BAB.
I. PENDAHULUAN
Abstraksi
Kajian
Linguistik, termasuk bahasa arab, berawal dari bahasa lisan (lughah al-Nutq)
yang digunakan para pemakai bahasa untuk berkomunikasi dengan sesamanya, sebelum
pada tahap selanjutnya,bahasa itu dikodifikasi atau dibukukan dalam bentuk
bahasa tulis (lughah kitabah). Pertumbuhan bahasa Arab, sebagai bahasa
Al-Qur'an yang disebut-sebut sebagai karya sastra terbesar kian maju pesat dan bahkan menjadi bahasa
dunia. Karena itu, bahasa Arab menjadi obyek penelitian yang berkembang menjadi
sebuah ilmu mencakup tata bahasa, retorika, puisi dan lain-lain. Tingkat
kebutuhan kaum muslimin untuk memahami kandungan Al-Qur'an, terutama bagi
non-Arab, mendorong kalangan intelektual untuk terus berkarya. Hal itu terbukti
dengan lahirnya ilmu-ilmu keislaman, seperti: ilmu tafsir, ilmu nahwu, termasuk
ilmu leksikologi.[1]
Leksikologi,
atau ilmu tentang makna kata, sama tuanya dengan bahasa yang menjadi objek
penelitian. Kebutuhan untuk mengajarkan gaya menulis atau berbicara yang benar,
dan memahami isi dan arti secara Gramatika (Fusha) menjadi kebutuhan yang universal.
Kedatangan Islam telah mengubah makna beberapa kata dan memasukkan kata-kata
baru. Pemakaian Al-Qur'an sangat menentukan perubahan ini. Sejumlah kata juga
mendapat konotasi baru, konotasi keagamaan dan sebagainya. Semua ini perlu
diketahui oleh kaum muslimin yang berbahasa Arab maupun tidak. Belum lagi,
kasus dalam bahasa Arab yang mempunyai kata berlainan untuk setiap sub
Keharusan
itu mendorong para leksikon untuk menyusun kamus yang bertujuan memudahkan
pemahaman arti kata bahasa Arab. Pada akhir abad ketiga Hijrah, bahasa Arab
mulai dikodifikasi dalam sebuah kamus dengan sistematika penyusunan kamus
tertentu. Kamus pertama bahasa Arab adalah Kitab Al-‘Ain yang disusun Khalil bin Ahmad Al-Farahidy (w 100- 170H )
dengan sistematika Nizham Ash-Shauty dimana huruf hijaiyah disusun
berdasarkan Makharijul-Huruuf.
Sejak itu, tradisi menyusun kamus-kamus
bahasa Arab berkembang pesat hingga kini dengan sistematika yang bermacam-macam
juga. Asumsi ini diperkuat dengan bukti realistis yang menunjukkan betapa
banyak bahasa yang pernah berkembang lalu punah karena belum dikodifikasi dalam
catatan. Hal itu disebabkan manusia yang belum mengenal budaya tulis menulis
sehingga bahasa lisan mereka lenyap bersamaan dengan eksistensi peradaban
mereka. Perlunya Kajian Sejarah Kemunculan Dan Perkembangan Bahasa Khususnya
Leksiologi (Tarikh Al’Maajim) Sebagai Bentuk Apresiasi Sekaligus untuk
Memperkaya Study Ilmu – Ilmu Kebahasaan Dari latar belakang diatas pemakalah
akan menjelaskan bagaimana Sejarah Perkembangan Kamus Khususnya Bahasa arab
yang menjadi pembahasan Pada topic Makalah Ini, disini pemakalah akan menjelaskan
Beberapa Rumusan Masalah Sebagai Bentuk Fokus kajian Ini Antara Lain:
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa
pengertian dari”Ilmu Al-Ma’ajim (Leksikologi Bahasa Arab)”?
2.
Bagaimana
perkembangan “Ilmu Al-Ma’ajim (Leksikologi Bahasa Arab)”?
3.
Siapakah
tokoh-tokoh “Leksikologi Bahasa Arab”?
TUJUAN
1.
Memahami
makna Leksikologi Bahasa Arab
2.
Mengetahui
perkembangan Leksikologi Bahasa Arab
3.
Mengetahui
tokoh-tokoh Leksikologi Bahasa Arab.
BAB.
II. PEMBAHASAN
1.
Pengertian Leksikologi Bahasa Arab
Leksikologi (Ilm Al-Ma’ajim),
menurut
Dr.Ali Al-Qasimy adalah:
علم
المعاجم أو علم المفردات هو دراسة المفردات ومعانيها في لغة واحدة أو في عدد من
اللغات.ويهتم علم المفردات من حيث الأساس باشتقاق الألفاظ،وأبنيتها،ودلالاتها
المعنوية والإعرابية ،والتّعابير الإصطلاحية ، والمترادفات وتعدد المعاني.
Leksikologi
atau ilmu kosakata adalah ilmu yang membahas tentang kosakata dan
maknanya dalam
sebuah bahasa atau beberapa bahasa. Ilmu ini memprioritaskan kajiannya dalam
hal derivasi kata,struktur kata,makna kosakata,idiom-idiom,sinonim dan polisemi.
Leksikologi
dalam bahasa inggris dinamakan “Lexicology” yang berarti ilmu atau studi
mengenai bentuk,sejarah dan arti kata – kata Sedangkan dalam bahasa arab, leksikologi
disebut dengan “Ilm Al-Ma’ajim”,yaitu ilmu yang mempelajari seluk beluk kamus. Menurut
bahasa, lexicology berasal dari kata lexicon yang berarti: kamus, mu’jam atau
istilah dari sebuah ilmu. Sedangkan menurtut istilah, leksikologi adalah ilmu pengetahuan
yang mempelajari seluk beluk makna /arti kosakata yang telah termuat atau akan
dimuat di dalam kamus. Sedangkan leksikografi (Dirasah Mu’jamiyah) adalah
pengetahuan dan seni menyusun kamus-kamus bahasa dengan menggunakan sistematika
tertentu untuk menghasilkan produk kamus yang berkualitas,mudah dan lengkap.
Antara leksikologi dan leksikografi tidak bisa dipisahkan. Leksikologi tanpa
leksikografi tidak akan menghasilkan sebuah produk kamus yang baik,benar dan
mudah dimanfaatkan oleh para pengguna bahasa.
Sebaliknya,leksikografi
tanpa leksikologi juga hanya dapat melahirkan kamus-kamus yang tidak sempurna
dalam mengungkap makna kosakata.Akan tetapi,ilmu leksikografi sebagai bagian
dari linguistik terapan,lebih memerlukan hasil-hasil kajian atau penelitian
dari ilmu leksikologi dalam upaya mewujudkan kamus yang baik,benar,lengkap dan
memudahkan pembaca. karena itu,istilah “ilmu leksikologi” berarti berhubungan
dan mencakup leksikografi. Secara teknis, Ali Al-Qasimy menjelaskan bahwa
leksikografi adalah ilmu yang membahas tentang 5 langkah utama dalam menyusun
sebuah kamus:
1.Mengumpulkan
data (kosakata),
2.Memilih
pendekatan dan penyusunan kamus yang akan ditempuh,
3.Menyusun kata
sesuai dengan sistematika tertentu,
4.Menulis
materi,
5.Mempublikasikan
hasil kodifikasi bahasa atau kamus tersebut.
Dengan
demikian,baik ilmu leksikologi maupun leksikografi keduanya adalah bagian dari
ilmu linguistik. Leksikologi,sebagai studi pengembangan dari ilmu
semantik,menjadi bagian dari ilmu linguistik teoritis (Ilm Al-Lughah
Al-Nadzary). Sedangkan leksikografi,sebagai studi pengembangan dari
leksikologi,menjadi bagian dari linguistik terapan (Ilm Al-Lughah Al-Tathbiqy).[2]
1
Latar belakang Historis Leksikologi Arab
Secara
etomologi, kata mu’jam berasal dari kata al-ujm dan al-ajm lawan kata dari
al’arb dan al-‘urb. Kata al-‘ajam berarti orang yang ucapannya tidak fasih dan
pembicaraannya tidak jelas. Sedangkan kata ‘ajami lebih identik dengan sebuatan
untuk orang non Arab, baik ucapannya fasih maupun tidak. Orang asing yang masih
memiliki garis keturunan Arab, juga disebut orang ajam. Kata a’jam sinonim
dengan kata abham yang berarti “sesuatu yang tidak jelas”. Karena itu dalam
bahasa arab, binatang disebut ajma’ atau abham karena binatang tidak bisa
bicara. Bahkan segala sesuatu yang tidak bisa bicara dengan baik dan benar,
biasa disebut a’jam dan musta’jam. Ibnu Jinni mengatakan, “Aku mmengetahui
bahwa ‘a-ja’ma dalam perkataan orang-orang Arab digunakan untuk menyebut
sesuatu yang belum jelas atau masih samar”. Jadi, kata mu’jam adalah lawan kata
(antonym) dari kata bayan, fasih yang berarti jelas.
Dengan demikian
beberapa penjelasan tentang makna kata mu’jam yang asalnya berarti sesuatu yang
tidak jelas, lalu kata mu’jam diterjemahkan dan digunakan untuk menyebut
“kamus”, maka secara logis, penggunaan istilah ini menjadi sesuatu yang
kontradiktif dengan fungsional kamus itu sendiri. Mengingat fungsi utama kamus
bertujuan untuk menjelaskan makna dari sejumlah kosakata agar bisa dipahami
dengan mudah oleh pembaca. Jika kamus disebut mu’jam berarti antara makna kata
dan fungsi bendanya, justru berlawanan. Disinilah letak polemic penggunaan kata
mu’jam di kalangan pakar bahasa arab yang tampaknya telah terjadi kesalahan.
Lalu, apa yang menyebabkan bangsa Arab tetap menyebut kamus dengan istilah
mu’jam, sekalipun maknanya tampak bertolak belakang?
Bila dilihat
dari aspek morfologis, kata mu’jam berakar pada kata kerja yang berwazan
af-a-la. Wazan empat huruf dengan huruf tambahan berupa hamzah pada awal kata,
berarti memiliki fungsi ganda. Terkadang ia berfungsi menetapkan, tapi
terkadang wazan af-a-la juga berfungsi meniadakan. Contoh, dalam firman Allah
sebagai berikut :
Yang artinya : “Segungguhnya hari kiamat itu akan datang aku
merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang
ia usahakan” Kata ukhfiha, menurut para mufassir berarti merahasiakan kiamat
dengan cara menghilangkan kesamaran atau keragu-raguan tentang kepastian
datangnya hari kiamat.
Demikian juga
dengan istilah mu’jam yang digunakan sebagai sign untuk kamus. Mu’jam yang
berasal dari a’jam ternyata berfungsi ‘meniadakan’ bukan ‘menetapkan’, sehingga
kata mu’jam menjadi tepat bila dipakai untuk menyebut benda bernama ‘kamus’,
mengingat fungsi kamus adalah meniadakan ketidakjelasan arti kosakata,
menghilangkan ambigu atau menyingkirkan ketidaktahuan. Dengan mu’jam (kamus),
seseorang dapat memahami arti sebuah kata. Leksikologi dalam bahasa Inggris
dinamakan lexicology yang berarti ilmu/studi mengenai bentuk , sejarah dan arti
kata-kata. Sedangkan dalam bahasa Arab, leksikologi disebut dengan ilm
Al-Ma’ajim, yaitu ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk kamus. Menurut
iltilah, leksikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari seluk beluk
makna/arti kosakata yang termuat atau akan dimuat di dalam kamus. Selain
istilah leksikologi dan ilm Al-Ma’ajim, ada juga beberapa istilah lain yang
digunakan untuk menyebut ilmu tentang kamus. Misalnya saja, Ilm Al-alfadz,
Al-Laffadzah, Ilm Dalalah Mu’jamiyah dan sebagainya. Terlepas dari perbedaan
istilah dalam bahasa Arab dalam menyebut “ilmu tentang kamus” ini, yang jelas,
munculnya berbagai nama tersebut menunjukkan pesatnya perkembangan ilmu bahasa
.
Linguistik
Arab, terutama di bidang ilmu makna. Sebuah bahasa yang terdiri dari kumpulan
kata dan kalimat, pada awalnya hanya berupa suara-suara dan belum dikodofikasi
atau ditampung dalam bentuk bahasa tulis. Apalagi terhimpun didalam sebuah
kamus sebagai sebuah buku/pedoman yang berfungsi memuat umpulan kata dan
penjelasan maknanya. Dengan berkembangnya berbagai ilmu dalam bidang
perkamusan, pembuatan kamus pun semakin pesat. Hal ini ditujukkan dengan
munculnya kamus-kamus kontemporer. Dan kamus-kamus tersebut bukan hanya
membantu manusia dalam memahami makna suau kalimat yang belum dipahami, akan
tetapi lebih dari itu, penyusunan kamus ini adalah bagian dari upaya optimal
manusia dalam menjaga eksistensi bahasa mereka.
Proses transfer
dari bahasa lisan ke bahasa tulis menuntut para penutur bahasa mengembangkan
ilmu tentang makna (semantic) untuk memahami kosa kata lama maupun baru yang
ada di dalam bahasa mereka. Interpretasi dan studi kosakata itu lebih dikenal dengan
dengan ilmu kosakata (ilmu Al-Mufradat). Pada tahapan selanjutnya, hasil kajian
dan penelitian dari ilmu kosakata, terutama yang telah maupun yang akan
dikodifikasi ke dalam sebuah kamus, melahirkan ilmu leksikologi. Lebih dari
itu, perwajahan kamus dan sistematika penyusunan kosakata ke dalam kamus-kamus
berbahasa Arab juga terus berubah dan berkembang secara inovatif dari masa ke
masa. Munculnya kamus-kamus bahasa yang berasal dari hasil usaha penelitian
para penyusunnya, secara tidak langsung, maka makna-makna dari kosakata yang
telah dimuat di dalam kamus, telah mereka nilai sebagai kosakata baku dan
maknanya shahih, sehingga pada akhirnya, sebuah kamus tidak sekedar berfungsi
sebagai buku yang memuat kumpulan makna, tetapi ia dipandang sebagai buku
pedoman bahasa fusha (resmi) yang baku. Disinilah letak urgensitas kamus dalam
menyebarkan kosakata dan maknanya, mempengaruhi interpretasi pembaca kamus
dalam memahami makna, menyeleksi mana kosakata yang fasih dan yang tidak, dan
sebagainya.
Kamus-kamus
bahasa Arab yang terbit dengan varian dan karakteristik yang berbeda-beda telah
mendorong para pakar bahasa untuk lebih serius mendalami teknik-teknik
penyusunan yang inovatif dan informatif. Fenomena ini melahirkan ilmu
leksikografi (Ilm Shina’ah Al-Mu’jamiyyah atau Dirasah Mu’jamiyyah) atau ilmu
perkamusan yang bukan hanya sebatas membahas tentang seluk beluk makna leksikal
dari kosakata, tetapi juga sebagai ilmu yang membahas teknik pemilihan
sistematika dalam menyusun kamus, memahami kelengkapan komponen kamus dan
sebagainya.
2.
Faktor – Faktor munculnya Leksilogi
Sebelum era Dinasti Abbasiyah,bangsa Arab,terutama umat islam,belum
banyak yang mengenal pentingnya kodifikasi bahasa atau penyusunan kamus-kamus
bahasa arab. Paling tidak,manurut Dr.Imel Ya’qub,ada 3 faktor yang menyebabkan
kenapa bangsa arab belum atau terlambat dalam hal penyusunan kamus.
1.
Mayoritas
bangsa Arab masih (buta huruf) Sebelum
Islam datang di Jazirah Arab,
bangsa Arab yang bisa membaca dan menulis dapat dikatakan sangat
minim.Nabi Muhammad SAW sendiri menyatakan,dan Al-Qur’an menegaskan,apa yang
telah diketahui orang-orang pada zamannya,yaitu bahwa beliau buta huruf,dan tak
mungkin dapat menyusun Al-Qur’an.Memang,pada era wahyu Al-Qur,an
diturunkan,mayoritas sahabat Nabi juga tidak banyak yang mampu membaca dan
menulis. Kenyataan ini yang menyebabkan masyarakat bangsa Arab kurang
memperhatikan masalah kodifikasi bahasa mereka. Apalagi untuk mengumpulkan
makna kosakata dan menulisnya dalam bentuk kamus.
2.
Tradisi
nomadisme dan perang. Didalam Jazirah Arab,penduduknya tidak pernah
menetap.perpindahan dari tanah pertanian ke padang rumput dan dari padang
rumput ke tanah pertanian ,terus terjadi,dan menjadi ciri setiap fase sejarah
jazirah.Selain tradisi nomadisme,penduduk jazirah Arab kerap kali berperang
antar suku dan golongan.Tradisi nomadisme dan perang menjadi sebab utama bangsa
Arab untuk kurang memperhatikan tradisi baca tulis dikalangan mereka.
3.
Lebih
senang dengan bahasa lisan. Tak dapat dipungkiri jika bangsa Arab sangat
fanatik dengan bahasa lisan.Mereka lebih mengagungkan tradisi
muhadatsah.khitabah dan syair.Barangkali,secara geografis,wilayah gurun yang
sepi dan kebiasaan migrasi juga berperan menciptakan tradisi sastra dikalangan
mereka.[3]
Ketiga faktor diatas
mengakibatkan bangsa Arab sangat tertinggal dengan bangsa lain dalam hal
kodifikasi bahasa atau penyusunan kamus-kamus berbahasa arab. Sekalipun
demikian,bukan berarti sebelum era Dinasti Abbasiyah,bangsa Arab sama sekali
tidak mengenal kamus,sebab leksikolog - dalam arti ilmu yang berusaha
mengungkap makna-telah menjadi perbincangan di jazirah Arab.
4. Periodesasi Pertumbuhan Dan Perkembangan
Leksiologi
Ide-ide leksikon itu semakin berkembang pesat dikalangan bangsa Arab, terutama umat
Islam, seiring dengan aktifitas mereka dalam usaha memahami dan
menginterpretasikan ayat - ayat suci Al-Qur’an. Salah satu buktinya adalah
riwayat Abu Ubaidah dalam Al-Fadhail dari anas bahwa ketika Khalifah Umar bin
Khaatab ra. (w.584-644 M) berkhutbah diatas mimbar,beliau membaca ayat : وفاكهة وأبّا “ Dan buah-buahan serta rumpu-rumputan”
Lalu,Umar berkata:”Arti kata fakihah (buah) telah kita ketahui,tetapi apakah
makna kata abb pada ayat tersebut?”. Ibnu Abbas ra.( Ia wafat di Thaif pada
tahun 68 H.) Beliau Juga pernah mempertanyakan makna dari kata “Fatir” dalam firman
Allah SWT surat Al Fatir ayat: 1
ßôJptø:$# ¬! ÌÏÛ$sù ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ÇÊÈ
1. Untuk mencari tahu makna kata tersebut, Ibnu Abbas ra. Rela masuk
ke daerah-daerah pelosok desa di wilayah Arab Badui yang dikenal masih memiliki
kebahasaan yang asli.Kala itu, Ibnu Abbas melihat.
2. orang di dusun yang sedang bertengkar tentang masalah sumur,salah
seorang berkat:”Ana Fathartuha” (maksudnya,sayalah yang pertama kali
membuatnya).
Dengan peristiwa
ini,akhirnya Ibnu Abbas bisa memahami bahwa tafsir dari kata fathir berarti
“pencipta”.
5.
Faktor Pendorong Penyusunan Kamus Arab
Faktor-faktor yang mendorong bangsa Arab untuk mengkodifikasi
bahasa mereka dan menyusun kamus-kamus berbahasa Arab,antara lain:
1.
Kebutuhan
bangsa Arab untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
2.
Keinginan
mereka untuk menjaga eksistensi bahasa mereka dalam bentuk bahasa tulis.
3.
Banyaknya
buku-buku tafsir yang terbit pada masa awal kodifikasi Al-Qur’an dan Hadits
tentang gharaib atau kata-kata asing.
4.
Munculnya
ilmu-ilmu metodologis pertama dalam islam.
6.
Tahapan Kodifikasi Bahasa Arab
Menurut Ahmad Amin (w.1878-1954) seorang Penulis Literatur Arab dari mesir Beliau menyebutkan ada 3 tahap
kodifikasi bahasa Arab hingga lahir kamus-kamus bahasa Arab.
1. Tahap Kodifikasi Non-Sistemik Pada tahap ini seorang ahli bahasa
biasa melakukan perjalanan menuju ke desa-desa.Lalu,ia mulai mencari data
dengan cara mendengar secara langsung perkataan warga badui yang kemudian ia
catat dilembaran-lembaran tanpa menggunakan sistematika penulisan kamus. Intinya,mereka
mengumpulkan data melalui istima’,
2. Tahap Kodifikasi Tematik Pada tahap kedua,para ulama’yang telah
mengumpulkan data mulai berpikir untuk menggunakan tehnik penulisan secara
tematis. Data yang terkumpul mereka klasifikasikan menjadi buku atau kamus
tematik.
3. Tahap Kodifikasi Sistematik Pada tahap ketiga,penyusunan kamus
mulai menggunakan sistematika penulisan yang lebih baik dan memudahkan para
pemakai kamus dalam mencari makna kata yang ingin diketahui. Kamus bahasa Arab
pertama yang menggunakan sistematika tertentu adalah kamus Al-‘Ain.karya Khalil
bin Ahmad Al-Farahidy (w.718-768 M/100-170 H)Dari Basrah. Beliau menyusun
kamusnya dengan sistematika Al-Shawty.[4]
7.
Sistematika Penyusunan Mu’jam
Secara garis besar,ada Dua model penyusunan mu’jam ‘arabiyah yang
digunakan para leksikolog,yaitu:
(a).Sistem Makna (Kamus Ma’ani).
Sistem Makna (Kamus Ma’ani) Sistem makna (Kamus Ma’ani) adalah
model penyusunan kosakata (item) didalam kamus yang digunakan seorang
leksikolog dengan cara menata kata (entri) kamus secara berurutan berdasarkan
makna atau kelompok kosa kata yang maknanya sebidang (tematik). Dengan kata
lain, pengelompokan entri pada kamus-kamus ma’ani lebih mengedepankan aspek
makna yang terkait dengan topik/ tema yang telah ditetapkan ole leksikolog. Dengan
sistematika ini,maka kamus ma’ani lebih tepat disebut dengan kamus tematik.
Kamus-kamus tematik berbahasa Arab,antara lain:Al-Gharib Al-Mushannaf karya Abu
Ubaid Al-Qasi bin Salam (w.150-244 H),Al-Alfadz Al-Kitabiyyah karya Abdurrahman
Al-Hamdzani (w.320 H),Mutakhayyir Al-Alfadz karya Ibnu Faris (w.395 H),Fiqh
Al-Lughah wa Sir Al-‘Arabiyyah karya Abu Mamsyur Al-Tsa’labi (w.429
H),Al-Mukhashshah fi Al-Lughah karya Ibnu Sydah (w.398-458 H) dan Kifayah
Al-Mutahaffidz wa Nihayah Al-Muthalaffidz karya Ibnu Al-Ajdani (w 600 H).
(b). Sistem Lafal (Kamus Alfadz) Sistem Lafal (Kamus Alfadz)
adalah kamus yang kata-kata (item) didalamnya tersusun secara
berurutan berdasarkan urutan lafal (indeks) dari kosakata yang terhimpun,bukan
melihat pada makna kata.Sejak munculnya kamus bahasa Arab pertama,sistematika
penyusunan kamus-kamus alfadz terus berkembang pesat seiring dengan kebutuhan
para pengguna kamus.Pencarian makna kata dengan cara melihat lafal menjadi
Trademark kamus-kamus bahasa Arab.Bhkan,kamus-kamus tematik hanya dipandang
sebagai kitab-kitab yang membahas tafsir makna sebagaimana kitab-kitab tafsir
Al-Qur’an dan bukan lagi sebagai kamus bahasa. Dalam sejarah perkembangan
Leksikon bahasa Arab,Paling tidak terdapat 5 model sistematika (nidzam tartib)
yang pernah digunakan leksikolog arab dalam menyusun kamus-kamus lafal,yaitu: Nidzam
Al-Shauty (Sistem Fonetik),Nidzam Al-Alfaba’i Al-Khas (Sistem Alfabetis
Khusus),Nidzam Al-Qafiyah (Sistem Sajak),Nidzam Al-Alfaba’i Al-‘Aam (Sistem
Alfabetis Umum) dan Nidzam Al-Nutqi (Sistem Artikulasi).
8.
Tokoh-Tokoh
Leksikologi Arab
Khalil bin Ahmad Al farahidi (w.
100- 170H ). Khalil adalah seseorang yang dikaruniai dengan kecerdasan otak dan
daya kreativitas yang tinggi oleh Allah SWT. Ia adalah pecinta ilmu yang
sejati.Terbukti , ia gemar berkelana dari satu desa ke desa lain yang jaraknya
berjauhan hanya untuk mengambil periwayatan lain dari penduduk desa demi
memahami satu makna kata. Teori-teorinya banyak terbentuk dari hasil penelitian
Ilmiah di lapangan. Khalil rela bergaul dengan penduduk Arab Badui di pedalaman
untuk memahami makna bahasa. Hidupnya habis demi perkembangan ilmu bahasa dan
sastra Arab. Pada akhirnya, Khalil pun tumbuh menjadi salah satu ulama terbesar
di bidang ilmu bahasa Arab. Ia adalah ulama yang menguasai ilmu nahwu(sintaks),
bahasa(Linguistik), dan satra Arab. Selain itu, ia juga mumpuni di
bidang ilmu matematika, ilmu syariat(hukum Islam), dan seni musik. Melalui
karyanya yang berjudul Mu’jam Al ‘Ain, [5]
1.
Khalil
bin Ahmad Al farahidi ( w.100- 170H )
dikenal sebagai peletak dasar-dasar leksikologi, sehingga tak berlebihan jika
Khalil disebut sebagai ‘Bapak Leksikolog Arab’.
2.
Abu Amr Assyaibani Abu Amr ( w.110-206
H/728-821 M) lahir di desa Ramadah, dekat dengan kota
Kufah. Ibunya berasal dari suku Nabtiyah dan nasabnya bersambung ke Bani
Syaibani. Dari Kufah, Abu Amr pindah ke kota Baghdad dan menetap di sana
hingga meninggal dunia. adalah ulama
yang paling memahami dialek dan bahasa bangsa Arab. Bahkan ia dikenal sebagai
ulama yang paling paham tentang kalimat-kalimat asing (gharib-al nawadir).
Sejak masa remaja , ia gemar belajar bahasa Arab bersama kawan-kawannya di
seluruh pelosok desa dan bergaul dengan orang-orang badui di pelosok untuk memahami dialek dan bahasa Arab yang
mereka ucapkan. Akhirnya , ia pun menulis beberapa buku yang memuat koleksi
(baca; diwan) bahasa dan dialek orang Kufah dan Baghdad sekaligus.
3.
Abu
Mansyur Al Azhari Al Harawi ( w.282 – 370H/ 895 – 981 M ) Abu Mansyur Al Azhari telah menulis kitab, seperti Tadzhib Al
Lughah. Latar belakangnya adalah sosial masyarakat di sekitar Abu Mansyur Al
Azhari yang selalu menjunjung tinggi bahasa Arab Fushah, dan menolak intervensi
bahasa Arab ammiyah(pasaran).Tadzhib Al Lughah berarti “usaha untuk membenarkan
atau mengembalikan kemurnian bahasa Arab”.
4.
Ibnu
Jinni Nama lengkap Ibnu Jinni adalah Abul Fath Utsman bin Jinni Al-Mushily
( w.320-390 H/932-1001 M). Ia
adalah ulama terkenal di bidang ilu nahwu dan sastra . Masa kecilnya dihabiskan
di kota Mosul, Irak, Konon, ayahnya bekerja sebagai pembantu setia seorang
hakim di Mosul bernama Sulaiman bin Fahd Al-Azdi. Sekalipun demikian ,status
sosial itu tidak menyurutkan Ibnu Jinni menuntut ilmu dan memperoleh pendidikan
seperti anak-anak lainnya. Karya ilmiah yang berhasil ditulis oleh Ibnu Jinni
mencapai 67 buku. Namun, bukunya yang paling populer hingga kini adalah Al
Khashaish, sebuah buku yang isinya komprehensip meliputi dasar-dasar ilmu nahwu
, kaidah usul fiqh , dan nahwu, dan analisi leksikologis terhadap makna-makna
kosakata bahasa Arab.[6]
Buku yang
terdiri dari 162 bab ini , pernah ia hadiahkan kepada Sultan Baha’uddin Al
Buhaiwi, tepatnya setelah guru Ibnu Jinni meninggal dunia. Di bidang fiqih ,
Ibnu Jinni mengikuti mazhab Imam Hanafi. Di bidang aqidah , ia lebih memilih
sebagai pengikut mu’tazilah dan di bidang ilmu nahwunya condong ke mazhab ulama
Bashrah. Beberapa pendapat Ibnu Jinni yang mengundang kontroversin di dalam
kitab al Khashaish, antara lain: kritiknys terhadap kekurangan Al-kitab karya
Sibawaih dan pendapatnya yang menyatakan bahwani ilmu bahasa Arab termasuk
akidah Islam. Dan selain para tokoh-tokoh leksikolog Arab masih ada beberapa
tokoh lain yang akan di lain kesempatan. Seperti Ismail bin Qasim Al-Qoli
Al-Baghdadi, Ibnu Duraid, Ibnu Faris Al- Razi, Ismail bin Hammad Al-Jawhari ,
Ibnu Mandzur Al-Afriqi , Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuzbadi, Butrus Al-Bustani ,
Lewis bin Nuqala , Abdullah Al-‘Ulayali, Ali bin Muhammad Al-Jurjani, Ibnu
Siddah , Ibnu Al-Sikkit dan lain-lain.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
:
1. leksikologi
adalah ilmu yang membahas tentang kosakata dan maknanya dalam sebuah bahasa
atau beberapa bahasa.
2. Faktor
kodifikasi bahasa Arab:
a) antisipasi
kepunahan bahasa Arab,
b) empirisme
bangsa Arab ,
c) sebagai
keterampilan belajar Bangsa Arab,
d) ciri bahasa Arab yang multimakna ,
e) membedakan
antara bahasa Arab Fushah dan bahasa Arab ‘Amiyah
3. Dasar- dasar
kodifikasi bahasa Arab:
a) Mayoritas
masyarakat Arab yang masih ummi( buta Huruf) ,
b) Tradisi nomadisme dan perang ,
c) Lebih senang
dengan bahasa lisan.
4. Faktor
pendorong penyusunan bahasa Arab:
a) Kebutuhan
bangsa Arab untuk menafsirkan ayat-ayat al Qur’an ,
b)Keinginan
bangsa Arab untuk menjaga eksistensi bahasa dalam bahasa tulis ,
c) Banyaknya buku-buku tafsir yang terbit pada
masa awal kodifikasi al Qur’an dan hadis tentang gharaib ,
d) Munculnya
ilmu-ilmu metedeologis pertama dalam Islam
5. Tahapan
kodifikasi bahasa Arab:
a) tahap kodifikasi non-sematik ,
b) tahap kodifikasi tematik ,
c) tahap
kodifikasi sistematik
6. Sistematika penyusunan mu’jam terbagi
menjadi dua; sistem makna dan sistem lafal.
7. Tokoh-tokoh
leksikolog Arab seperti Khalil ibn Ahmad Al Farahidi, Abu Amr Asy Syaibani ,
Abu Mansyur Al Azhari Al Harawi, Ibnu Duraidi , Ibnu Faris Al Razi , Ibnu Jinni
, Ismail bin Hammad Al Jawhari, Ibnu Mandzur al Afriqi dan lain-lain.
1.
Taufiqurrahman,
H.R, M.A.2008.Leksikologi Bahasa Arab. Yogyakarta: UIN MALANG-PRESS .
2.
Al-Faruqi,
Isma’il R dan Lois Lamya Al-Faruqi.(2000). The Cultural Atlas of Islam,
diterjemahkan: Ilyas Hasan. Atlas Budaya Islam. Bandung: Mizan.
3.
Al-Qasimy,
Ali, Dr. (1991). Ijtihad Hadisatu fii Tahlim Al- Arabiyah Li Natiqi’in
bil’lugoht Al – khor,ya Saudi Arabia: Jami’ah Riyad . Hal. 261
4.
Amin,
Ahmad. (1956). Dhuha Al-Islam. Kairo: Maktbah An-Nahdhah.
5.
Arikunto,
Suharsimi, Prof. Dr. (1998). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta.
6.
Asy-Syalqany,
Abdul Hamid. (1971). Riwayah Al-Lughah. Kairo: Daar Al-Ma’arif.
7.
Imel,
Ya’qub, Dr. (1985). Al-Ma’ajim Al-Lughawiyah Al-‘Arabiyah. Libanon: Daar
Ulum Lil Malayiin.
8.
Nassar,
Husain. (1968). Al-Mu’jam Al-‘Araby Nasy’atuhu Wa Tathawwuru. Kairo:
Maktabah Misr.
9.
Setiawan,
M. Nur Kholis, Dr.phil. (2005). Al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar.
Yogyakarta: Elsaq Press.
10. Yaqqut, Mahmud Sulaiman, Dr. (1995). Fiqh Al-Lughah Wa Ilm Al-Lughah
Nushuus Wa Dirasaat. Saudi Arabia: Jami’ah Thantha.
[1]. H.R. Taufiqurrahman, Leksikologi bahasa Arab,
hal.2, cet.I, UIN Malang Press, 2008
[2]. Al-Qasimy,
M. Ali, Dr. (1991). Ijtihad Hadisatu fii
Tahlim Al- Arabiyah Li Natiqi’in bil’lugoht Al – khor,ya Saudi Arabia: Jami’ah
Riyad . Hal. 261
[3].
Imel, Ya’qub, Dr. (1985). Al-Ma’ajim Al-Lughawiyah Al-‘Arabiyah.
Libanon: Daar Ulum Lil Malayiin.
[4] .
Amin, Ahmad. (1956). Dhuha Al-Islam. Kairo: Maktbah An-Nahdhah. seorang
Penulis Literatur Arab dari mesir Beliau
menyebutkan ada 3 tahap kodifikasi bahasa Arab hingga lahir kamus-kamus
bahasa Arab.
1.Tahap
Kodifikasi Non-Sistemik Pada tahap ini seorang ahli bahasa biasa melakukan
perjalanan menuju ke desa-desa.Lalu,ia mulai mencari data dengan cara mendengar
secara langsung perkataan warga badui yang kemudian ia catat
dilembaran-lembaran tanpa menggunakan sistematika penulisan kamus.
Intinya,mereka mengumpulkan data melalui istima’,2.Tahap Kodifikasi Tematik
Pada tahap kedua,para ulama’yang telah mengumpulkan data mulai berpikir untuk
menggunakan tehnik penulisan secara tematis. Data yang terkumpul mereka klasifikasikan
menjadi buku atau kamus tematik.3.Tahap Kodifikasi Sistematik Pada tahap
ketiga,penyusunan kamus mulai menggunakan sistematika penulisan yang lebih baik
dan memudahkan para pemakai kamus dalam mencari makna kata yang ingin
diketahui. Kamus bahasa Arab pertama yang menggunakan sistematika tertentu
adalah kamus Al-‘Ain.karya Khalil bin Ahmad Al-Farahidy (718-768 M/100-170
H)Dari Basrah. Beliau menyusun kamusnya dengan sistematika Al-Shawty.
[5].
No comments:
Post a Comment