Struktur Teks Kebahasaan Al-Qur’an Di tinjau dari Segi
majaz Hiperbola Dan Personifikasi
Oleh
Jaenal
Arifin
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Tinjauan Historis
Kitab
suci al-Qur’an yang di wahyukan kepada nabi Muhammad SWA merupakan sumber
petunjuk dan ilham abadi bagi kehidupan manusia
baik secara individu maupun secara kolektif. Selain itu juga merupakan
pedoman yang sangat di perlukan manusia
dalam mencari jalan hidup yang lurus.
Al - Qur’an juga menjadi sumber pengetahuan yang tidak habis di jadikan
kajian – kajian keislaman oleh para
sarjana – dan pemikir dari berbagai kelas social yang mencoba selama berabad –
abad mencoba mengambil sifat al-Qur’an
yang menajubkan dari sudut pandang tata
bahasa dan kesusastraan, dan berusaha
keras memahami makna yang begitu kaya dan kebenaran yang mendalam tentang alam
dan kehidupan yang temaktub dalam al-Qur’an.
al- Qur’an telah memukau banyak banyak orang dari berbagai tingkat
intelektual, dari berbagai macam sikap dan watak, yang hidup dari berbagai zaman.
Al-Qur’an
juga telah menujukan kepada mereka tentang kecermatanya yang mendalam,
keindahan tulisanya serta sifat menajubkan yang ada di dalam isi setiap ayat yang
tidak dapat di ragukan lagi dan di samakan dengan kitab lain maupun karya tulis
manapun. Kepustakaan bahasa arab penuh dengan di bidang studi al-Qur’an yang
membahas masalah tersebut. [1]
`Salah
satu masalah yang sering menjadi pokok bahasan para sarjana adalah studi kitab suci al-Qur’an guna menarik
kesimpulan dari aturan-aturan tata bahasa yang tepat. karena al-Qur’an di
wahyukan sepenuhnya dengan dialek bahasa arab Salah satu permasalahan al-Qur’an
berkaitan dengan kenyataan bahwa al-Qur’an yang secara teologis di yakini
sebagai bahasa tuhan.pada kenyataanya menggunkan bahasa arab namun perlu
ditegaskan meski al-Qur’an menggunakan bahasa arab tidak jarang kata yang di
gunakan al- Qur’an berbeda makna yang di pahami oleh orang arab misalnya kata
“shalat” yang berarti doa berbeda makna dalam
al-Qur’an di maknai sebagai ucapan dan perbuatan di mulai dengan takbir
dan di akhiri dengan salam.
oleh
sebab itu sekalipun para sahabat adalah orang arab masih memerlukan penjelasan
langsung dari Nabi saw sebagai pemegang otoritatif pertama dalam menafsirkan
al-Qur’an yang termuat dalam beberapa hadis tafsir.[2]
Berbeda
dari realitas al-Qur’an, hadis yang realitasnya menggunakan bahasa Nabi saw
yaitu bahasa arab Menurut pandangan mayoritas ulama secara
teologis di yakini sebagai kalam tuhan yang termetaforkan dalam bahasa Nabi
saw. Dan perlu di tegaskan sekalipun
hadis di yakini sebagai bahasa metaphora tuhan, bahasa yang di gunakan sangat
berbeda dengan al- Qur’an.Bahkan , kosa kata yang di pergunakan dalam hadis
cendrung mengikutiperkembangan makna yang di maksudkan dalam al- Qur’an bahkan
memberikan interprestasi terhadap kata yang di maksud dalam al- Qur’an, seperti
hadis menjelaskan arti kata”al- kautsar dalam surat al-Kautsar (108). Orang
arab mengunakan kata al-kautsar untuk menamai segala sesuatu yang jumlahnya
banyak sedangkan dalam hadis Nabi saw, menjelaskan al-kautsar dalam surat
al-kautsar (108) bermakna sungai yang di janjikan Allah kepada Beliau.
إِنَّآ أَعۡطَيۡنَٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ
١ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ ٢ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ ٱلۡأَبۡتَرُ ٣
Hal ini jelas berbeda makna yang di pahami
orang arab. Ketegangan Realitas
kebahasaan al-Qur’an tersebut secara akademik telah mendapatkan perhatian khusus
dari para pengkaji al-Qur’an, baik dari kalangan Islam maupun
orientalis.Kalangan umat Islam tradisional (salaf) sepakat bahwa al-Qur’an
diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab.Namun, menurut para orientalis
kesepakatan ulama tradisional tersebut lebih bersifat teologis-dogmatis
dibanding kajian akademiknya.Para cendekiawan Eropa, seperti Vollers,
berkeyakinan bahwa dialek Mekkah cukup banyak berbeda dengan dialek “timur’
yang dipakai di Najd dan tempat lain, pun pula berbeda dengan koine’
puisi. Pandangan ini didukung oleh Paul Kahle, akan tetapi secara umum tidak
diterima oleh kalangan cendekiawan Barat sendiri, seperti Regis Blachere dan
Chaim Rabin dimana mereka menyimpulkan bahwa bahasa al-Qur’an terletak
kira-kira antara koine’ yang puitik dan dialek Mekkah.[3]
Kritikan
kajian kebahasaan ulama salaf tidak hanya datang dari kalangan orientalis, tapi
juga dari kalangan umat islam sendiri. Arkoun, misalnya, memandang bahwa kajian
kebahasaan al-Qur’an pada masa lalu telah di selewengkan oleh sikap apriori-teologis.Oleh
sebab itu, Arkoun berambisi untuk melihat kebahasaan al-Qur’an dari sudut
sosio-linguistik.Sebuah model kajian kebahasaan yang jarang dilakukan, bahkan
mungkin dihindari, dalam kajian-kajian ulama salaf.Proyeksi Arkoun ini linier
dengan pandangannya yang mengatakan bahwa dalam diri al-Qur’an terdapat tiga
fakta yang menyelimutinya, yaitu fakta peristiwa kebudayaan, kebahasaan dan
fakta keagamaan.
M. Quraish Shihab, salah seorang pakar yang
intens melakukan pengkajian al-Qur’an di Indonesia, mengatakan bahwa ayat-ayat
al-Qur’an tersusun dari kosa kata bahasa Arab, kecuali beberapa kata yang masuk
dalam perbendaharaannya akibat akulturasi. Dengan menggunakan istilah
akulturasi di sini, Shihab seakan-akan ingin mengatakan bahwa bahasa al-Qur’an
sebagiannya menyesuaikan dengan kultur dan bahasa Arab yang berkembang saat
itu. Pengakuan ini sejalan dengan filsafat manusia versi Schoun yang
menggambarkan bahwa pada satu sisi Muhamad saw., dalam posisinya sebagai
seorang Nabi dan Rasul, merupakan makhluk theomorfis yang secara integral dapat
menerima pesan-pesan Ilahi.
Akan tetapi, dia sebagai manusia biasa, bagian
dari bangsa Arab, tidak bisa melepaskan diri dari kungkungan budaya yang
menyelimutinya. Sekalipun hal yang disebutkan ini sedikit berbeda dari
pandangan ulama salaf, akan tetapi baik ulama salaf maupun khalaf tetap
memandang bahwa dalam al-Qur’an terdapat sisi teologis yang disebutnya dengan
bahasa Tuhan. Oleh sebab itu tidak ada yang paling paham terhadap makna yang
sebenarnya dari apa yang dikandung oleh setiap lafal, kalimat dan ayat
al-Qur’an, kecuali Tuhan itu sendiri. Sekalipun demikian, Tuhan sendiri yang
menyatakan bahwa salah satu fungsi kenabian Muhamad saw adalah untuk
menjelaskan kandungan sebenarnya atau yang dimaksudkan al-Qur’an.Artinya,
disamping Tuhan, Muhamad saw adalah orang yang memahami kandungan dan maksud
dari al-Qur’an. Oleh sebab itu pula bisa dikatakan bahwa hak penafsiran
terhadap al-Qur’an hanya ada pada Nabi saw. Hal seperti ini terus berjalan
sepanjang perjalan hidup Nabi saw. Kemudian, setelah Nabi saw wafat para
sahabat memberikan penafsiran al-Qur’an melalui penafsiran Nabi saw dan
berijtihad sendiri melalui pengkajian kebahasaan dan pengkajian terhadap
kejadian-kejadian yang mengakibatkan turunnya ayat al-Qur’an (asbabul nuzul)
atau bertanya kepada beberapa ahli tafsir yang terkenal pada masanya.[4]
Selain
kegiatan mentafsirkan al-Qur’an, para sahabat juga mempunyai murid yang
menerima seluruh pemikiran tafsir yang dicetuskannya. Di Makkah Ibn ‘Abbas
mempunyai murid yang terkenal diantaranya Sa’id bin Jubair dan Mujahid bin
Jabr; di Madinah ada Muhammad bin Ka’ab dan Zaid bin Aslam yang menjadi murid
Ubay bin Ka’ab, sedangkan al-Hasan al-Bishriy dan ‘Amir bin Sya’biy belajar
pada ‘Abdullah bin Mas’ud di Irak. Apa yang dimaksudkan tafsir dalam
al-Qur’an. Secara tekstual tafsir bisa
berarti jelas, nyata, terang dan memberikan penjelasan.
Sedangkan kaitannya dengan al-Qur’an, tafsir
diartikan sebagai penjelasan maksud yang sukar dari suatu lafadh atau ayat al-Qur’an.Tegasnya,
tafsir sesungguhnya merupakan upaya untuk memahami pesan-pesan al-Qur’an. Dalam
persperktif Ushul al-Fiqh, bagaimana cara menjelaskan ayat al-Qur’an disebut
dengan bayan yakni suatu ungkapan untuk mempertegas dan atau memperjelas maksud
dari lafadh atau ayat al-Qur’an. Dalam konsep ini,tafsir merupakan bagian bayan
untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang global. Tafsir dalam perspektif yang
terakhir ini dianggap bagian dari cara bagaimana al-Qur’an di jelaskan.[5]
Dari sini dapat dipahami bahwa tujuan
penafsiran dan pengajaran al-Qur’an tersebut untuk menjaga kebenaran maksud
yang terkandung di dalamnya.Namun, karena bahasa al-Qur’an ada kalimat yang
jelas (muhkam) dan yang belum jelas (mutasybiih) dalam beberapa hal penafsiran
ulama terhadap al-Qur’an berbeda-beda. Ada beberapa faktor yang mengakibatkan
terjadinya perbedaan ini:
a).
perbedaan bacaan,
b). perbedaan dalam penjabaran kalimat (ir’ab),
dan
c).
kandungan makna ganda. Mengingat adanya perbedaan ini, seluruh hasil
penafsiran.
ulama tidak tergolong ketentuan yang pasti,
mutlak atau absolut (qa’thi), melainkan bersifat nisbi atau relatif dhanni.
Sekalipun demikian, relatifitas hasil penafsiran terhadap al-Qur’an berbeda
dengan relatifitas tafsir bahasa insani (human communication), atau tafsir
sosial. Dalam tafsir bahasa, baik melalui pendekatan strukturalisme
behavioristik, formalistik, genetik, dinamik, hingga pendekatan content
analysis Carney atau Krippendorf, atau pendekatan dekonstruksionisme-nya
Derida, Kristeva dan Barthes, semuanya memandang bahasa (teks) sebagai hasil
kreasi manusia dan oleh karenanya bahasa insani murni di anggap sebagai budaya
yang kajiannya secara berturut-turut menggunakan idealisme-nya Hegel,
positifistik dan paling terakhir interaksi simbolik-nya Blumer[6].
Pada tataran
inilah, apabila al-Qur’an didekati dengan menggunakan pendekatan semiotika,
misalnya, hanya akan mampu mengungkap sisi kebahasaan dan kebudayaan al-Qur’an,
sementara sisi supra natural, agama, teologis, atau apa saja istilahnya, tidak
mampu terungkap kecuali dengan pendekatan seperti yang telah dirangkum dalam
kaedah-kaedah tafsir al-Qur’an. Tambahan lagi, ideologi dan pandangan dunia
(world view) bagaimanapun akan campur tangan dalam melihat objek. Pada bagian
lain, sisi teologis yang dikandung al-Qur’an cukup mempunyai implikasi yang
signifikan pada suatu disiplin dan tatanan madzhab pemikiran yang
termanifestasikan dalam metode penafsiran dan membentuk tiga pengetahuan, yakni
penolakan terhadap seagala sesuatu yang tidak berkaitan atau bertentangan
dengan realitas, penolakan kontradiksi-kontradiksi hakiki, dan keterbukaan bagi
bukti yang baru dan atau yang bertentangan.Oleh sebab itu, sekalipun hasil
penafsiran ulama bersifat nisbi, apabila penafsirannya didasarkan atas atau
bersumber dari al-Qur’an, hadis, perkataan sahabat dan tabi’in biasa di sebut
dengan tafsir al mahsyur maka hasil penafsiran tersebut mempunyai kedudukan
yang sangat tinggi dan kita wajib berpedoman atau berpegang pada hasil
penafsiran itu. Bukankah yang paling tahu tentang apa yang dimaksudkan Tuhan
dalam hanya Tuhan itu sendiri? Bukankah Tuhan telah memberikan hak penafsiran
kepada Nabi saw untuk memberikan penjelasan maksud yang dikandung al-Qur’an
kepada? Bukankah para sahabat juga diberi hak oleh Nabi saw untuk memberikan
penafsiran al-Qur’an melalui ijtihad? Sekalipun kita diperebolehkan, untuk
tidak mengatakan diwajibkan, mengamalkan pemahaman yang relatif tersebut, kita
perlu memperhatikan hasil penafsiran yang relatif tersebut untuk dijadikan
dasar pengamalan.[7]
Sebab, seperti
dikatakan al-Syathibiy, dalil yang relatif itu mempunyai kemungkinan
bertentangan dengan , tidak bertentangan dengan, atau tidak ditemukan dalam
dalil yang absolut.Oleh karenanya, hasil penafsiran tersebut perlu
dikonfirmasikan pada ayat-ayat yang absolut.Namun, permasalahannya tidak
berhenti sampai di sini, seperti dikatakan Harun Nasution bahwa di kalangan
umat Islam ada kecenderungan keras untuk menganggap hasil ijtihad atau
pemikiran ulama bersifat absolut, sehingga kaburlah pengertian tentang
ajaran-ajaran agama, tidak bisa lagi dibedakan antara ajaran-ajaran agama yang
bersifat absolut, tidak dapat berubah dan tak boleh diubah.
- Teks Al- Qur’an dalam kajian Kebahasaan.
Sedangkan dalam
bidang semantik, dan barangkali setelah itu dalam bidang ilmu-ilmu agama,
bahkan ilmu kritik dan balaqhoh (retorika). Menentukan tujuan ilmu-ilmu
humaniora dan sosial,meskipun beragama spesifikasi, pengantar, dan metodenya.
Tujuannya adalah untuk mengungkap sebagian karakteristik khas budaya Arab-Islam
dalam dimensi tradisonal-historis, sebagai upaya untuk lebih memahami realitas
kulrutal kontemporer kita. Jika budaya merepresentasikan memori kolektif
masyarakat, maka memori itu tidak lain adalah himpunan teks yang menentukan
nilai-nilai, adat istiadat, pola-pola perilaku, dan standar salah dan benar.
Didalam budaya
dimana teks keagamaan-senantiasa-menjadi poros peredaran, upaya mengungkap
konsep teks juga berarti mengungkap mekanisme-mekanisme yang melahirkan
pengetahuan, karena teks keagamaan menjadi teks yang malahirkan seluruh atau
sebagian tipe-tipe teks yang dikandung oleh memori atau budaya tersebut.Itu
berarti bahwa meski bermula dari kajian tentang konsep teks, kajian ini
berusaha mengungkap meski secara implisit-pula budaya yang terkait dengannya.Teks
itu yang menjadi suaka pemikiran yang sesungguhnya sulit diabaikan dalam sistem
logis yang kaku atau dibatasi makna serta signifikainsinya. Dalam hal ini,
memahami nalar dan tradisi(al aql waa’n aql) justru semakin memperlihatkan
rasionalitas tradisi dan irasionalitas nalar. Sebab, tidak ada nalar murni,
sebagaimana pula tak ada tradisi murni.[8]
Bahkan,
rasionalitas memiliki tipe-tipe yang berbeda.Tiap tipe mempresentasikan salah
satu metode nalar dan salah satu tujuan pemikiran.Jika pemikiran Arab dan Islam
bertolak dari “prinsip kenabian”ashal nabawi, maka prinsip ini memiliki
rasionalitasnya yang khas. Dalam konteks ini, kita harus
memulai-pertama-tama-dengan mengungkap makna semantis dari kata an nash (teks)
dalam bahasa. Ini dilakukan karena bahasa merepresentasikan sistem pokok yang
bermakna dalam strkutur budaya secara umum.Pengungkapan makna semantis dan
pelacakkan perkembangan bahasa dari makna terminologis, menggambarkan pusat
utama untuk beranjak pada upaya pengungkapan konsep tersebut dalam ilmu-ilmu
budaya Arab secara umum.Inilah tema utama dalam fokus tulisan berikut ini.
Dalam bahasa
Eropa, “teks” (texs) berarti suatu jalan relasi-relasi semantis setruktural
yang melampui batas-batas kalimat dalam pengertian gramatikal (nahwawiyah)
suatu makna yang didukung oleh akar kata utamanya dari bahasa Latin.Tidak
demikian dengan bahasa Arab. Jika diteliti berbagai makna dalam kamus lisan al
arabiyah bisa disimpulkan bahwa makna utama dari kata annash adalah “tampak dan
tersingkap” Teks Kebahasaan atau Bahasa Teks, karena Abu Zaid melihat konsep
wahyu dari perspektif historis-humanis maka ia mengajukan sebuah definisi baru
tentang Al-Qur’an sebagai “teks kebahasaan” (nash lughowiyah) dengan menjauhi
setiap muatan-muatan yang memiliki kandungan teologis, mitologis, dan atau
gaib, seperti wahyu, ketuhanan, kesakralan, dan kehanifan tetapi ungkapan “teks
kebahasaan” merupakan ungkapan yang tidak pada tempatnya. Bahkan ia ambigu
karena terlalu umum.
Oleh karena itu, ia mungkin dapat diterapkan
dalam berbagai perbedaan teks dan wacana, karena tidak ada satu wacana pun
kecuali bahasa menjadi jasadnya, dan tidak ada satu teks pun kecuali mungkin ia
merupakan pemenuhan kebahasaan yang mengandung berbagai makna, baik secara
puitis, maupun ilmiah. Kata nash digunakan dalam arti “yang jelas lagi terang
yang tidak mengandung takwil”, masih berlaku di dalam tulisan Arab, termasuk
tulisan sufistik, dan Ibnu Arabi Sang Sufi masyhur Andalusia. Dia berpendapat
bahwa kata nash menunjukkan waktu, dan tidak demikian halnya dengan kata kerja
karena kadang-kadang menunjukkan pada wujud semata. Karena itu, pada kalimat
“Allah ada dan tak ada sesuatu pun bersamanya dan sekarang Dia ada sebagaimana
adanya”.kana tidak menunjukkan pada waktu, tetapi menunjukkan pada wujud
mutlak, dan karenanya terbebas dari kontradisi ekternal antara kedua bagiannya,
yakni kontradiksi.
Kritik bukan
berati melawan berbagai usaha dan teks, sebagaimana yang ditempuh oleh
al-Ghazali. Merurut Ibnu Sina dan al-farabi, hal-hal kontradiktif yang dibangun
al-Ghazali lebih kuat dibandingkan dengan apa yang harus dimusnahkan. Dalam
arti bahwa teks senantiasa memaksa dan mendorong kita untuk membaca dan
memikirkannya.Kritik bukan berarti pengelabuhan wacana-wacana, sebagaimana
menurut Abi al-ala al-Ma’ari dalam komentarnya terhadap makalat ar - rasuldan
Shadiq Jalal al-Azham dalam konsepnya tentang dogma dan kebenaran tunggal. Teks
nabasi misalnya, ia tidak menyimpan suatu yang signifikan dalam memaparkan
kebenaran atau apa yang sesuai dengannya. Tetapi pada tingkat pertama,ia
menyembunyikan kebenarannya dalam melihat segala yang ada (maujud) mekanisme
pemroduksian makna, bagaimana berinteraksi dengan kebenaran, dan juga cara
mengungkap sesuatu. Hakekat kebenaran, otoritas ini sering kali menjadi sumber
bagi otoritas politik yang otoriter di mana para pemikir dan da’i ikut serta
dalam memeranginya. Barangkali ini-lah yang telah berlangsung didunia Arab:
para intelektual dan da’i berusaha menyebarluaskan konsep-konsep,
madzhab-madzhab, dan aturan-aturan yang mereka sendiri menjadi korban
pertamanya. Apabila kita menerima konsep “kebebasan” (al huriyah) sebagai mana
yang ditawarkan Abu Zaid maka kita akan mengerti bahwa konsep itu dijalankan
dengan sebuah cara yang menentang berbagai kebebasan, terlebih lagi kebebasan
seorang penulis. [9]
Bahkan kita
akan mengetahui bahwa sebagian intelektual dan penulis yang mendakwahkan
kebebasan, keadilan, dan kemajuan, mereka menerjamahkan konsep ini kedalam
konsep yang sebaliknya manakala mereka terjebak kedalam kekuasaan atau ikut
ambil bagian didalam masalah politik. Kajian ketiga yang ia lakukan adalah
kajian tentang ilmu-ilmu al-Qur’an, dalam kitabnya mafhum an nash yang akan
menjadi objek pembahasan dalam tulisan ini kitab lebih tepat disebut dengan
naqd an’nash karena didalamnya membahas tentang Al-Qur’an dan ilmu-ilmunya
dengan analisis-kritik.
Menurut
definisi kontemporer, teks adalah serangakaian tanda-tanda yang tersusun
didalam suatu sistem relasi-relasi, yang menghasilkan makna umum yang
mengandung pesan.Baik tanda-tanda tersebut menggunakan bahasa
biasa-kata-kata-maupun merupakan tanda-tanda dengan menggunakan bahasa
lainnya.Maka, susunan tanda didalam suatu sistem yang mengandung pesan termasuk
teks.Bukan suatu kebetulan jika kosakata ilmu al’am dan alamah berasal dari
satu akar kata didalam bahasa Arab.Juga bukan suatu kebetulan bahwa kitab
teragung berbahasa Arab (Al-Qur’an), dan teksnya yang hegemonik itu, menamakan
dirinya sebagai risalah (pesan), dan satuan-satuan dasar dari unsur-unsur
suratnya-satuan-satuan terbesar-di namakan ayat(tanda).Maksud dari ayat adalah
pesan dariku dan kabar tentang ku. Maka makna ayat-ayat tersebut adalah:
kisah-kisah, kisah mengiringi kisah, dengan pemisah-pemisah dan
penghubung-penghubung. Sebagaimana yang telah disinggung, tradisi hermeneutika
Al-Qur’an mewarisi epistimologi al- bayan dan al- irfan yang masing-masing
menurunkan al tafsir dan al ta’hwil sebagai dua pendekatan yang berbeda dalam
memahami teks itu sendiri.
Secara
tradisional, al tafsir memang dibedakan dengan al ta’eil setelah menimbang dari
berbagai sumber pembentukan kata (musyatqqat al’ kallam dan penggunaannya dalam
berbagai koneks ( siyak al’ kalam) dalam literatur bahasa Arab dan keilmuan
Islam, maupun dalam Al-Qur’an sendiri, Abu Zaid, menyimpulkan bahwa arti kata
al’ tafsir pada hakikatnya adalah upaya “menyingkap sesuatu yang samar-samar
dan tersembunyi melalui mediator.
Jika “ayat”
adalah tanda, dan teks adalah pesan, maka seluruh wujud-didalam
Al-qur’an-adalah serangkaian tanda-tanda yang menunjukkan – ayat - ayat pada
adanya Allah dan keesaan-Nya. Itu berarti bahwa ada dua teks: teks bahasa yang
dikirimkan dari Allah untuk menusia. [10]
Dan teks
nonbahasa-alam-yang menggambarkan pesan yang isi kandungannya selaras dengan
isi kandungan pesan bahasa.Uraian makna kata ayat dan derivasinya di dalam
wacana Al-Qur’an memperkuat pandangan ini.mu’jam al- fazh al qur’an al karim
meringkas maknanya sebagai berikut: “Makna asal dari ayat adalah: tanda yang jelas,
dan itu terwujud di dalam semua yang kita sebut “ayat”. Maka penciptaan alam
disebut ayat karena merupakan tanda bagi kekuasaan Allah.Mukjizat para Nabi
dinamakan ayat karena merupakan tanda kebenaran mereka, dan kekuasaan
Allah.Ibarat dinamakan ayat karena merupakan tanda bagi makna-makkna agung dan
I’tibar.Banyak ayat Al-Qur’an yang mengarahkan manusia untuk membaca ayat-ayat
Allah di dalam alam, di dalam manusia, dan di dalam dirinya sendiri.Ini
menunjukkan adanya gambaran mengenai saling dukungan antar teks
tersebut-bahasa, alam, dan manusia-di dalam melahirkan makna yang menghasilakan
pesan.
Mamahami
kemalaikatan, dan makhluk sama halnya menakwilkan ayat-ayat/tanda-tanda
mencapai maknanya, dan begitu pula penakwilan Al-Qur’an teks bahasa-termasuk
perantara bagi pesan yang ada-lebih dulu-di dalam alam, seperti membaca alam di
dalam ‘Al-Qur’an. Di dalam membagi macam-macam makna, para mutakalimin
menjadikan makna linguistik sebagai cabang dari makna rasional, dan menjadikan
pengetahuan irasional mengikuti tangkapan-tangkapan indriawi.
Sesungguhnya
mereka menceburkan diri untuk memahami “alam” yang terdiri dari
tanda-tanda/ayat-ayat/makna-makna, dengan mengembalikan “Penakwilannya” pada
alam”.
Karena makna
Al-Qur’an adalah makna linguistik, maka untuk mengungkap makna ini-dengan
manakwilkan tanda - tanda/ayat-ayat-tidak mungkin berhasil dengan melepaskannya
dari pemahaman tentang alam dalam artian diatas.Akan tetapi,
perkembangan-perkembangan berikutnya di dalam formulasi konsep teks melalui
mekanisme-mekanisme pembacaan menjadi terikat dengan benang,dari pemahaman
implisit tersebut-yang kita harapkan dapat mengungkapkannya dan menelitinya-di
dalam budaya pra-Islam dan awal perkembangan Islam. Kadang dikatakan: benang
yang di upayakan untuk di ungkap adalah benang yang tertahan oleh lainya dan
mengikutinya dari saluran menuju sumber. Yang paling utama kita mengikutinya
dari sumber/asal usul menuju saluran di dalam arah perkembangan alaminya.Jadi,
teks wahyu berlandaskan pada imajinasi dan peniruan (muhakah)sebagaimana kata
para filsuf.
Peniruan adalah
konsepsi tetoris (balaghah) dan wahana metaforis. Dengan demikian, argumentasi
filosofis menjelaskan pengetahuan tentang cara mengeluarkan signifikansi dari
majas menuju hakikat (realitas), yang menurut kaidah bahasa Arab dalam tajawwuz
(Ibnu Rusyd), ia hanyalah merupakan pelampauan dan pelawatan di antara
signifikansi. Dalam pandangan pemakalah, sesungguhnya disinilah letak
problematika pemikiran filsafat Arab, yakni dalam cara memisahkan aspek hakikat
dengan aspek majaz, burhani dengan bayani tashawauri dengan takhyili.Pada
dasarnya pendekatan hermeneutika itu sendiri merupakan tafsir yang berdasarkan
atau interpretasi berdasarkan argumentasinya pada tida unsur pokok yang
terkandung didalamnya.Yaitu adanya pesan yang seringkali berupa teks, adanya
sekelompok penerima, dan adanya perantara/penafsir itu sendiri.Nasruddin Baidan
juga menjelaskan bahwa tiga pilar utama dalam hermeneutika itu berupa (texs,
autor, dan audiens), tidak berbeda dengan ulama tafsir dalam menafsirkan
al-Qur’an.[11]
Ibnu
Taimiyah-pun mengatakan bahwa proses yang benar dalam upaya penafsiran itu
harus memperhatikan tiga hal: Pertama. Siapa yang mengatkannya.Kedua. Kepada
siapa ia diturunkan Ketiga. Ditujukan kepada siapa.
Penjelasan dari
tiga argumentasi diatas sebagai berikut:
- dari segi adanya pesan, berita yang seringkali berbentuk teks, tafsir Al-Qur’an jelas menafsirkan teks-teks yang terdapat dalam Kitab Suci al-Qur’an.
- harus ada kelompok penerima yang bertanya-tanya atau merasa asing terhadap pesan itu, dalam hal ini kaum Muslimin pembaca/para peneliti Al-Qur’an, baik yang berbahasa Arab apalagi yang tidak berbahasa Arab. Pesan Al-Qur’an itu harus jelaskan sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan petunjuk dan pedoman hidup mereka.
- adanya perantara yang dekat dengan kedua belah pihak. Perantara yang paling dekat dengan sumber yaitu Allah SWT adalah Rasulullah sebagai rujukan utama dalam menafsirkan pesan-pesan Allah. Sistem sanad diperlukan untuk menjaga otentitas dan validitas penjelasan Nabi tentang maksud Allah SWT. Dan merupakan tradisi yang kuat pada kalangan Arab Saat itu hingga sampai sekarang ini.
Muncul dan
berabad-abad, hingga terjadi suatu kerancuan atau perdebatan antara kalangan
intelektual muslim sendiri, antara Mu’tazilah dan lawan-lawannya, tapi masih
dipandang sangat menarik dan juga menjadi suatu bahan pikiran sumbangan
tersendiri, yang perlu di pelihara serta dilestarikan. Makna sentral pemberian
wahyu adalah pemberian informasi, yaitu sebuah komunikasi antara dua pihak dengan
menyampaikan pesan secara samar dan rahasia.[12]
Situasi
komunikasi dalam konteks wahyu sangat berbeda dengan situasi komunikasi
lainnya. Dua sisi komunikasi yang mendasar dalam proses pewahyuan adalah Allah
di satu pihak, dan Rasul yang manusiawi di pihak lain. Akan tetapi, beliau
telah dipersiapkan oleh Allah untuk memiliki kemampuan menerima firman-Nya
sehingga terpelihara dari kemungkinan deviasi ketika Malaikat Jibril
menyampaikan wahyu kepadanya. Proses ini memiliki cara-cara tertentu sebagaimana
yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an (QS. Al-Syur’aa:42). Namun pada
prinsipnya, seperti yang dikemukakan Deddy Mulyana dengan mengutip pendapat
Aristoteles, bahwa proses komunikasi melibatkan tiga unsur yang tidak bisa
dipisahkan, yaitu pembicara (speaker), pesan (messege) dan pendengar
(Listener).
Berkomunikasi,
pada hakikatnya, adalah untuk menunjukkan eksistensi diri. Bahasa sebagai salah
satu media berkomunikasi merupakan ekspresi dan eksternalisasi diri, agar ia
dipahami dan diterima orang lain. Bahasa adalah kategori-kategori untuk merujuk
pada obyek tertentu, ia hanya mewakili realitas, bukan realitas itu sendiri.[13]
Dengan
demikian, bahasa pada dasarnya bersifat parsial, tidak melukiskan sesuatu
secara utuh.Sebab itu, ada kalanya kita sulit menamai suatu obyek karena tidak
semua bahasa tersedia untuk itu.Ungkapan "dan lain-lain, dan sebagainya,
dan seterusnya, sebenarnya menunjukkan bahwa tidak ada suatu pernyataan yang
dapat mewakili dunia nyata. Meskipun terdapat pengetahuan yang komprehensip
mengenai suatu obyek, akan tetapi selalu ada celah atau hal baru untuk
dipertimbangkan.
Dalam dunia
empiris saja, kita sulit memilih bahasa yang tepat untuk mewakili sebuah
realitas, apalagi bahasa al-Qur’an yang sangat menekankan aspek believing
(keyakinan) dan understanding (pemahaman) ketimbang explaining (menjelaskan)
dan describing (menggambarkan). [14]
Bahasa
al-Qur’an memiliki hakikat yang khusus, berbeda dengan bahasa-bahasa yang lain.
Ia bukan hanya mengacu pada dunia empirik, tetapi juga mengacu pada dimensi
metafisik. Seperti yang dipaparkan Asep, di antara kelemahan bahasa adalah
tidak setiap kata yang diungkap mengacu pada suatu obyek yang konkrit, empirik
dan dapat dibuktikan secara riil, misalnya, kata jannah (surga) dan naar.[15]
Sebab itu,
dalam upaya mengatasi stagnasi bahasa, maka sangat realistis bilamana kemudian
dikembangkan bahasa metafor dan analogi.[16]
karena bahasa
metafor dan analogi dapat menjembatani rasio manusia yang terbatas dengan
bahasa al-Qur’an yang serba tidak terbatas.[17]
Bahasa
al-Qur’an sangat komunikatif dan bisa diterima, sekalipun dalam satu sisi
sangat menantang kemampuan dan kepandaian para ahli bahasa dan sastra pada saat
itu. Mereka adalah masyarakat yang paling mengetahui tentang keunikan dan
keistimewaan al-Qur’an, serta menyadari akan ketidakmampuannya untuk menyusun
semisal al-Qur’an. Meskipun demikian, sebagian mereka ada yang tidak mau
menerima kehadiran al-Qur’an, karena pesan-pesan yang dikandungnya tidak
sejalan dan bertentangan dengan kebiasaan, tradisi, dan kepercayaan yang
diyakini.Sikap penolakan yang mereka lontarkan sesungguhnya bertentangan dengan
keyakinan yang sebenarnya. Mereka mengatakan bahwa al-Qur’an adalah syair,
namun mereka sangat menyadari akan keindahan susunan dan irama yang itu tidak
mungkin dibuat Muhammad. Keunikan dan keistimewaan al-Qur’an dari segi bahasa,
merupakan kemukjizatan utama dan pertama yang ditunjukkan kepada masyarakat
Arab 15 abad yang lalu.
Kemukjizatan
yang dihadapkan kepada mereka ketika itu, bukan dari segi isyarat ilmiah dan
pemberitaan gaibnya, karena kedua aspek ini berada di luar jangkauan pemikiran
mereka. Satu huruf dalam al-Qur’an dapat melahirkan keserasian bunyi dalam
sebuah kata, dan kumpulan kata akan membentuk keserasian irama dalam rangkaian
kalimat, juga dengan kumpulan kalimat akan merangkai keserasian irama dalam
ayat. Inilah yang menjadi salah satu mukjizat al-Qur’an dari sisi lafadz dan
usluubnya (al-Qaththan, T.t:262). Sebagaimana dikatakan Abu Sulaiman Ahmad bin
Muhammad (w. 388 H.), keindahan susunan lafadz dan ketepatan maknanya,
menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah mukjizat yang tidak akan tertandingi
selamanya.
Kalau memperhatikan lebih seksama tentang struktur kalimat, al-Qur’an
sering menggunakan kalimat yang berbeda untuk satu pesan, atau menggunakan
struktur kalimat yang sama untuk kasus yang berbeda, sehingga kadang tampak
seperti ada deviasi dari aspek tata bahasa yang baku. [18]
Dalam pemilihan kata, misalnya, al-Qur’an sering menggunakan beberapa
kata yang memiliki arti sama dalam bahasa Indonesia, misalnya, kata
"bashar," "insaan," dan "naas" bila diterjemahkan
berarti "manusia". Yang menarik adalah, jika setiap kata itu memang
memiliki makna yang sama, niscaya antara satu kata dengan kata lainnya bisa
saling mengganti. Namun, penggantian semacam itu dalam al-Qur’an tidak
diperbolehkan.
Pengertian ini mengindikasikan bahwa setiap kata yang diungkap al-Qur’an
memiliki karakter makna sesuai dengan konteks pembicaraan. Pemilihan kata
dalam al-Qur’an tidak saja dalam arti keindahan, melainkan juga kekayaan makna
yang dapat melahirkan beragam pemahaman.Salah satu faktor yang melatari
pemilihan kata dalam al-Qur’an adalah keberadaan konteks, baik yang bersifat
geografis, sosial maupun budaya.Dalam kajian sosiolinguistik disebutkan, ketika
aktifitas bicara berlangsung, ada dua faktor yang turut menentukan, yaitu
faktor situasional dan sosial.
Faktor situasi
turut mempengaruhi pembicaraan, terutama pemilihan kata-kata dan bagaimana
caranya mengkode, sedangkan faktor sosial menentukan bahasa yang dipergunakan.[19]
C. Paradigma
Bahasa Metafora: Analisis Historis
Dalam kajian
gaya bahasa Arab modern, istilah metafor di identikkan dengan konsep Majaz,
yang lazim digunakan oleh para sarjana klasik sebagai lawan dari istilah
haqiqat. Berkaitan dengan persoalan
Majaz, secara historis setidaknya ada
tiga kelompok berbeda pandangan, yang memposisikan Majaz sebagai lawan dari haqiqat.
1.
kaum Mu’tazilah, yang secara dogmatis ajarannya
banyak bersinggungan dengan Majaz, Mereka menjadikan majaz sebagai senjata
untuk memberikan interpretasi terhadap teks-teks yang tidak sejalan dengan
pemikiran mereka.
2.
Dzahiriyah, kelompok yang menolak keberadaan
majaz baik dalam bahasa maupun dalam
al-Qur’an, dan sebagai konsekuensi mereka juga menolak adanya ta’wil
(interpretasi). Pada intinya, mereka menentang dengan keras pemahaman terhadap
teks yang melampaui bahasa.
3.
Asy’ariyyah, yang mengakui adanya majaz dengan persyaratan-persyaratan tertentu.
Paling tidak mereka memposisikan diri secara moderat di antara dua kelompok di
atas.[20]
Perbedaan
pendapat berkenaan dengan eksistensi majaz dalam al-Qur’an, disebabkan karena
perbedaan analisis dan kesimpulan mengenai asal-usul bahasa.Kalangan Mu’tazilah
berkeyakinan, bahwa bahasa semata-mata merupakan konvensi murni manusia.
Sementara
kalangan Dzahiriyah berkeyakinan, bahwa bahasa merupakan pemberian Tuhan
(tawqify) yang diajarkan kepada Adam, dan setelah itu beralih kepada anak
keturunannya. Berbeda dengan kelompok Asy’ariyyah, yang menyatakan bahasa
merupakan kreativitas manusia, akan tetapi tidak bisa dipungkiri, bahwa Tuhan
juga berperan dalam memberikan kemampuan kepada manusia.
Meminjam
istilah Komaruddin, secara garis besar terdapat tiga teori mengenai asal-usul
bahasa, yaitu; teologis, naturalis dan konvensionalis.Pendukung aliran teologis
mengatakan, manusia bisa berbahasa karena anugerah Tuhan, pada mulanya Tuhan
mengajarkan kepada Adam selaku nenek moyang seluruh manusia.Teori kedua,
naturalis, beranggapan bahwa kemampuan manusia berbahasa merupakan bawaan alam,
sebagaimana kemampuan untuk melihat, mendengar maupun berjalan.Teori ketiga,
konvensionalis, berpandangan bahwa bahasa pada awalnya muncul sebagai produk
sosial.Ia merupakan hasil konvensi yang disepakati dan kemudian dilestarikan
oleh masyarakat.[21]
Pertentangan mengenai asal-usul bahasa, jauh
sebelum pemikir muslim telah muncul dan menjadi polemik di kalangan filosof
Yunani. Apakah bahasa itu dikuasai alam, Nature atau Fisei, ataukah bahasa itu
bersifat konvensi atau nomos Pendapat yang menyatakan bahwa bahasa adalah
bersifat alamiah (fisie) yaitu bahasa mempunyai hubungan dengan asal-usul,
sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tak dapat diganti di luar manusia itu
sendiri, dan karena itu tak dapat ditolak. Kaum naturalis dengan para tokohnya,
seperti Cratylus dalam dialog dengan Plato mengatakan, bahwa semua kata pada
umumnya mendekati benda yang ditunjuk. Jadi, ada hubungan antara komposisi
bunyi dengan apa yang dimaksud.[22]
Bahasa bukanlah
hanya bersifat fisis belaka, melainkan telah mencapai makna secara alamiah,
atau fisie.Sebaliknya, kaum konvensionalis berpendapat, bahwa makna bahasa
diperoleh dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan berupa persetujuan bersama.Karena
itu, bahasa dapat berubah dalam perjalanan zaman.Bahasa bukanlah pemberian
Tuhan, melainkan bersifat konvensional.Demikian pendapat Hermogenes saat
berdialog dengan Plato.[23]
Secara
etimologis kata majaz tidak ditemukan
dalam al-Qur’an, namun akar kata dari kata majaz yaitu j-w-z, seperti jawwaza
(memotong) dan tajawwaza (melewati) ada dalam al-Qur’an. Joseph van Ess,
seperti yang dikutip Nur Kholis menyatakan, bahwa pada abad pertama Hijriyah
kata majaz dalam kerangka argumentasi teologis, secara substantif telah
dipergunakan. Pengertian substantif yang dimaksud adalah sebagai makna yang
melewati batas-batas leksikal dan bukan arti yang sebenarnya.
Salah satu
contoh, adalah interpretasi Joseph terhadap argumentasi-argumentasi teologis
yang dikemukakan oleh Hasan Muhammad Ibn al-Hanafiyah (w. 100 H.) yang dipahami
sebagai pemahaman majazi. Pemahaman
Joseph terhadap ungkapan Ibn al-Hanafiyah berangkat dari paradigma yang
dibangun Jahm ibn Safwan (w.128 H.), yang menyatakan bahwa kemampuan manusia
melakukan sesuatu hanyalah merupakan ungkapan majazi sehingga seolah-olah bisa
dikatakan dalam ungkapan lain, “tumbuh-tumbuhan bergerak” atau “matahari
terbenam”, yang sejatinya adalah Tuhan-lah yang melakukannya. [24]
Khususnya pada
era Bani Umayyah, sulit untuk memisahkan antara argumentasi-argumentasi
teologis dengan beberapa tendensi yang ada di luar tafsir dalam karya-karya
tafisr klasik.Karena dalam sejarah kesarjanaan klasik, telah didapatkan data
sekaligus pemikiran-pemikiran teologis begitu kuat mewarnai penafsiran
al-Qur’an.Misalnya karya Abu Ubaidah (w. 207 H.) yang berjudul “Majaz
al-Qur’an”, menurut banyak peneliti dianggap sebagai karya paling awal yang
secara eksplisit menggunakan kata majaz.Misalnya Kajian John Wansbrough
terhadap karya Abu Ubaidah, menemukan sebanyak 39 model dan jenis ungkapan yang
kesemuanya disebut dengan majaz Akan
tetapi majaz yang dimaksud tidak ada hubungannya secara eksplisit dengan majaz
dalam pengertian kajian sastra Arab modern. Adalah Abu Ziyaad al-Farra’ (w. 210
H.) seorang linguis yang beraliran Kuffah, juga menggunakan derivasi kata
majaz, yaitu tajawwuz (melampaui).
Maksud tajawwuz
di sini, bisa berarti melampaui batas-batas leksikal dan gramatikalnya, tidak
lagi terpaku pada makna dasar yang dimiliki sebuah kalimat.Misalnya, ketika
al-Farra’ menafsirkan ayat “famaa rabihat tijaaratuhum” (maka tidaklah
beruntung perniagaan mereka (QS. Al-Baqarah:16), klausa ini melampaui
batas-batas aturan kebahasaan Arab keseharian. Pemakaian “perniagaan yang menguntungkan”
itu tidak lazim, dan yang dipakai adalah “pedagang yang mendapatkan untung
dalam perniagaannya”, atau “perniagaan anda untung, dan perniagaan anda merugi.[25]
Pengembangan
konsep istilah majaz kemudian dilakukan oleh seorang teolog dan kritikus sastra
berhaluan Mu’tazilah, adalah al-Jahidz (w. 155 H.).Ia banyak mengembangkan
teori bahasa dan filsafat bahasa. Karya berjudul “al-Bayaan wa al-Tabyiin” dan
“al-hayawaan”, merupakan karya yang memuat analisis teori bahasa yang
mencerminkan pemikiran Mu’tazilah. Menurut al-Jahidz, majaz di pahami sebagai lawan dari haqiqat. Dalam karya-karyanya, ia tidak hanya
menggunakan satu-satunya kata majaz
sebagai konsep inti, tetapi ia juga menggunakan beberapa kata yang
memiliki arti senada, seperti mathal dan istiqaaq, yang dalam penggunaannya
mengarah kepada makna sesuatu yang lain. Terkait dengan majaz, al-Jahidz
menetapkan dua persyaratan, sehingga memungkinkan terjadinya peralihan makna:
Pertama,terdapat relasi atau hubungan antara makna leksikal dan makna hasil
peralihan, dan Kedua,peralihan makna tersebut merupakan hasil konvensi pengguna
bahasa, bukan rekayasa individu.
Seorang teolog
yang beraliran Sunny, Ibn Qutaibah (w. 276 H.) dalam karyanya yang berjudul
“Ta’wil Musykil al-Qur’an”, memuat beberapa pembahasan tentang konsep
majaz. Secara teoritis, ia membagi majaz
dalam dua kategori; pertama majaz lafdzi,
dan kedua majaz ma’nawy. Ibn Qutaibah mendefinisikan majaz sebagai bentuk
gaya tutur, atau seni bertutur. Untuk itu, kata majaz yang dipergunakan, mencakup
peminjaman kata (Isti’arah), perumpamaan
(tamsil), resiprokal ( maqluub), susun
balik (taqdym wa ta’khyr), eliptik (hadhf), pengulangan kata (ti’ra’ar),
ungkapan tidak langsung (ikhfaa), ungkapan langsung (idzhar), sindiran
(kinayah) dan sebagainya.[26]
Menurut pengertian di atas, ungkap Qutaibah,
dalam al-Qur’an banyak ditemukan kata majaz sebagai lawan dari haqiqat Dalam
hal ini, haqiqat di mengerti sebagai kata yang bermakna leksikal, atau makna
apa adanya. Lebih jauh ia menyatakan, bahwa penolakan terhadap majaz dalam
al-Qur’an, berarti semua ungkapan kalimat dalam al-Qur’an merupakan kebohongan,
karena ia bukan pengertian yang sesungguhnya. Ketika majaz di pahami sebagai
bentuk kebohongan, maka semua kata kerja yang dipakai untuk binatang dan tumbuhan
adalah salah.Juga dengan ungkapan komunitas, karena manusia mengatakan pohon
tumbuh besar, bukit berdiri tegak, dan sebagainya.
Konsep majaz
berikutnya dikembangkan oleh seorang ahli al-Qur’an, ahli gramatika, dan ahli
filologi, adalah Sibawy (w. 180 H.) menyatakan, majaz adalah seni bertutur yang
memungkinkan terjadinya perluasan makna.
Tokoh gramatik
lainnya, yang juga memberikan kontribusi terhadap konsep majaz adalah
al-Mubarrad (w. 286 H.), yang mengatakan, majaz merupakan seni bertutur dan
berfungsi untuk mengalihkan makna dasar yang sebenarnya. Begitu pula dengan Ibn
Jinny (w. 392 H.), seorang linguis yang turut menguraikan definisi majaz Ia
mengatakan, majaz sebagai lawan dari haqiqat dan makna haqiqat adalah makna
dari setiap kata yang asli, sedangkan majaz adalah sebaliknya, yaitu setiap
kata yang maknanya beralih kepada makna lainnya. Tidak ketinggalan, al-Qaadhy
‘Abd al-Jabbaar (W. 417 H.), seorang teolog beraliran Mu’tazilah mengatakan,
majaz adalah peralihan makna dari makna dasar atau leksikal ke makna lainnya,
yang lebih luas.Konvensi bahasa dan maksud penutur merupakan prasyarat
terjadinya ungkapan majazi dengan begitu ‘Abd al-Jabbaar membagi dua model
majaz yaitu majaz, dalam konvensi, dan majaz dalam maksud penutur.
Adalah ‘Abd al-Qaahir al-Jurjaany (W. 471 H.)
melalui penalaran dua konsep, yakni majaz versus haqiqat, ia mengatakan sebuah
kata yang mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa mengundang
kemungkinan makna lain disebut dengan haqiqat.
Sedangkan majaz
adalah ketika seseorang mengalihkan makna dasar ke makna lainnya, karena alasan
tertentu, atau ia bermaksud melebarkan medan makna dari makna dasarnya. Secara
teoritik, menurut al-Jurjaany, majaz adalah peralihan makna dari yang leksikal
menuju yang literer, atau dari yang denotatif menuju yang konotatif. Secara
implisit, definisi di atas mengacu pada pengertian majaz mufrad yakni majaz
dalam kosa kata, sekaligus ia menunjukkan jenis majaz yang kedua, yaitu majaz
dalam kalimat. Pembagian ini di landasi pada pertimbangan bahwa seseorang bisa
merangkai majaz baik dalam bentuk kosa kata maupun dalam bentuk kalimat.Dan
penggunaan ini sangat bergantung pada konteksnya.[27]
Termasuk
kategori ungkapan majaz, yang pernah
berkembang di kalangan sarjana muslim klasik adalah tasybiih Istilah tasybiih
pertama kali dipakai pada era al-Mubarrad (w. 286 H.) dan Ibn al-Mu’taz (w. 296
H.), meskipun kata tersebut juga muncul pada era al-Farra’ dan Abu Ubaidah,
namun hanya sebatas sebagai tambahan penjelasan kebahasaan, dan belum sampai
pada pengertian sebagai diskursus ilmu bayan
Al-Jaahidz (w. 255 H.) misalnya, meskipun dalam banyak karya tidak
menjadikan tasybiih sebagai obyek kajiannya, namun ia sudah mengulas dan
mempergunakannya sebagai penopang argumentasinya akan keindahan ungkapan
al-Qur’an. [28]
Al-Mubarrad (w.
285 H.) dalam karyanya yang berjudul “al-Kaamil”, memberikan ulasan tentang
tasybiih Uraian al-Mubarrad, dinilai oleh para kritikus sastra kontemporer
sebagai sumbangan yang sangat berarti terhadap perkembangan tasybiih, dalam
diskursus retorik Arab. Ia berpendapat, tasybih, merupakan seni bertutur yang
paling sering dipakai dalam bahasa Arab. Kajian khusus mengenai tasybiih, telah
dilakukan oleh Ibn Aby ‘Awn (w. 323 H.), ia tidak saja membahas tasybiih,
secara komprehensif, melainkan juga berbagai macam syair semenjak era klasik
sampai era Abbasiyyah. Dalam karyanya, “al-Tasybiihaat”, ia menempatkan
ayat-ayat al-Qur’an sebagai pijakan dan basis keindahan serta kesempurnaan
kei’jazan al-Qur’an. Tetapi, kajian tasybiih, secara spesifik sebagai elemen
ilmu bayan dalam kerangka sebagai dogma kei’jazan al-Qur’an baru diangkat oleh
al-Rummaany (w. 386 H).
Dibandingkan
para sarjana sebelumnya, al-Rummany bukan saja membahas tasybiih, pada tataran
teoritis, tetapi ia sudah masuk bagaimana al-Qur’an bisa dilacak keindahan
sastranya melalui tasybiih. Embrio
pemikiran tasybiih, di atas, kemudian disempurnakan oleh ‘Abd al-Qaahir
al-Jurjaany (w. 471 H.), yang lebih menjelaskan perbedaan antara tasybiihdan
tamhil.Berkenaan dengan kajian tasybiih maka pada tahapan berikutnya
memunculkan tema sentral lainnya, yaitu isti’arah, yang merupakan pengembangan
dari tasybiih, hanya saja perbedaannya, kalau isti’arah salah satu dari
tharafah tasybiih yang muncul.
Sastrawan Arab pertama kali menggunakan
istilah isti’arah adalah Abu ‘Amr bin al-’Alaa’ (w. 154 H.), kemudian diikuti
oleh Ibn Qutaibah (w. 276 H.), al-Mubarrad (w. 285 H.), Tha’lab (w. 291 H.),
Qadaamah (w. 337 H.), al-Jurjaany (w. 366 H.), al-Rummaaniy (w. 384 H.), Abu
Hilaal (w. 395 H.), Ibn Rashiq (w. 463 H.), dan ‘Abd al-Qaahir (w. 471 H.), dan
kemudian disempurnakan, sehingga menjadi bagian dari ilmu al bayyan pada masa
al-Sakaaky (w. 626 H.) (Lasyin, 1985:160).[29]
Al-Qur’an
menggunakan isti’arah bukan hanya sekedar sebagai proses peminjaman kata,
seperti lazimnya digunakan dalam syair Arab, tetapi juga meminjam persamaan
yang bisa dicerna secara nalar, atau sebagai persamaan yang diambil berdasarkan
kemiripan akal sehingga prinsip peminjaman dalam al-Qur’an ini dimaksudkan untuk
menarik perhatian para pendengar dan pembaca al-Qur’an sebagai resiptornya.
Selain tasybiih dan isti’arah tema lain yang menjadi perbincangan adalah
kinayah Konsep ini telah muncul semenjak era Abu Ubaidah (w. 207 H.), al-Farra’
(w. 210 H.) dan al-Jaahidz (w. 255 H). Penggunaan kinayah banyak dilakukan
dalam hubungannya dengan ayat-ayat al-Qur’an.Hanya saja, konsep yang mereka
kembangkan belum ditemukan penjelasan yang mendetail, khususnya terkait dengan
kritik sastra Arab.
Mereka
menggunakan kinayah sebatas sebagai perangkat penjelasan, tanpa memasuki kepada
kajian yang bersifat teoritis. Selain al-Mubarrad (w. 258 H.), al-Jurjaany (w.
471 H.) juga pernah melakukakan kajian di mana ia menempatkan kinayah sejajar
dengan format ungkapan puitik lainnya, seperti isti’arah tasybiih, dan mathal
sebagai elemen pembangun teori konstruksinya. Penjelasan al-Jurjaany ini,
selaras dengan pembagian mengenai ungkapan, yakni makna dan makna dari makna.
Makna adalah
isi dari kosa kata yang bisa dipahami seseorang tanpa melalui
perantara.Sedangkan makna dari makna adalah makna yang tidak bisa didapatkan
langsung dari bunyi sebuah kata, melainkan melalui perangkat, dan perangkat
tersebut di antaranya, adalah isti’arah, tasybiih, mathal dan kinayah.
- Gaya Bahasa al-Qur’an
Dalam
pembahasan ini, pemakalah hanya menyajikan beberapa gaya bahasa al-Qur’an dalam
konteks Il’m al bayann, yang dalam kajian bahasa Arab ia identik dengan bahasa
metafor. Di antaranya, adalah gaya bahasa tasybih, istiarah, majaz, dan kinayah
dari sudut pandang komunikasi.
Dalam pandangan
ulama ahli (Balagah) konsep majaz sesungguhnya tidak ada perbedaan yang krusial
dengan isti’arah (peminjaman kata). Perbedaan keduanya terletak pada alaqah
(relasi antara makna dasar dengan makna lain). Jika alaqah musyhabahahnya (ada
kesesuaian antara makna dasar dengan makna lain) maka disebut isti’arah dan
sebaliknya, jika halaqahnya ghoiru mustabahah (tidak ada kesesuaian) maka
disebut majaz Seperti yang di katakan Hasyimi. Majaz menurut kaidah
kebahasaan dapat dilakukan akibat adanya satu dari dua hal berikut, [30]
1.
terdapat persamaan antara makna yang
dikandung kosakata atau ungkapan dalam arti literalnya dengan makna yang
dikandung oleh pengertian metaforis yang ditetapkan.
2.
adanya perkaitan atau hubungan antara dua hal
dalam ungkapan, sehingga mengakibatkan terjadinya penisbahan satu kalimat
kepada sesuatu yang seharusnya bukan kepadanya, misalnya "langit
menurunkan hujan". Di sini terdapat perkaitan antara langit dan hujan,
karena langit atau awan adalah sumber kedatangannya dan dengan demikian
kepadanya ia dinisbahkan. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut;
وإذا قرأت
القرآن جعلنا بينك وبين الذين لا يؤمنون بالآخرة حجابا مستورا.
Dan apabila
kamu membaca al-Qur’an Niscaya kami adakan antara kamu dan orang
orang yang
tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup(QS.17:45)
Bentuk majaz
pada ayat di atas adalah kalimat “hijaban mastuuraa” (dinding yang tertutup).
Menurut mayoritas mufassir maksudnya adalah dinding yang menutup, karena kata “mastuuraa”
bermakna menjadi sasaran, bukan sebagai pelaku.Jadi, arti yang tepat pada kata
“mastuuraa” adalah “saatiraa” (yang menutup).Di sini alaqahnya adalah ghoiru
mushabahah, yaitu tidak adanya kesesuaian antara makna dasar (mastu’raa/yang
ditutup) dengan makna lain (saati’raa).Kata mastur’aa bermakna saatir’aa
disebut majaz aqly, salah satu alaqahahnya adalah "isnaad maa buniya ly
al-maf’uul ilaa al-faa’il" (menyandarkan makna kata pasif kepada kata
aktif).
Pemilihan frase
"hijaaban mastuuraa" menunjukkan bahwa al-Qur’an yang dibacakan Nabi
kepada orang-orang musyrik Mekkah tidak akan membuat mereka mendapatkan
petunjuk. Sebab di antara Nabi dan mereka ada hijab atau penutup yang dibuat
oleh Allah.Dengan demikian, bacaan-bacaan al-Qur’an yang dilantunkan Nabi tidak
mampu menembus dan merubah keyakinannya. Contoh majaz yang lain seperti pada surat al-Baqarah ayat
19;
أَوۡ
كَصَيِّبٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ فِيهِ ظُلُمَٰتٞ وَرَعۡدٞ وَبَرۡقٞ يَجۡعَلُونَ
أَصَٰبِعَهُمۡ فِيٓ ءَاذَانِهِم مِّنَ ٱلصَّوَٰعِقِ حَذَرَ ٱلۡمَوۡتِۚ وَٱللَّهُ
مُحِيطُۢ بِٱلۡكَٰفِرِينَ ١٩
Atau seperti
(orang- orang yang di timpa) hujan lebat dari langit di sertai gelap gulita,
guruh dan kilatmereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya,karena(
mendengar suara) petir, sebab takut akan mati, dan Allah meliputi
orang-orang yang kafir.
Al-Mubarrad (w.
258 H.) merupakan sarjana bahasa yang melakukan sistematisasi mengenai konsep
kinayah Dalam karyanya “al-Kaamil”, al-Mubarrad menguraikan tiga model kinayah
beserta fungsinya. Pertama, menjadikan sesuatu lebih umum, kedua, memperindah
ungkapan, dan ketiga, untaian pujian. Namun al-Mubarrad tidak banyak mengulas
pada model pertama dan ketiga, ia lebih menitikberatkan pada model yang kedua,
yaitu kinayah sebagai penyempurna keindahan ungkapan, khususnya yang diambil
dari ayat-ayat al-Qur’an. Istilah kinayah ada kemiripan dengan gaya bahasa
metonimia, ia berasal dari kata Yunani, meta yang berarti menunjukkan perubahan
dan onomayang berarti nama. Dengan demikian, metonimia adalah suatu gaya bahasa
yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai
pertalian yang sangat dekat. Kalau kita mengamati secara cermat
ungkapan-ungkapan dalam al-Qur’an maka akan ditemukan beberapa ayat yang
menggunakan bentuk penghalusan bahasa (eufimisme).[31]
Barangkali
ungkapan tersebut muncul karena ada beberapa faktor, baik yang bersifat
historis maupun bersifat etis. Konsekuensi dari ungkapan itu akan menimbulkan
perbedaan pendapat di kalangan para mufassir, karena kebanyakan gaya bahasa
eufimisme berimplikasi menjadi sebuah bahasa yang multi interpretative
(ambigu). Misalnya, kata "laamastum" dalam surat al-Nisaa’ ayat 43;
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ
تَعۡلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ
تَغۡتَسِلُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ
مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ
فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُمۡۗ
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا ٤٣
Secara
leksikal, kata “laamastum” berarti saling menyentuh, tetapi jika melihat
konteks keseluruhan ayat maka yang dimaksudkan menurut jumhur ulama adalah
berhubungan badan (jama’tum), sekalipun ada sebagian berpendapat lain, yaitu
menyentuh. Penggunaan gaya bahasa eufimisme pada ayat di atas sangat dimaklumi.
Sebab secara
geografis, keadaan alam Arabia yang kering dan tandus sangat memaksa
orang-orang Arab untuk hidup berpindah-pindah dari satu wadi ke wadi yang lain
(nomaden) guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebiasaan ini membuka peluang yang
cukup besar akan terjadinya peperangan antara satu kabilah dengan kabilah
lainnya. Sikap permusuhan antara kabilah ini menyebabkan munculnya sifat buruk,
yaitu mereka tidak menyukai anak perempuan karena tidak bisa diajak berperang
dan hidup keras.Mereka berharap anak keturunan laki-laki yang banyak untuk
regenerasi dalam kesatuan kabilah.Karena hanya dengan itu kekuatan dan
kehormatan kabilah dapat terjaga.Dikarenakan faktor cuaca yang tidak bersahabat
dan suasana kehidupan yang gersang, maka harapan yang menyelimuti kehidupan
mereka terkontaminasi oleh khayalan-khayalan kotor yang mengakibatkan timbulnya
al-shahwah al-hayawanyyah (nafsu binatang). Munculnya nafsu binatang ini
bersamaan dengan gaya hidup nomad (tanaqqul) yang harus mereka jalani sangat
berpengaruh terhadap karakter dan tabiat mereka, yaitu terbentuknya sikap
mendua terhadap wanita.
Seringkali
mereka menaruh rasa cinta kepada wanita lain, dan bahkan lebih dari pada itu
mereka menyukai hidup “berpoligami”. Kondisi ini seringkali mengilhami para
penyair untuk menuangkan karya sastranya dengan bertemakan al-ghazal (romance).[32]
Jadi
perbincangan mengenai kecantikan seorang wanita di kalangan para penyair jahili
bukan merupakan sesuatu yang tabu.Bahkan dalam pandangan mereka tema al-ghazal
tak ubahnya seperti garam dalam masakan.Karena latar seperti itu sehingga
bahasa al-Qur’an yang membicarakan tentang perempuan dan yang terkait dengannya
selalu menggunakan preferensi atau pemilihan kata yang halus, sopan, dan etis.
Secara psikologis, kalau bahasa yang digunakan itu vulgar atau sesuai dengan
konteksnya mungkin akan memancing munculnya sifat-sifat di atas yang sudah
menjadi karakter hidup mereka. Karena itu, untuk memendam sifat-sifat tersebut
al-Qur’an sengaja menyampaikan dengan gaya bahasa berbentuk kinayah yaitu kata
"laamastum". Menurut ‘Aly al-Shabuuny, dalam tradisi bahasa Arab
apabila kata "laamastum" bersanding dengan kata al-nisaa, maka pengertiannya adalah bersetubuh. Oleh
sebab itu, al-Qur’an sering mengungkap dengan kata "al-mubaasyarah"
atau "al-lams" sebagai kinayah dari makna bersetubuh. [33]
Pada ayat yang
lain, terkadang seorang perempuan disimbolkan dengan kata "harth",
seperti ayat berikut ini;
نِسَآؤُكُمۡ
حَرۡثٞ لَّكُمۡ فَأۡتُواْ حَرۡثَكُمۡ أَنَّىٰ شِئۡتُمۡۖ وَقَدِّمُواْ
لِأَنفُسِكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّكُم مُّلَٰقُوهُۗ
وَبَشِّرِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٢٢٣
Isteri-isterimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki (QS. Al bagarah: 223).
Secara harfiah,
memahami ayat di atas seakan-akan ada kebebasan bagi sang suami. Namun tidak
demikian, sekalipun dalam kenyataannya superioritas laki-laki terhadap
perempuan sangat mendominasi saat itu, tetapi Islam telah memberikan aturan
yang jelas dan adil.Pada ayat sebelumnya (ayat 222) al-Qur’an membicarakan
kondisi perempuan yang menstruasi. Islam memberikan tuntunan bahwa perempuan
yang sedang menstruasi tidak boleh diperlakukan seperti dalam keadaan normal.
Maka untuk melunakkan dan meluluhkan hati mereka, al-Qur’an menggambarkan
seorang isteri seperti ladang, jika ia dalam keadaan suci.
Dalam fenomena
masyarakat Arab, ladang memang menjadi simbol ketenangan dan kemakmuran
hidup.Peperangan yang terjadi antar kabilah salah satunya disebabkan karena
mereka berebut ladang sebagai sumber mata pencarian. Supaya mereka tetap
mencintai isterinya, seperti layaknya mereka menyukai ladang untuk bercocok
tanam maka sang isteri di dalam al-Qur’an digambarkan seperti ladang
(hart) Sebab, dalam tradisi masyarakat
Arab pra-Islam, apabila isteri dalam keadaan menstruasi ia ditinggalkan begitu
saja dan tidak pernah diberi nafkah. Tradisi dan budaya yang mendeskriditkan
posisi perempuan ini kemudian diperbaiki oleh Islam dengan cara yang halus,
agar kaum perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kaum
laki-laki.
Oleh karena
itu, preferensi kata "harth" adalah kinayah bagi seorang isteri dalam
hubungan pergaulan (musyawarah).
D.
Mengabaikan
Keberadaan Majaz Dalam Memahami Al Qur’an.
Terdapat satu
permasalahan, mengabaikan sebagian jenis makna lafadz yang biasa digunakan oleh
Bangsa Arab (yaitu makna majaz) dan hanya mau berpegang kepada sebagian jenis makna
yang lain (yaitu makna denotatif/haqiqoh lughowiyah) dalam memahami Al Qur’an
akan menimbulkan dua macam bencana: Mereka terjerumus ke dalam dosa karena
tidak memahami Al Qur’an dengan Bahasa Arab, padahal Al Qur’an itu diturunkan
dengan bahasa Arab. Alasannya karena hanya mau berpegang kepada satu jenis
makna yang digunakan oleh orang Arab, seraya enggan menggunakan jenis makna
yang lain, sama artinya dengan tidak menggunakan Bahasa Arab dalam memahami Al
Qur’an. Yang demikian itu bertentangan dengan kenyataan bahwa Al Qur’an adalah
Kitab yang berbahasa Arab.
Mereka terjebak
ke dalam kekacauan ketika memahami beberapa ayat Al Qur’an karena tidak mau
mengakui sebagian jenis maknanya. Ketika mereka membaca Firman Allah SWT “Amat
besar penyesalanku atas apa yang aku lalaikan dalam “pinggang Allah”
(janbuLlaah)“. (QS Az Zumar ayat 56) serta Firman Allah “dan kekallah “wajah
Tuhanmu” (QS Ar Rahman ayat 27) sementara mereka membatasi diri dalam memahami
lafadz janbun (pinggang) dan wajhun (wajah) dengan makna denotatif, maka
pemahaman mereka akan kacau, karena makna denotatif yang ciptakan oleh Bangsa
Arab untuk lafadz-lafadz tersebut adalah pinggang dan wajah yang telah dikenal.
Padahal Allah Maha Suci dari makna hakiki yang dikehendaki oleh Bangsa Arab untuk
kedua lafadz tersebut, sebab Allah itu “tidak ada sesuatu pun yang
menyerupaiNya” (QS Sy Syuro ayat 11).
Oleh karena itu, mereka terjatuh dalam
kebingungan, kemudian dalam menafsirkannya mereka berkata “jambullaah adalah
pinggang Allah yang tidak seperti pinggang” dan “wajhullaah adalah wajah Allah
yang tidak seperti wajah”. Penafsiran terhadap lafadz “janbun” dan “wajhun”
yang demikian itu merupakan penafsiran yang tidak mengacu kepada Bahasa Arab.
Sebab, mereka tidak menafsirkannya dengan makna hakiki yang diciptakan oleh
Bangsa Arab untuk lafadz tersebut, mereka juga tidak menafsirkannya dengan
makna urfiyah yang dikenal oleh Bangsa Arab untuk lafadz tersebut, dan mereka
juga tidak menafsirkannya dengan majaz atau kinayah yang biasa digunakan dalam
Bahasa Arab.
Mereka justru berkata: “pinggang artinya
pinggang yang tidak seperti pinggang; dan wajah artinya wajah yang tidak
seperti wajah”. Ini menunjukkan bahwa mereka sendiri mengakui bahwa
lafadz-lafadz dalam ayat tersebut tidak digunakan dengan makna hakiki sebagaimana
yang buat oleh Bangsa Arab.Namun, alih-alih mereka menafsirkannya dengan makna
majazi yang biasa digunakan dalam Bahasa Arab, anda justru melihat bahwa mereka
membuat makna baru untuk lafadz-lafadz tersebut yang tidak dikenal dalam Bahasa
Arab.[34]
Kata wajah,
misalnya, dalam Bahasa Arab biasa digunakan merujuk kepada wajah yang dikenal
secara denotatif, dan kadang juga digunakan oleh Bangsa Arab merujuk diri
seseorang, artinya mereka menggunakan ungkapan “wajah” untuk menyebut “diri
seseorang”, maksudnya adalah dzatnya, secara majaz. Akan tetapi, orang Arab
tidak pernah menggunakan kata wajah dalam arti “wajah, tapi tidak seperti
wajah”.Padahal Al Qur’an berbahasa Arab, maka ayat-ayat dan kata-katanya
seharusnya ditafsirkan dengan Bahasa Arab.Seandainya mereka mau melakukan hal
yang demikian itu, serta mau melakukan penelaahan, niscaya mereka akan
menjumpai bahwa Bangsa Arab juga menggunakan kata janbun (pinggang) secara
majaz. Orang Arab sering mengatakan “haadzal amru yashghuru fii janbi haadzaa” (urusan
ini menempel pada pinggang ini) yaitu melekat kepadanya apabila ia berkaitan
dengannya. Atas dasar itu, makna ayat “yaa hasrotanaa ‘alaa maa farrothnaa fii
janbillaahi” (Az Zumar ayat 56), adalah “dalam apa yang ada di antara aku dan
Allah, apabila aku lekatkan pengabaianku kepada apa yang diperintahkan Allah
kepadaku dan apa yang menjadi laranganNya untukku”. Di antara yang menggunakan
makna ini adalah hadits Rasulullah saw, “ kullush shoidi fii janbil faroo, atau
jaufil faroo” “setiap buruan ada di pinggang atau di lambung keledai liar”
maksudnya, setiap binatang buruan itu terkait dengan keledai liar apabila
dikiaskan dan didekatkan dengannya.[35]
Begitu juga
dengan juga kata “wajah”, orang Arab biasa menggunakannya secara majaz untuk
mengungkapkan sosok seseorang demi memuliakannya. Maka mereka berkata: “jaa’a
wajhul qoumi” telah datang wajah kaum. Dengan demikian, ayat (yang artinya)
“dan kekallah wajah Tuhanmu” (QS Ar Rahman ayat 27) makna wajah dalam konteks
itu artinya adalah Dzaat Allah Ta’aalaa.
Tidak bisa
dikatakan bahwa ini merupakan bentuk takwil yang jauh dari makna yang
dikehendaki Tidak bisa dikatakan demikian karena orang Arab telah menggunakan
makna tersebut dalam pembicaraan mereka.Dengan demikian, Bahasa Arab tidak
menolak makna tersebut, karena suatu kalimat itu mungkin dimaknai secara
hakekat dan bisa jadi pula secara majaz.
Terlebih lagi, setiap muslim meyakini bahwa
Allah Ta’aalaa Maha Suci dari “jambun/pinggang” dan “wajhun/wajah” menurut
makna hakiki yang dibuat oleh Bangsa Arab. Dengan kata lain, di sini penerapan
makna hakiki jelas terhalang, oleh karena itu, yang dijadikan pegangan adalah
makna majazi yang juga digunakan oleh orang Arab, dan ditafsirkan dengan
penafsiran yang sesuai denganNya, sebab Aqidah Islam memastikan bahwa Allah
jalla Jalaaluhu tidak memiliki wajah sesuai hakekat lughowiyah seperti wajah
kita, dan Dia juga tidak memiliki pinggang menurut hakekat lughowiyah seperti
pinggang kita, sebab Allah Maha Suci dari penyerupaan dan permisalan, Allah
berfirman (artinya) “Tidak ada sesuatupun yang semisal denganNya” (QS Asy
Syuroo ayat 11), maka dalam kondisi demikian ada dua kemungkinan:
lafadz itu
ditafsirkan dengan Bahasa Arab sehingga yang digunakan adalah makna majaz,
sehingga dikatakan bahwa wajah yang dimaksud adalah permisalan yang merujuk
kepada Dzat Allah yang Maha Suci.Atau ditafsirkan dengan tidak menggunakan
Bahasa Arab, sehingga kita berkata “wajah yang tidak seperti wajah“,
seolah-olah orang yang mengatakan demikian itu malu untuk mengatakan “aku tidak
tahu” (sebab wajah yang tidak seperti wajah itu secara bahasa tidak disebut
wajah.
Dengan
demikian, ayat ini menjadi tidak punya makna yang dapat dipahami dan
diamalkan). Demikianlah, sesungguhnya orang yang menyatakan bahwa seluruh
lafadz yang digunakan oleh bangsa Arab semuanya bermakna hakiki, atau orang
yang menetapkan keberadaan makna majaz di dalam bahasa namun mengingkari
keberadaannya di dalam Al Qur’an, sehingga ketika memaknai Al Qur’an, mereka
hanya menggunakan satu jenis makna seraya mengabaikan jenis makna lain yang ada
di dalam Bahasa Arab. Itu semua lebih parah dari pelanggaran mereka terhadap
nash Al Qur’an “(Al Qur’an) ini Bahasa Arab yang nyata” (QS An Nahl), sementara
mereka tidak berpegang kepada Bahasa Arab dalam memahaminya. Saya mengatakan
“lebih parah dari itu”, karena mereka telah menyibukkan umat islam dalam
permasalahan yang membuat mereka terpecah-pecah, sehingga hampir-hampir setiap
kelompok mengkafirkan kelompok yang lain sedang mereka tidak sadar.
Seandainya
mereka memperhatikan aspek-aspek penunjukkan bahasa, niscaya perpecahan itu
tidak terjadi sehingga mereka tidak saling bermusuhan dan tetap menyembah Allah
sebagai satu saudara Saya.
Seperti
pemaparan seorang ahli bahasa nomor
satu, Ibnu Jinni, yang berkata: “jalan untuk memecahkan masalah itu adalah
bahwa sebagian besar dari bahasa ini berjalan dengan makna majaz, sebagian
kecil darinya keluar menuju makna hakiki, sedangkan kaum yang diajak bicara
dengan bahasa itu merupakan manusia yang paling mengenal akan keluasan madzhab-madzhabnya
dan arah-arah penyebarannya, pembicaraan mereka dilakukan sesuai dengan
mekanisme yang telah menjadi adat dan kebiasaan dalam bahasa itu, dan mereka
memahami maksud perkataan orang yang berbicara kepada mereka dengan bahasa
tersebut berdasarkan pengetahuan dan kebiasaan mereka dalam menggunakannya“.
Oleh karena
itu, mereka memiliki aqidah yang shohih, amal-amal mereka ikhlash untuk Allah,
urusan mereka berjalan secara istiqomah, sementara kondisi mereka dalam keadaan
yang baik, mereka itu adalah orang-orang yang hidup pada masa Rasulullah
shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shohabat ridhwanullah ‘alaihim, di atas
jalan yang cerah, yang memiliki malam seterang siangnya, tidak menyimpang
darinya kecuali orang yang celaka, tidak menjauhinya kecuali orang yang sesat.[36]
Menurut kutipan di bawah, dalil menentukan pemilihan
makna majaz ini adalah konteks pembicaraan (siyaqul kalam) ayat ini. Ayat ini
bukan ingin menjelaskan perihal anggota badan Allah –Maha Suci Allah dari yang
demikian-. Pada ayat ke-26 Allah berfirman “kullu man ‘alaihaa faahin” segala
yang ada di atasnya akan binasa, yakni ayat ini bicara soal ketidak-kekalan
alam dan seluruh makhluq. Lalu Dia berfirman “wa yabqoo wajhu Rabbika”
sementara “wajah” Tuhanmu kekal.
Konteks
pembicaraannya jelas perbandingan antara Allah dan makhluqnya, alam semesta itu
fana dan tidak kekal, sedangkan “wajah Tuhanmu itu kekal”.Jadi topiknya adalah
masalah kekekalan Allah dan kefanaan dunia seisinya.Maka, mustahil wajah
dimaknai secara harfiyah.Sebab, yang kekal itu bukan hanya “wajah Allah”, tapi
Allah. Jelas bahwa wajah Allah yang dimaksud di sana adalah Allah itu sendiri.
Ini pendapat jumhur.Ini bukan takwil terhadap sifat Allah, melainkan ta’wil
terhadap lafadz Al Qur’an sesuai Bahasa Arab.Sebab, kita sudah menetapkan bahwa
tema ayat bukan membahas soal “anggota badan” Allah, melainkan soal sifat
kekekalan Dzat Allah yang dikemas oleh Al Qur’an dengan salah satu uslub yang
biasa digunakan dalam Bahasa Arab.Adalah kelompok Wahhabi, yang menetapkan
bahwa Allah punya dua tangan, telapak kaki, punya pinggang, punya wajah, punya
betis, punya jari-jemari tanpa mau memahami konteks penggunaan kata-kata itu
dalam kalimat, seraya mengatakan bahwa “Allah punya dua mata yang tidak seperti
mata” dst,. Mereka menetapkan masalah ini sebagai prinsip dalam aqidah.kemudian
memusuhi siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka, tidak mau duduk satu
majelis dengan mereka, dan menyebut mereka semua sebagai ahlul ahwaa wal bida’
(ahli hawa dan bid’ah), tidak mengikuti sunnah dan salaf, sesat, dan perkataan
buruk lain. Padahal tujuan Al Qur’an diturunkan bukan untuk menjelaskan anggota
badan Allah (Maha Suci Allah dari yang demikian), bahkan kita tidak dibebani
untuk membahas masalah Dzat Allah, maka seseorang tidak akan masuk neraka
semata-mata karena tidak pernah masuk dalam pembahasan perihal tangan Allah,
betis Allah, mata Allah dan sebagainya.
Berkomunikasi,
pada hakikatnya, adalah untuk menunjukkan eksistensi diri. Bahasa sebagai salah
satu media berkomunikasi merupakan ekspresi dan eksternalisasi diri, agar ia
dipahami dan diterima orang lain. Bahasa adalah kategori-kategori untuk merujuk
pada obyek tertentu, ia hanya mewakili realitas, bukan realitas itu sendiri.
Dengan demikian, bahasa pada dasarnya bersifat parsial, tidak melukiskan
sesuatu secara utuh. Sebab itu, ada kalanya kita sulit menamai suatu obyek
karena tidak semua bahasa tersedia untuk itu. Meskipun terdapat pengetahuan
yang komprehensip mengenai suatu obyek, akan tetapi selalu ada celah atau hal
baru untuk dipertimbangkan.
Dalam dunia
empiris saja, kita sulit memilih bahasa yang tepat untuk mewakili sebuah realitas,
apalagi bahasa al Qur’ an yang sangat menekankan aspek keyakinan dan pemahaman
ketimbang menjelaskan dan menggambarkan.
Bahasa
al-Qur’an memiliki hakikat yang khusus, berbeda dengan bahasa-bahasa yang lain.
Ia bukan hanya mengacu pada dunia empirik, tetapi juga mengacu pada dimensi
metafisik. Sebab itu, dalam upaya mengatasi stagnasi bahasa, maka sangat
realistis bilamana kemudian di dalam al-Qur’an ditemukan penggunaan bahasa
metafor dan analogi, karena bahasa metafor dan analogi dapat menjembatani rasio
manusia yang terbatas dengan bahasa al-Qur’an yang serba tidak terbatas.
Pemahaman pesan
dari suatu proses komunikasi sesungguhnya tidak bergantung pada kondisi
pengirim dan penerima saja, tetapi keberadaan konteks, yang berupa situasi,
keadaan, budaya, sosial, dan seterusnya juga turut mempengaruhi makna dari
pesan itu. Karena itu, komunikasi tidak berlangsung dalam suatu ruang hampa,
melainkan dalam suatu konteks dan situasi tertentu.
Secara luas
konteks di sini berarti semua faktor di luar orang-orang yang berkomunikasi,
misalnya, aspek fisik, aspek psikologis, aspek waktu, aspek sosial, seperti
norma, nilai sosial, karakteristik budaya, dan seterusnya. Oleh sebab itu,
seseorang tidak mungkin mengerti dan dapat memahami pesan-pesan al-Qur’an
secara komprehensip, holistik, dan utuh dengan mengambil teks di luar
konteksnya. Konteks yang dimaksud di sini lebih luas dari (Asbabul Nuzul) ia
meliputi faktor geografis, historis, budaya, sosial, keagamaan (Asababul
Zhuruuf) dan sebagainya.
Dalam
pembahasan ini pemakalah tidak menemukan ayat- ayat yang spesifik yang
menggunakan bahasa hipebola dan personifikasi karena minimnya data-data pustaka
yang membahas tentang penggunaan majas dalam struktur teks Al-Quran yang
Spesifik namun pemakalah mencoba menjelaskan
teori- teori yang lebih mendekati dengan kedua pokok bahasan tersebut.
Yang tidak keluar dari pakem penelitian Teks dan Judul makalah.
[1]. Abu Zaid, Nasr Hamid. 1994. Naqd al-Khitaab al-Diniy. Hal. 122 Kairo: Jumhuuryyah Mishr
al-’Arabyyah.
[2]. Ali Harb, Hermeneutika kebenaran, terj.
Sunarwoto Dema, Yogyakarta, LkiS Yogyakarta, 2003. hlm. 12
[3]. Abu Zaid, Nasr Hamid. 1994. Naqd al-Khitaab al-Diniy. Hal. 122 Kairo: Jumhuuryyah Mishr
al-’Arabyyah.
[4].
Manna Khalil Al-Qattan, Study Ilmu-ilmu Al- Qur’an. Di terjemahkan
oleh Drs. Muzakir AS.Litera Antar Nusa
Jakarta 1992
[5]. Shihab, M. Quraish (1997) Mukjizat
al-Qur’an Ditinjau dari Aspek kebahasaan, isyarat ilmiah dan Pemberitaan Gaib.Cet.
I; Badung: Mizan
[6]. Ali Harb, Hermeneutika kebenaran, terj.
Sunarwoto Dema, Yogyakarta, LkiS Yogyakarta, 2003. hlm. 12
7. Abu Zaid, Nasr Hamid. 1994. Naqd al-Khitaab al-Diniy. Hal. 122 Kairo: Jumhuuryyah Mishr
al-’Arabyyah.
[8]. Abu Zaid, Nasr Hamid. 1994. Naqd al-Khitaab al-Diniy. Hal. 122 Kairo: Jumhuuryyah Mishr
al-’Arabyyah.
[9]. Abu Zaid, Nasr Hamid. 1994. Naqd al-Khitaab al-Diniy. Hal. 122 Kairo: Jumhuuryyah Mishr
al-’Arabyyah.
[10]. Abu Zaid, Nasr Hamid. 1994. Naqd al-Khitaab al-Diniy. Hal. 122 Kairo: Jumhuuryyah Mishr
al-’Arabyyah.
[11]. Abu Zaid, Nasr Hamid. 1994. Naqd al-Khitaab al-Diniy. Hal. 122 Kairo: Jumhuuryyah Mishr
al-’Arabyyah.
[12]. al-Zarqaany, Muhammad ‘Abd al-’Adzym. 2004. Manaahil al-’Irfaan fii
‘Uluum al-Qur’an, Juz 1. Hal. 41
Beirut: Daar Ihyaa’ al-Kutub al-’Ilmiyah.
[13]. Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Hal. 134 -
248 Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
[14]. Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa: Mengungkap
Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda.Hal. 86 Bandung: PT Remaja Rosdakarya
[15]. Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat
Bahasa, Makna dan Tanda.Hal. 35
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
[16]. Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa.Hal.137 Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
[17]. Badawy, Ahmad Ahmad. 1950. Min Balaaghah al-Qur’an. Hal. 244 Kairo: Daar Nahdhah.
[18]. Khafaajy, Muhammad ‘Abd al-Mun’im. 1992. al-Usluubyyah wa al-Bayaan
al-’Araby. Hal. 46 Beirut: al-Daar al-Mishriyyah al-Lubnaaniyyah.
[19]Pateda, Mansoer. 1994. Sosiolinguistik. Hal. 15 Bandung:
Angkasa
[20]. Abu Zaid, Nasr Hamid. 1994. Naqd al-Khitaab al-Diniy. Hal. 122 Kairo: Jumhuuryyah Mishr
al-’Arabyyah.
[21]. Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat
Bahasa, Makna dan Tanda.Hal. 29 Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
[22]. Setiawan, M. Nur Kholis. 2005. al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar.Hal.183 Yogyakarta: eLSAQ Press.
[23]. M.S, Kaelan. 2003. “Kajian Makna al-Qur’an (Suatu Pendekatan
Analitika Bahasa),” dalam Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya, ed,
Sahiron Syamsuddin, dkk. Yogyakarta: Islamika.
[24]. Setiawan, M. Nur Kholis. 2005. al-Qur’an
Kitab Sastra Terbesar. Hal.
183Yogyakarta: eLSAQ Press.
[25]. Setiawan, M. Nur Kholis. 2005. al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar.
Hal. 189 Yogyakarta: eLSAQ Press.
[26]. Laashyn, ‘Abd al-Fattaah. 1985. Al-Bayaan fii Dawi Asaalyb al-Qur’an.
Hal. 129 Kairo: Daar al-Ma’aarif.M.S,
Kaelan. 2003.
[27]. Setiawan, M. Nur Kholis. 2005. al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar.
Hal.199-202 Yogyakarta: eLSAQ Press.
[28]. Abaas, Fadhal Hasan. 1985. al-Balaaghah Funuunuhaa wa Afnaanuhaa.
Hal. 18 Tanpa tempat: Daar al-Furqaan
[29]. Laashyn, ‘Abd al-Fattaah. 1985. Al-Bayaan fii Dawi Asaalyb al-Qur’an.
Hal. 160 Kairo: Daar al-Ma’aarif.M.S,
Kaelan. 2003.
[30]. al-Haashimy, Ahmad. 1990. Jawaahir al-Balaaghah fii al-Ma’aany wa
al-Bayaan wa al-Bady’. Jakarta: Maktabah Daar Ihyaa’ al-Kutub al-’Arabyyah
[32]. Abaas, Fadhal Hasan. 1985. al-Balaaghah Funuunuhaa wa Afnaanuhaa.
Tanpa tempat: Daar al-Furqaan
[34]. Dikutip dan di indonesiakan dari bagian muqodimah kitab “At
Taisiir fii Ushuulit Tafsiir” karya Atho’ Abu Rusytah, halaman 27 sampai
halaman 29. Catatan kaki oleh penterjemah [translated by Bengkel Fikrah, 1
Ramadhan 1431 H]
[35]. Dikutip dan diindonesiakan dari bagian muqodimah kitab “At
Taisiir fii Ushuulit Tafsiir” karya Atho’ Abu Rusytah, halaman 27 sampai
halaman 29. Catatan kaki oleh penterjemah [translated by Bengkel Fikrah, 1
Ramadhan 1431 H]
No comments:
Post a Comment