beristihsab dalam perumusan kaidah nahwu berarti merujuk kembali kepada landasan hukum asal kalimat, menurut ibnu al- anbari mendefinisikan istihsab sebagai mempertahankan kondisi lafazh tetap kepada asalnya ketika tidak ada dalil naqli tentang asal kalimat tersebut dan metode ini termasuk metode yang lemah dan awal kemunduran perkembangan ilmu nahwu. Karena di anggap stagnan dalam study ilmu nahwu. 4. Ijmai Secara bahasa berarti kesepakatan ulama – ulama ahli nahwu khususnya basrah yang menjadikan Rujukan Al-Quran sebagai Landasan dalam penyusunan Gramatika ilmu bahasa Arab (Nahwu). Mengacu kepada aliran Qiro,at tujuh sebagai kunci awal dalam dalam pembentukan kaidah – kaidah tersebut. Penggunaan pendapat ulama terdahulu. Hal ini misalnya yang terjadi pada ‘Abdullah bin Abi Ishaq yang membaca: قل هو الله أحدٌ الله الصمد Kemudian dia mendengar Nasr bin ‘Asim membacanya dengan cara: قل هو الله أحدُ الله الصمد karena bertemunya dua tanwin. ‘Abdullah mengatakan kepada Nasr bahwa ‘Urwah membaca ayat tersebut dengan tanwin, tetapi Nasr mengatakan bahwa bacaan ‘Urwah tidak baik. Maka ‘Abdullah membaca ayat tersebut tanpa tanwin seperti yang dikatakan oleh Nasr. 3. Perbedaan pendapat Perbedaan pendapat ini terkait dengan prinsip-prinsip yang dirumuskan sendiri oleh para ahli nahw. Sebagai contoh adalah ‘Abdurrahman bin Hurmuz yang membaca ayat dengan bacaan: أو يأتيهم العذاب قُبُلاً (الكهف : 55) Hal ini berbeda dengan ‘Isa bin ‘Umar yang membaca: أو يأتيهم العذاب قِبَلاً (الكهف : 55) ‘Abdullah bin Abu Ishaq juga membaca beberapa ayat dengan cara berbeda, misalnya: يا ليتنا نردَ ولا نكذبَ بآيات ربنا ونكونَ من المؤ منين (الأنعام : 27) والزانيةَ والزانيَ (النور : 2) dan والسارقَ والسارقةَ (المائدة : 38) III. Penutup Munculnya berbagi perselisihan mazhab, baik dalam fikih maupun kalam Khususnya nahwu jika dicermati, diantaranya, juga disebabkan oleh bahasa, dalam hal ini adalah masalah interpretasi teks (bahasa) al-Qur’an. Begitu pula dalam perselisihan politik, meskipun berlatar belakang sosial, ekonomi dan golongan, namun adakalanya pula timbul dari soal pemahaman teks (bahasa) agama. Itu sebabnya, aktifitas ilmiah pertama yang dilakukan dalam tradisi intelektual Islam adalah terkait dengan masalah kebahasaan seperti kodifikasi bahasa, meletakkan dasar-dasar linguistik dan merumuskan gramatikanya. Metode ilmiah yang digunakan dalam pembahasan bahasa ini lalu dijadikan mode dalam berbagai aktifitas intelektual lainnya. Karenanya, tradisi keilmuan Islam yang berkembang setelah ilmu bahasa sangat terwarnai oleh metode dan cara berpikir para linguist dan grammarian generasi pertama. Oleh karena itu, pada bagian ini penting rasanya menelusuri kembali mula pertama aktifitas dunia kebahasaan yang kemudian disebut dengan ilmu nahwu, terutama yang terkait dengan penggagas disiplin tersebut dan perkembangannya. Berbagai literatur Arab yang membahas historisitas nahwu hampir dapat dipastikan bahwa pada umumnya memiliki nuansa pengkajian yang seirama, yaitu terfokus pada dua hal: peletak dasar (penggagas) disiplin nahwu, dan kedua latarbelakang kelahirannya. Terkait dengan soal pertama, perbincangan yang mewarnai berbagai literatur Arab berkisar pada “pro-kontra” dalam memastikan nama utama yang dianggap sebagai penggagas ilmu nahwu ini. Paling tidak terdapat lima nama yang disebut-sebut secara kontroversial sebagai panggagasnya, yaitu; Abu al-Aswad al-Du’ali, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdurrahman bin Hurmuz dan Nashr bin Ashim al-Laitsi. Kajian ini tidak akan larut dan terjebak pada kontroversi di atas, sebab hampir dapat dipastikan semua nama yang tersebut tadi memiliki peran masing-masing dalam membidani kelahiran dan pertumbuhan nahwu. Abu al-Aswad al-Du’ali dan para muridnya yaitu Anbasah al-Fil, al-Aqran, Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur, misalnya, dalam berbagai literatur diakui sebagai penggagas awal ilmu nahwu. Abu Aswad al-Du’ali berjasa merumuskan “i’rab” dan pembagiannya, semenatra para muridnya mengembangkannya dan menemukan istilah-istilah teknis semisal “al-mubtada’, al-fa’il dan al-maf’ul”. Kemudian murid dari para murid Abu Aswad terutama Ibnu Abi Ishaq al-Hadhrami, Isa bin Umar al-Tsaqafi dan Abu Amr bin al-Ala’ lebih jauh mengembangkan teori-teori yang telah dirintis di atas dengan cara membuat rumusan tatabahasa yang sedikit lebih luas dengan melakukan penelitian mendalam mengenai karakter bahasa Arab, ia juga dianggap sebagai penggagas metode “ta’lil dan qiyas” dalam nahwu. Lebih dari itu, generasi ini juga telah membukukan teori-teori mereka seperti yang dilakukan oleh Isa bin Umar dalam karyanya”Kitâb al-Jâmi’ dan Kitâb al-Mukammil Sementara terkait dengan latar belakang yang mendorong lahirnya ilmu nahwu ini hampir semua literatur yang tersedia sependapat yaitu disebabkan karena semakin meluasnya kesalahan-kesalahan berbahasa secara baik dan benar menurut standar bahasa Arab yang fasih, atau yang lebih akrab disebut dengan istilah “al-Lahn”. Terlepas dari faktor utama yang mendorong proses ilmiah bahasa Arab (kodifikasi dan perumusan gramatikanya), misalnya saja demi menjaga kemurnian bahasa al-Quran atau karena meluasnya “lahn” seperti di tengah masyarakat seperti disinggung di atas, atau siapapum penggagas utama cabang pengetahuan nahwu ini, yang pasti aktifitas ilmiah tersebut telah menjadi catatan penting dalam sejarah intelektual Islam yang menandai adanya suatu perubahan radikal dalam dunia kebahasaan Arab. Aktifitas intelektual tersebut telah merubah bahasa Arab dari sebuah bahasa non ilmiah (tidak dapat dipelajari dengan metode ilmiah) menjadi bahasa ilmiah, bahasa yang memiliki aturan dan sistem seperti lazimnya obyek ilmiah lainnya. Demikianlah makalah ini saya sampaikan sebagai penutup dari pembahasan- pembahasan sebelumnya masih banyak kekurangan yang perlu di kaji kembali lebih mendalam. DAFTAR PUSTAKA 1. Tammam Hasan اصول النحو ulumul kitab 2. Muhbib Abdul Wahab “pemikiran linguistic Tammam hasan Dalam Pembelajaran Bahasa arab” UIN Jakarta Press.Cet. 1 th 2009. 3. Al –Syayuthi, Jalalu al- Din, Kitab Al iqtirah fi ilm Ushul al- Nahwu, Beirut: Dar al Qutb ilmiyah. 4. Jalaluddin Abdurahman Ibn abi bakr. Al –Syayuthi, Jalalu al- Din, Kitab Al iqtirah fi ilm Ushul al- Nahwu, Beirut: Dar al Qutb ilmiyah.

No comments:

Post a Comment

Pragmatisme Manusia Moderen

Pragmatisme Manusia Moderen Sejak bergulirnya Era reformasi Indonesia sudah Berganti 5 kali kepemimpinan Presiden Namun ekonomi bukan semak...