Saturday 28 January 2017

Linguistik Arab


BAB. I. PENDAHULUAN
Abstraksi


Kajian Linguistik, termasuk bahasa arab, berawal dari bahasa lisan (lughah al-Nutq) yang digunakan para pemakai bahasa untuk berkomunikasi dengan sesamanya, sebelum pada tahap selanjutnya,bahasa itu dikodifikasi atau dibukukan dalam bentuk bahasa tulis (lughah kitabah). Pertumbuhan bahasa Arab, sebagai bahasa Al-Qur'an yang disebut-sebut sebagai karya sastra terbesar  kian maju pesat dan bahkan menjadi bahasa dunia. Karena itu, bahasa Arab menjadi obyek penelitian yang berkembang menjadi sebuah ilmu mencakup tata bahasa, retorika, puisi dan lain-lain. Tingkat kebutuhan kaum muslimin untuk memahami kandungan Al-Qur'an, terutama bagi non-Arab, mendorong kalangan intelektual untuk terus berkarya. Hal itu terbukti dengan lahirnya ilmu-ilmu keislaman, seperti: ilmu tafsir, ilmu nahwu, termasuk ilmu leksikologi.[1]

Leksikologi, atau ilmu tentang makna kata, sama tuanya dengan bahasa yang menjadi objek penelitian. Kebutuhan untuk mengajarkan gaya menulis atau berbicara yang benar, dan memahami isi dan arti secara Gramatika (Fusha) menjadi kebutuhan yang universal. Kedatangan Islam telah mengubah makna beberapa kata dan memasukkan kata-kata baru. Pemakaian Al-Qur'an sangat menentukan perubahan ini. Sejumlah kata juga mendapat konotasi baru, konotasi keagamaan dan sebagainya. Semua ini perlu diketahui oleh kaum muslimin yang berbahasa Arab maupun tidak. Belum lagi, kasus dalam bahasa Arab yang mempunyai kata berlainan untuk setiap sub
Keharusan itu mendorong para leksikon untuk menyusun kamus yang bertujuan memudahkan pemahaman arti kata bahasa Arab. Pada akhir abad ketiga Hijrah, bahasa Arab mulai dikodifikasi dalam sebuah kamus dengan sistematika penyusunan kamus tertentu. Kamus pertama bahasa Arab adalah Kitab Al-‘Ain yang disusun Khalil bin Ahmad Al-Farahidy (w 100- 170H ) dengan sistematika Nizham Ash-Shauty dimana huruf hijaiyah disusun berdasarkan Makharijul-Huruuf

Sejak itu, tradisi menyusun kamus-kamus bahasa Arab berkembang pesat hingga kini dengan sistematika yang bermacam-macam juga. Asumsi ini diperkuat dengan bukti realistis yang menunjukkan betapa banyak bahasa yang pernah berkembang lalu punah karena belum dikodifikasi dalam catatan. Hal itu disebabkan manusia yang belum mengenal budaya tulis menulis sehingga bahasa lisan mereka lenyap bersamaan dengan eksistensi peradaban mereka. Perlunya Kajian Sejarah Kemunculan Dan Perkembangan Bahasa Khususnya Leksiologi (Tarikh Al’Maajim) Sebagai Bentuk Apresiasi Sekaligus untuk Memperkaya Study Ilmu – Ilmu Kebahasaan Dari latar belakang diatas pemakalah akan menjelaskan bagaimana Sejarah Perkembangan Kamus Khususnya Bahasa arab yang menjadi pembahasan Pada topic Makalah Ini, disini pemakalah akan menjelaskan Beberapa Rumusan Masalah Sebagai Bentuk Fokus kajian Ini Antara Lain:

RUMUSAN MASALAH

1.      Apa pengertian dari”Ilmu Al-Ma’ajim (Leksikologi Bahasa Arab)”?
2.      Bagaimana perkembangan “Ilmu Al-Ma’ajim (Leksikologi Bahasa Arab)”?
3.      Siapakah tokoh-tokoh “Leksikologi Bahasa Arab”? 

TUJUAN 

1.      Memahami makna Leksikologi Bahasa Arab
2.      Mengetahui perkembangan Leksikologi Bahasa Arab
3.      Mengetahui tokoh-tokoh Leksikologi Bahasa Arab.

BAB. II.  PEMBAHASAN

1.       Pengertian Leksikologi Bahasa Arab Leksikologi (Ilm Al-Ma’ajim),
menurut Dr.Ali Al-Qasimy adalah:

علم المعاجم أو علم المفردات هو دراسة المفردات ومعانيها في لغة واحدة أو في عدد من اللغات.ويهتم علم المفردات من حيث الأساس باشتقاق الألفاظ،وأبنيتها،ودلالاتها المعنوية والإعرابية ،والتّعابير الإصطلاحية ، والمترادفات وتعدد المعاني.

Leksikologi atau ilmu kosakata adalah ilmu yang membahas tentang kosakata dan
maknanya dalam sebuah bahasa atau beberapa bahasa. Ilmu ini memprioritaskan kajiannya dalam hal derivasi kata,struktur kata,makna kosakata,idiom-idiom,sinonim dan polisemi.

Leksikologi dalam bahasa inggris dinamakan “Lexicology” yang berarti ilmu atau studi mengenai bentuk,sejarah dan arti kata – kata Sedangkan dalam bahasa arab, leksikologi disebut dengan “Ilm Al-Ma’ajim”,yaitu ilmu yang mempelajari seluk beluk kamus. Menurut bahasa, lexicology berasal dari kata lexicon yang berarti: kamus, mu’jam atau istilah dari sebuah ilmu. Sedangkan menurtut  istilah, leksikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari seluk beluk makna /arti kosakata yang telah termuat atau akan dimuat di dalam kamus. Sedangkan leksikografi (Dirasah Mu’jamiyah) adalah pengetahuan dan seni menyusun kamus-kamus bahasa dengan menggunakan sistematika tertentu untuk menghasilkan produk kamus yang berkualitas,mudah dan lengkap. Antara leksikologi dan leksikografi tidak bisa dipisahkan. Leksikologi tanpa leksikografi tidak akan menghasilkan sebuah produk kamus yang baik,benar dan mudah dimanfaatkan oleh para pengguna bahasa.


Sebaliknya,leksikografi tanpa leksikologi juga hanya dapat melahirkan kamus-kamus yang tidak sempurna dalam mengungkap makna kosakata.Akan tetapi,ilmu leksikografi sebagai bagian dari linguistik terapan,lebih memerlukan hasil-hasil kajian atau penelitian dari ilmu leksikologi dalam upaya mewujudkan kamus yang baik,benar,lengkap dan memudahkan pembaca. karena itu,istilah “ilmu leksikologi” berarti berhubungan dan mencakup leksikografi. Secara teknis, Ali Al-Qasimy menjelaskan bahwa leksikografi adalah ilmu yang membahas tentang 5 langkah utama dalam menyusun sebuah kamus:

1.Mengumpulkan data (kosakata),
2.Memilih pendekatan dan penyusunan kamus yang akan ditempuh,
3.Menyusun kata sesuai dengan sistematika tertentu,
4.Menulis materi,
5.Mempublikasikan hasil kodifikasi bahasa atau kamus tersebut.

Dengan demikian,baik ilmu leksikologi maupun leksikografi keduanya adalah bagian dari ilmu linguistik. Leksikologi,sebagai studi pengembangan dari ilmu semantik,menjadi bagian dari ilmu linguistik teoritis (Ilm Al-Lughah Al-Nadzary). Sedangkan leksikografi,sebagai studi pengembangan dari leksikologi,menjadi bagian dari linguistik terapan (Ilm Al-Lughah Al-Tathbiqy).[2]

1      Latar belakang Historis Leksikologi Arab 


Secara etomologi, kata mu’jam berasal dari kata al-ujm dan al-ajm lawan kata dari al’arb dan al-‘urb. Kata al-‘ajam berarti orang yang ucapannya tidak fasih dan pembicaraannya tidak jelas. Sedangkan kata ‘ajami lebih identik dengan sebuatan untuk orang non Arab, baik ucapannya fasih maupun tidak. Orang asing yang masih memiliki garis keturunan Arab, juga disebut orang ajam. Kata a’jam sinonim dengan kata abham yang berarti “sesuatu yang tidak jelas”. Karena itu dalam bahasa arab, binatang disebut ajma’ atau abham karena binatang tidak bisa bicara. Bahkan segala sesuatu yang tidak bisa bicara dengan baik dan benar, biasa disebut a’jam dan musta’jam. Ibnu Jinni mengatakan, “Aku mmengetahui bahwa ‘a-ja’ma dalam perkataan orang-orang Arab digunakan untuk menyebut sesuatu yang belum jelas atau masih samar”. Jadi, kata mu’jam adalah lawan kata (antonym) dari kata bayan, fasih yang berarti jelas. 

Dengan demikian beberapa penjelasan tentang makna kata mu’jam yang asalnya berarti sesuatu yang tidak jelas, lalu kata mu’jam diterjemahkan dan digunakan untuk menyebut “kamus”, maka secara logis, penggunaan istilah ini menjadi sesuatu yang kontradiktif dengan fungsional kamus itu sendiri. Mengingat fungsi utama kamus bertujuan untuk menjelaskan makna dari sejumlah kosakata agar bisa dipahami dengan mudah oleh pembaca. Jika kamus disebut mu’jam berarti antara makna kata dan fungsi bendanya, justru berlawanan. Disinilah letak polemic penggunaan kata mu’jam di kalangan pakar bahasa arab yang tampaknya telah terjadi kesalahan. Lalu, apa yang menyebabkan bangsa Arab tetap menyebut kamus dengan istilah mu’jam, sekalipun maknanya tampak bertolak belakang?

Bila dilihat dari aspek morfologis, kata mu’jam berakar pada kata kerja yang berwazan af-a-la. Wazan empat huruf dengan huruf tambahan berupa hamzah pada awal kata, berarti memiliki fungsi ganda. Terkadang ia berfungsi menetapkan, tapi terkadang wazan af-a-la juga berfungsi meniadakan. Contoh, dalam firman Allah sebagai berikut :
Yang artinya :  “Segungguhnya hari kiamat itu akan datang aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan” Kata ukhfiha, menurut para mufassir berarti merahasiakan kiamat dengan cara menghilangkan kesamaran atau keragu-raguan tentang kepastian datangnya hari kiamat.

Demikian juga dengan istilah mu’jam yang digunakan sebagai sign untuk kamus. Mu’jam yang berasal dari a’jam ternyata berfungsi ‘meniadakan’ bukan ‘menetapkan’, sehingga kata mu’jam menjadi tepat bila dipakai untuk menyebut benda bernama ‘kamus’, mengingat fungsi kamus adalah meniadakan ketidakjelasan arti kosakata, menghilangkan ambigu atau menyingkirkan ketidaktahuan. Dengan mu’jam (kamus), seseorang dapat memahami arti sebuah kata. Leksikologi dalam bahasa Inggris dinamakan lexicology yang berarti ilmu/studi mengenai bentuk , sejarah dan arti kata-kata. Sedangkan dalam bahasa Arab, leksikologi disebut dengan ilm Al-Ma’ajim, yaitu ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk kamus. Menurut iltilah, leksikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari seluk beluk makna/arti kosakata yang termuat atau akan dimuat di dalam kamus. Selain istilah leksikologi dan ilm Al-Ma’ajim, ada juga beberapa istilah lain yang digunakan untuk menyebut ilmu tentang kamus. Misalnya saja, Ilm Al-alfadz, Al-Laffadzah, Ilm Dalalah Mu’jamiyah dan sebagainya. Terlepas dari perbedaan istilah dalam bahasa Arab dalam menyebut “ilmu tentang kamus” ini, yang jelas, munculnya berbagai nama tersebut menunjukkan pesatnya perkembangan ilmu bahasa .

Linguistik Arab, terutama di bidang ilmu makna. Sebuah bahasa yang terdiri dari kumpulan kata dan kalimat, pada awalnya hanya berupa suara-suara dan belum dikodofikasi atau ditampung dalam bentuk bahasa tulis. Apalagi terhimpun didalam sebuah kamus sebagai sebuah buku/pedoman yang berfungsi memuat umpulan kata dan penjelasan maknanya. Dengan berkembangnya berbagai ilmu dalam bidang perkamusan, pembuatan kamus pun semakin pesat. Hal ini ditujukkan dengan munculnya kamus-kamus kontemporer. Dan kamus-kamus tersebut bukan hanya membantu manusia dalam memahami makna suau kalimat yang belum dipahami, akan tetapi lebih dari itu, penyusunan kamus ini adalah bagian dari upaya optimal manusia dalam menjaga eksistensi bahasa mereka.
Proses transfer dari bahasa lisan ke bahasa tulis menuntut para penutur bahasa mengembangkan ilmu tentang makna (semantic) untuk memahami kosa kata lama maupun baru yang ada di dalam bahasa mereka. Interpretasi dan studi kosakata itu lebih dikenal dengan dengan ilmu kosakata (ilmu Al-Mufradat). Pada tahapan selanjutnya, hasil kajian dan penelitian dari ilmu kosakata, terutama yang telah maupun yang akan dikodifikasi ke dalam sebuah kamus, melahirkan ilmu leksikologi. Lebih dari itu, perwajahan kamus dan sistematika penyusunan kosakata ke dalam kamus-kamus berbahasa Arab juga terus berubah dan berkembang secara inovatif dari masa ke masa. Munculnya kamus-kamus bahasa yang berasal dari hasil usaha penelitian para penyusunnya, secara tidak langsung, maka makna-makna dari kosakata yang telah dimuat di dalam kamus, telah mereka nilai sebagai kosakata baku dan maknanya shahih, sehingga pada akhirnya, sebuah kamus tidak sekedar berfungsi sebagai buku yang memuat kumpulan makna, tetapi ia dipandang sebagai buku pedoman bahasa fusha (resmi) yang baku. Disinilah letak urgensitas kamus dalam menyebarkan kosakata dan maknanya, mempengaruhi interpretasi pembaca kamus dalam memahami makna, menyeleksi mana kosakata yang fasih dan yang tidak, dan sebagainya.
Kamus-kamus bahasa Arab yang terbit dengan varian dan karakteristik yang berbeda-beda telah mendorong para pakar bahasa untuk lebih serius mendalami teknik-teknik penyusunan yang inovatif dan informatif. Fenomena ini melahirkan ilmu leksikografi (Ilm Shina’ah Al-Mu’jamiyyah atau Dirasah Mu’jamiyyah) atau ilmu perkamusan yang bukan hanya sebatas membahas tentang seluk beluk makna leksikal dari kosakata, tetapi juga sebagai ilmu yang membahas teknik pemilihan sistematika dalam menyusun kamus, memahami kelengkapan komponen kamus dan sebagainya.

2.      Faktor – Faktor munculnya Leksilogi

Sebelum era Dinasti Abbasiyah,bangsa Arab,terutama umat islam,belum banyak yang mengenal pentingnya kodifikasi bahasa atau penyusunan kamus-kamus bahasa arab. Paling tidak,manurut Dr.Imel Ya’qub,ada 3 faktor yang menyebabkan kenapa bangsa arab belum atau terlambat dalam hal penyusunan kamus.

1.      Mayoritas bangsa Arab masih  (buta huruf) Sebelum Islam datang di Jazirah Arab,
bangsa Arab yang bisa membaca dan menulis dapat dikatakan sangat minim.Nabi Muhammad SAW sendiri menyatakan,dan Al-Qur’an menegaskan,apa yang telah diketahui orang-orang pada zamannya,yaitu bahwa beliau buta huruf,dan tak mungkin dapat menyusun Al-Qur’an.Memang,pada era wahyu Al-Qur,an diturunkan,mayoritas sahabat Nabi juga tidak banyak yang mampu membaca dan menulis. Kenyataan ini yang menyebabkan masyarakat bangsa Arab kurang memperhatikan masalah kodifikasi bahasa mereka. Apalagi untuk mengumpulkan makna kosakata dan menulisnya dalam bentuk kamus.
2.      Tradisi nomadisme dan perang. Didalam Jazirah Arab,penduduknya tidak pernah menetap.perpindahan dari tanah pertanian ke padang rumput dan dari padang rumput ke tanah pertanian ,terus terjadi,dan menjadi ciri setiap fase sejarah jazirah.Selain tradisi nomadisme,penduduk jazirah Arab kerap kali berperang antar suku dan golongan.Tradisi nomadisme dan perang menjadi sebab utama bangsa Arab untuk kurang memperhatikan tradisi baca tulis dikalangan mereka.
3.      Lebih senang dengan bahasa lisan. Tak dapat dipungkiri jika bangsa Arab sangat fanatik dengan bahasa lisan.Mereka lebih mengagungkan tradisi muhadatsah.khitabah dan syair.Barangkali,secara geografis,wilayah gurun yang sepi dan kebiasaan migrasi juga berperan menciptakan tradisi sastra dikalangan mereka.[3]

 Ketiga faktor diatas mengakibatkan bangsa Arab sangat tertinggal dengan bangsa lain dalam hal kodifikasi bahasa atau penyusunan kamus-kamus berbahasa arab. Sekalipun demikian,bukan berarti sebelum era Dinasti Abbasiyah,bangsa Arab sama sekali tidak mengenal kamus,sebab leksikolog - dalam arti ilmu yang berusaha mengungkap makna-telah menjadi perbincangan di jazirah Arab.

4.      Periodesasi Pertumbuhan Dan Perkembangan Leksiologi
Ide-ide leksikon itu semakin berkembang  pesat dikalangan bangsa Arab, terutama umat Islam, seiring dengan aktifitas mereka dalam usaha memahami dan menginterpretasikan ayat - ayat suci Al-Qur’an. Salah satu buktinya adalah riwayat Abu Ubaidah dalam Al-Fadhail dari anas bahwa ketika Khalifah Umar bin Khaatab ra. (w.584-644 M) berkhutbah diatas mimbar,beliau membaca ayat : وفاكهة وأبّا “ Dan buah-buahan serta rumpu-rumputan” Lalu,Umar berkata:”Arti kata fakihah (buah) telah kita ketahui,tetapi apakah makna kata abb pada ayat tersebut?”. Ibnu Abbas ra.( Ia wafat di Thaif pada tahun 68 H.) Beliau Juga pernah mempertanyakan makna dari kata “Fatir” dalam firman Allah SWT surat Al Fatir ayat: 1
ßôJptø:$# ¬! ̍ÏÛ$sù ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur  ÇÊÈ  
1.    Untuk mencari tahu makna kata tersebut, Ibnu Abbas ra. Rela masuk ke daerah-daerah pelosok desa di wilayah Arab Badui yang dikenal masih memiliki kebahasaan yang asli.Kala itu, Ibnu Abbas melihat.
2.    orang di dusun yang sedang bertengkar tentang masalah sumur,salah seorang berkat:”Ana Fathartuha” (maksudnya,sayalah yang pertama kali membuatnya).
Dengan peristiwa ini,akhirnya Ibnu Abbas bisa memahami bahwa tafsir dari kata fathir berarti “pencipta”.
5.      Faktor Pendorong Penyusunan Kamus Arab
Faktor-faktor yang mendorong bangsa Arab untuk mengkodifikasi bahasa mereka dan menyusun kamus-kamus berbahasa Arab,antara lain:
1.      Kebutuhan bangsa Arab untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
2.      Keinginan mereka untuk menjaga eksistensi bahasa mereka dalam bentuk bahasa tulis.
3.      Banyaknya buku-buku tafsir yang terbit pada masa awal kodifikasi Al-Qur’an dan Hadits tentang gharaib atau kata-kata asing.
4.      Munculnya ilmu-ilmu metodologis pertama dalam islam.

6.      Tahapan Kodifikasi Bahasa Arab

Menurut Ahmad Amin (w.1878-1954) seorang Penulis Literatur Arab dari mesir Beliau    menyebutkan ada 3 tahap kodifikasi bahasa Arab hingga lahir kamus-kamus bahasa Arab.
1.    Tahap Kodifikasi Non-Sistemik Pada tahap ini seorang ahli bahasa biasa melakukan perjalanan menuju ke desa-desa.Lalu,ia mulai mencari data dengan cara mendengar secara langsung perkataan warga badui yang kemudian ia catat dilembaran-lembaran tanpa menggunakan sistematika penulisan kamus. Intinya,mereka mengumpulkan data melalui istima’,
2.    Tahap Kodifikasi Tematik Pada tahap kedua,para ulama’yang telah mengumpulkan data mulai berpikir untuk menggunakan tehnik penulisan secara tematis. Data yang terkumpul mereka klasifikasikan menjadi buku atau kamus tematik.
3.    Tahap Kodifikasi Sistematik Pada tahap ketiga,penyusunan kamus mulai menggunakan sistematika penulisan yang lebih baik dan memudahkan para pemakai kamus dalam mencari makna kata yang ingin diketahui. Kamus bahasa Arab pertama yang menggunakan sistematika tertentu adalah kamus Al-‘Ain.karya Khalil bin Ahmad Al-Farahidy (w.718-768 M/100-170 H)Dari Basrah. Beliau menyusun kamusnya dengan sistematika Al-Shawty.[4]

7.      Sistematika Penyusunan Mu’jam
Secara garis besar,ada Dua model penyusunan mu’jam ‘arabiyah yang digunakan para leksikolog,yaitu:
 (a).Sistem Makna (Kamus Ma’ani).
Sistem Makna (Kamus Ma’ani) Sistem makna (Kamus Ma’ani) adalah model penyusunan kosakata (item) didalam kamus yang digunakan seorang leksikolog dengan cara menata kata (entri) kamus secara berurutan berdasarkan makna atau kelompok kosa kata yang maknanya sebidang (tematik). Dengan kata lain, pengelompokan entri pada kamus-kamus ma’ani lebih mengedepankan aspek makna yang terkait dengan topik/ tema yang telah ditetapkan ole leksikolog. Dengan sistematika ini,maka kamus ma’ani lebih tepat disebut dengan kamus tematik. Kamus-kamus tematik berbahasa Arab,antara lain:Al-Gharib Al-Mushannaf karya Abu Ubaid Al-Qasi bin Salam (w.150-244 H),Al-Alfadz Al-Kitabiyyah karya Abdurrahman Al-Hamdzani (w.320 H),Mutakhayyir Al-Alfadz karya Ibnu Faris (w.395 H),Fiqh Al-Lughah wa Sir Al-‘Arabiyyah karya Abu Mamsyur Al-Tsa’labi (w.429 H),Al-Mukhashshah fi Al-Lughah karya Ibnu Sydah (w.398-458 H) dan Kifayah Al-Mutahaffidz wa Nihayah Al-Muthalaffidz karya Ibnu Al-Ajdani (w 600 H).
(b). Sistem Lafal (Kamus Alfadz) Sistem Lafal (Kamus Alfadz)
adalah kamus yang kata-kata (item) didalamnya tersusun secara berurutan berdasarkan urutan lafal (indeks) dari kosakata yang terhimpun,bukan melihat pada makna kata.Sejak munculnya kamus bahasa Arab pertama,sistematika penyusunan kamus-kamus alfadz terus berkembang pesat seiring dengan kebutuhan para pengguna kamus.Pencarian makna kata dengan cara melihat lafal menjadi Trademark kamus-kamus bahasa Arab.Bhkan,kamus-kamus tematik hanya dipandang sebagai kitab-kitab yang membahas tafsir makna sebagaimana kitab-kitab tafsir Al-Qur’an dan bukan lagi sebagai kamus bahasa. Dalam sejarah perkembangan Leksikon bahasa Arab,Paling tidak terdapat 5 model sistematika (nidzam tartib) yang pernah digunakan leksikolog arab dalam menyusun kamus-kamus lafal,yaitu: Nidzam Al-Shauty (Sistem Fonetik),Nidzam Al-Alfaba’i Al-Khas (Sistem Alfabetis Khusus),Nidzam Al-Qafiyah (Sistem Sajak),Nidzam Al-Alfaba’i Al-‘Aam (Sistem Alfabetis Umum) dan Nidzam Al-Nutqi (Sistem Artikulasi).
8.      Tokoh-Tokoh Leksikologi Arab

Khalil bin Ahmad Al farahidi (w. 100- 170H ). Khalil adalah seseorang yang dikaruniai dengan kecerdasan otak dan daya kreativitas yang tinggi oleh Allah SWT. Ia adalah pecinta ilmu yang sejati.Terbukti , ia gemar berkelana dari satu desa ke desa lain yang jaraknya berjauhan hanya untuk mengambil periwayatan lain dari penduduk desa demi memahami satu makna kata. Teori-teorinya banyak terbentuk dari hasil penelitian Ilmiah di lapangan. Khalil rela bergaul dengan penduduk Arab Badui di pedalaman untuk memahami makna bahasa. Hidupnya habis demi perkembangan ilmu bahasa dan sastra Arab. Pada akhirnya, Khalil pun tumbuh menjadi salah satu ulama terbesar di bidang ilmu bahasa Arab. Ia adalah ulama yang menguasai ilmu nahwu(sintaks),
bahasa(Linguistik), dan satra Arab. Selain itu, ia juga mumpuni di bidang ilmu matematika, ilmu syariat(hukum Islam), dan seni musik. Melalui karyanya yang berjudul Mu’jam Al ‘Ain, [5]

1.      Khalil bin Ahmad Al farahidi ( w.100- 170H ) dikenal sebagai peletak dasar-dasar leksikologi, sehingga tak berlebihan jika Khalil disebut sebagai ‘Bapak Leksikolog Arab’.
2.       Abu Amr Assyaibani Abu Amr ( w.110-206 H/728-821 M) lahir di desa Ramadah, dekat dengan kota Kufah. Ibunya berasal dari suku Nabtiyah dan nasabnya bersambung ke Bani Syaibani. Dari Kufah, Abu Amr pindah ke kota Baghdad dan menetap di sana hingga meninggal dunia. adalah ulama yang paling memahami dialek dan bahasa bangsa Arab. Bahkan ia dikenal sebagai ulama yang paling paham tentang kalimat-kalimat asing (gharib-al nawadir). Sejak masa remaja , ia gemar belajar bahasa Arab bersama kawan-kawannya di seluruh pelosok desa dan bergaul dengan orang-orang badui di pelosok  untuk memahami dialek dan bahasa Arab yang mereka ucapkan. Akhirnya , ia pun menulis beberapa buku yang memuat koleksi (baca; diwan) bahasa dan dialek orang Kufah dan Baghdad sekaligus.
3.      Abu Mansyur Al Azhari Al Harawi ( w.282 – 370H/ 895 – 981 M ) Abu Mansyur Al Azhari telah menulis kitab, seperti Tadzhib Al Lughah. Latar belakangnya adalah sosial masyarakat di sekitar Abu Mansyur Al Azhari yang selalu menjunjung tinggi bahasa Arab Fushah, dan menolak intervensi bahasa Arab ammiyah(pasaran).Tadzhib Al Lughah berarti “usaha untuk membenarkan atau mengembalikan kemurnian bahasa Arab”.
4.      Ibnu Jinni Nama lengkap Ibnu Jinni adalah Abul Fath Utsman bin Jinni Al-Mushily ( w.320-390 H/932-1001 M).  Ia adalah ulama terkenal di bidang ilu nahwu dan sastra . Masa kecilnya dihabiskan di kota Mosul, Irak, Konon, ayahnya bekerja sebagai pembantu setia seorang hakim di Mosul bernama Sulaiman bin Fahd Al-Azdi. Sekalipun demikian ,status sosial itu tidak menyurutkan Ibnu Jinni menuntut ilmu dan memperoleh pendidikan seperti anak-anak lainnya. Karya ilmiah yang berhasil ditulis oleh Ibnu Jinni mencapai 67 buku. Namun, bukunya yang paling populer hingga kini adalah Al Khashaish, sebuah buku yang isinya komprehensip meliputi dasar-dasar ilmu nahwu , kaidah usul fiqh , dan nahwu, dan analisi leksikologis terhadap makna-makna kosakata bahasa Arab.[6]

Buku yang terdiri dari 162 bab ini , pernah ia hadiahkan kepada Sultan Baha’uddin Al Buhaiwi, tepatnya setelah guru Ibnu Jinni meninggal dunia. Di bidang fiqih , Ibnu Jinni mengikuti mazhab Imam Hanafi. Di bidang aqidah , ia lebih memilih sebagai pengikut mu’tazilah dan di bidang ilmu nahwunya condong ke mazhab ulama Bashrah. Beberapa pendapat Ibnu Jinni yang mengundang kontroversin di dalam kitab al Khashaish, antara lain: kritiknys terhadap kekurangan Al-kitab karya Sibawaih dan pendapatnya yang menyatakan bahwani ilmu bahasa Arab termasuk akidah Islam. Dan selain para tokoh-tokoh leksikolog Arab masih ada beberapa tokoh lain yang akan di lain kesempatan. Seperti Ismail bin Qasim Al-Qoli Al-Baghdadi, Ibnu Duraid, Ibnu Faris Al- Razi, Ismail bin Hammad Al-Jawhari , Ibnu Mandzur Al-Afriqi , Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuzbadi, Butrus Al-Bustani , Lewis bin Nuqala , Abdullah Al-‘Ulayali, Ali bin Muhammad Al-Jurjani, Ibnu Siddah , Ibnu Al-Sikkit dan lain-lain.

 BAB III PENUTUP
Kesimpulan :
1. leksikologi adalah ilmu yang membahas tentang kosakata dan maknanya dalam sebuah bahasa atau beberapa bahasa.

2. Faktor kodifikasi bahasa Arab:
a) antisipasi kepunahan bahasa Arab,
b) empirisme bangsa Arab ,
c) sebagai keterampilan belajar Bangsa Arab,
 d) ciri bahasa Arab yang multimakna ,
e) membedakan antara bahasa Arab Fushah dan bahasa Arab ‘Amiyah

3. Dasar- dasar kodifikasi bahasa Arab:
a) Mayoritas masyarakat Arab yang masih ummi( buta Huruf) ,
 b) Tradisi nomadisme dan perang ,
c) Lebih senang dengan bahasa lisan.

4. Faktor pendorong penyusunan bahasa Arab:
a) Kebutuhan bangsa Arab untuk menafsirkan ayat-ayat al Qur’an ,
b)Keinginan bangsa Arab untuk menjaga eksistensi bahasa dalam bahasa tulis ,
 c) Banyaknya buku-buku tafsir yang terbit pada masa awal kodifikasi al Qur’an dan hadis tentang gharaib ,
d) Munculnya ilmu-ilmu metedeologis pertama dalam Islam

5. Tahapan kodifikasi bahasa Arab:
 a) tahap kodifikasi non-sematik ,
 b) tahap kodifikasi tematik ,
c) tahap kodifikasi sistematik

 6. Sistematika penyusunan mu’jam terbagi menjadi dua; sistem makna dan sistem lafal.
7. Tokoh-tokoh leksikolog Arab seperti Khalil ibn Ahmad Al Farahidi, Abu Amr Asy Syaibani , Abu Mansyur Al Azhari Al Harawi, Ibnu Duraidi , Ibnu Faris Al Razi , Ibnu Jinni , Ismail bin Hammad Al Jawhari, Ibnu Mandzur al Afriqi dan lain-lain.


1.      Taufiqurrahman, H.R, M.A.2008.Leksikologi Bahasa Arab. Yogyakarta: UIN MALANG-PRESS .
2.      Al-Faruqi, Isma’il R dan Lois Lamya Al-Faruqi.(2000). The Cultural Atlas of Islam, diterjemahkan: Ilyas Hasan. Atlas Budaya Islam. Bandung: Mizan.
3.      Al-Qasimy, Ali, Dr. (1991). Ijtihad Hadisatu fii Tahlim Al- Arabiyah Li Natiqi’in bil’lugoht Al – khor,ya Saudi Arabia: Jami’ah Riyad . Hal. 261
4.      Amin, Ahmad. (1956). Dhuha Al-Islam. Kairo: Maktbah An-Nahdhah.
5.      Arikunto, Suharsimi, Prof. Dr. (1998). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
6.      Asy-Syalqany, Abdul Hamid. (1971). Riwayah Al-Lughah. Kairo: Daar Al-Ma’arif.
7.      Imel, Ya’qub, Dr. (1985). Al-Ma’ajim Al-Lughawiyah Al-‘Arabiyah. Libanon: Daar Ulum Lil Malayiin.
8.      Nassar, Husain. (1968). Al-Mu’jam Al-‘Araby Nasy’atuhu Wa Tathawwuru. Kairo: Maktabah Misr.
9.      Setiawan, M. Nur Kholis, Dr.phil. (2005). Al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: Elsaq Press.
10.  Yaqqut, Mahmud Sulaiman, Dr. (1995). Fiqh Al-Lughah Wa Ilm Al-Lughah Nushuus Wa Dirasaat. Saudi Arabia: Jami’ah Thantha.





























[1]. H.R. Taufiqurrahman, Leksikologi bahasa Arab, hal.2, cet.I, UIN Malang Press, 2008
[2]. Al-Qasimy, M. Ali,  Dr. (1991). Ijtihad Hadisatu fii Tahlim Al- Arabiyah Li Natiqi’in bil’lugoht Al – khor,ya Saudi Arabia: Jami’ah Riyad . Hal. 261
[3]. Imel, Ya’qub, Dr. (1985). Al-Ma’ajim Al-Lughawiyah Al-‘Arabiyah. Libanon: Daar Ulum Lil Malayiin.

[4] . Amin, Ahmad. (1956). Dhuha Al-Islam. Kairo: Maktbah An-Nahdhah. seorang Penulis Literatur Arab dari mesir Beliau    menyebutkan ada 3 tahap kodifikasi bahasa Arab hingga lahir kamus-kamus bahasa Arab.
1.Tahap Kodifikasi Non-Sistemik Pada tahap ini seorang ahli bahasa biasa melakukan perjalanan menuju ke desa-desa.Lalu,ia mulai mencari data dengan cara mendengar secara langsung perkataan warga badui yang kemudian ia catat dilembaran-lembaran tanpa menggunakan sistematika penulisan kamus. Intinya,mereka mengumpulkan data melalui istima’,2.Tahap Kodifikasi Tematik Pada tahap kedua,para ulama’yang telah mengumpulkan data mulai berpikir untuk menggunakan tehnik penulisan secara tematis. Data yang terkumpul mereka klasifikasikan menjadi buku atau kamus tematik.3.Tahap Kodifikasi Sistematik Pada tahap ketiga,penyusunan kamus mulai menggunakan sistematika penulisan yang lebih baik dan memudahkan para pemakai kamus dalam mencari makna kata yang ingin diketahui. Kamus bahasa Arab pertama yang menggunakan sistematika tertentu adalah kamus Al-‘Ain.karya Khalil bin Ahmad Al-Farahidy (718-768 M/100-170 H)Dari Basrah. Beliau menyusun kamusnya dengan sistematika Al-Shawty.
[5].  
[6]

No comments:

Post a Comment

Pragmatisme Manusia Moderen

Pragmatisme Manusia Moderen Sejak bergulirnya Era reformasi Indonesia sudah Berganti 5 kali kepemimpinan Presiden Namun ekonomi bukan semak...