Wednesday, 1 February 2017

Problematika Tarjamah Arab-Indonesia


Problematika Tarjamah Arab-Indonesia
A.    Pendahuluan
Tidak diragukan lagi bahwa aktifitas penerjemahan adalah aktifitas intelektual yang mulia. Melalui aktifitas penerjemahan ini berbagai hasil peradaban dan ilmu pengetahuan dari masa lalu dapat diperkenalkan terus menerus hingga generasi paling mutakhir. Penerjemahan berperan sangat penting  dalam proses transformasi pengetahuan dan peradaban manusia.[1]
Urgensi dan signifikansi penerjemahan tersebut disadari betul oleh berbagai bangsa besar di dunia, sehingga ada anggapan umum bahwa setiap bangsa besar maka di sana ada usaha  besar-besara dalam bidang penerjemahan.
Memang disadari bahwa dengan penerjemahan dapat memperpendek atau mempersingkat atau mendekatkan sebuah ilmu pengetahuan yang ditemukan masyarakat tertentu untuk difahami oleh  masyarakat lain yangberbeda bahasa. Penerjemah dalam hal ini menjadi jembatan yang dapat menghubungkan satu masyarakat dari satu kurun waktu tertentu dengan masyarakat lain dari kurun waktu yang sama ataupun kurun waktu yang  jauh berbeda. Tanpa usaha penerjemahan ini, bisa jadi kita semua tak pernah mengenal karya para filosof yunani, para penyair dunia, para motivator kondang, dan lain lain yang  telah terbukti menginspirasi dunia melalui karya-karyanya.
Makalah ini akan mendiskusiakan seputar problematika penerjemahan Arab-Indonesia. Selain ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu al dilalah, makalah ini diharapkan dapat sedikit berkontribusi mendorong perkembangan dunia penerjemahan Arab-Indonesia  yang lebih baik lagi. Fakta menunjukan bahwa tradisi Arab (Islam) adalah tradisi teks yang sangat luar biasa banyaknya. Dan, itu semua adalah peluang bagi para ahli dan pecinta Bahasa Arab untuk berkarya baik untuk motif edukatif maupun motif ekonomi (komersial).
B.     Pembahasan
1.      Pengertian Tarjamah
Secara etimologis, terjemah berasal dari kata bahasa Arab “tarjamah” yang memiliki arti: (1) menerangkan dan menjelaskan (bayyanahu wa wadhahahu); (2) memindahkan makna kalimat dari suatu bahasa ke bahasa yang lain (naql kalam min lughah ila ukhra); (3) biografi seseorang (siratuhu wa hayatuhu). Menurut Muhammad Ibn Abi Bakr al-Razi, kata ini juga berarti menerangan kalimat dengan bahasa lain (fassara al kalam bi lisan akhar).[2] Dalam kamus Umum Bahasa Indonesia, dituliskan  terjemah=terjemahan  salinan sesuatu bahasa kepada bahasa lain. menerjemahkan berarti menyalin atau memindahkan dari satu bahasa pada bahasa lain.[3]
Secara terminologis, banyak para ahli yang telah mendefinisikan istilah terjemah ini. Di antaranya, sebagai berikut:
Menurut Carford, penerjemahan adalah penggantian materi tekstual dalam bahasa tertentu dengan materi tekstual yang padan dalam bahasa lain (the replacement of tekstual material in one language by equivalent textual material in another language).
Sedangkan Nida dan Taber mendefinisikan penerjemahan sebagai usaha mencipta kembali pesan dalam bahasa sumber (Bsu) ke dalam bahasa sasaran (Bsa) dengan padanan alami yang sedekat mungkin, baik dalam hal makna, maupun gaya bahasanya (translation consist of reproducing in the receptor language the closed natural equivalent of the sources language message, fisrt in terms of meaning and secondly in term of style).
Sementara itu, Wolfram Wilss seperti dikutip Toto mengemukakan bahwa penerjemahan adalah suatu proses transfer yang bertujuan untuk menyampaikan teks tertulis dalam Bsu ke dalam teks Bsa yang optimal padan, dan memerlukan pemahaman sintaksis, semantic, dan pragmatic, serta proses analisis terhadap Bsu.[4]

Dan, Hidayatullah mendefinisikan penerjemahan sebagai “proses memindahkan makna yang telah diungkapkan dalam bahasa yang satu (bahasa sumber [Bsu]; source language [SL]; al-lughah al-mutarjam minha) menjadi ekuivalen yang sedekat-dekatnya dan sewajar-wajarnya dalam bahasa yang lain (bahasa sasaran [Bsa]; target language [TL]; al-lughah al-mutarjam ilaiha).” Jadi, yang menjadi focus pemindahan di sini adalah pesan teks Bsu  ke Bsa, bukan pemindahan strukur Bsu ke Bsa.[5]
2.      Proses dan langkah-langkah penerjemahan
Secara singkat proses penerjemahan terlihat dalam segitiga proses  penerjemahan berikut:[6]


 











Pemadanan Bsa pada gambar di atas merupakan hasil dari olah intelektual atas apa yang dilihat (teks) dan apa yang didengar, yang dibantu oleh aspek gramatikal melalui perangkat morfologis dan sintaksis yang melekat pada Tsu. Implikatur  merupakan maksud yang dihasilkan dari ketajaman menangkap aspek semantic (makna) dan pragmatic yang sangat dipengaruhi oleh pemahamna terhadap teks dan implikasi kontekstualnya. Sementara itu, pemadanan Bsa merupakan pengalihan aspek tekstual dan kontekstual dari Tsu ke Tsa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk bisa menerjemahkan, seorang penerjemah harus benar-benar memahami Tsu. Jadi, seorang yang tidak memahami Tsu, tidak akan dapat menerjemahkan dengan akurat.
Untuk mendapatkan pemahaman, implikatur dan pemadanan yang tepat, penerjemah dapat mengikuti langkah dalam penerjemahan, yang terlihat dalam bagan berikut:[7]


 







Bagan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) pendalaman berarti menjajagi bahan yang akan ditejemahkan dengan membacanya secara berulang-ulang, sesuai kebutuhan; (2) penganalisisan berarti mengurai satuan-satuan kalimat dan unsure-unsur dalam bagian teks yang lebih besar; (3) pemahaman berarti memahami isi  dan bentuk dalam bahasa sumber; (4) pendiksian berarti mencari istilah dan ungkapan dalam Bsa yang tepat, cermat dan selaras, (5) pengolahan berarti menyusun komponen-komponen makna yang selaras dengan norma-norma dalam bahasa sasaran; ( 6) pengecekan berarti memeriksa kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi pada penulisan kata, pemakaian tanda baca, dan susunan kalimatnya; (7) pendiskusian berarti mendiskusikan hasil terjemahannya, baik menyangkut isi maupun menyangkut bahsanya, kepada ahli Tsu dan penerjemah senior.

3.      Unsure linguistis dan non linguistis dalam penerjemahan
Untuk dapat menerjemahkan dengan baik seorang penerjemah harus menguasai pengetahuan terkait dua unsur dalam penerjemahan; unsur lingusitik dan dan unsur non linguistik[8]
Unsur linguistic berkaitan dengan aspek kebahasaan dalam penerjemahan sedangkan unsur non linguistic berkaitan dengan aspek luar bahasa yang diperlukan pada saat menerjemahkan.
Unsure linguistic dalam penerjemahan meliputi;
a.       Makna kamus
Unsure ini terkait dengan konsep kata dan kosa kata; bahasa yang merupakan kumpulan kosakata; dan memilih makna kosakata, apakah itu makna kamus, makna tekstual, dan makna konotatif.
b.      Makna morfologis
Unsure ini terkait dengan bentuk, struktur, dan pola kata. Unsure ini dalam bahasa Arab bisa dilihat pada kasus fi’il tsulatsti, fi’il ruba’I, tashrif lughawi, tashrif istilahi, tambahan huruf seperti pada kasusu ta’diyyah, muthawa’ah, musyarakah, dan jenis-jenis isim: isim fai’l, isim maf’ul, isim tafdhil, , sighah mubalaghah, mufrad, mutsanna, jama’, nakirah, ma’rifah dan juga kata tugas (harf).
c.       Makna sintaksis
Unsure ini terkait dengan posisi ism dalam kalimat yang mempunyai I’rab. Seorang penerjemah harus jeli dalam menetukan posisi I’rab (jabatan kata) saat berhadapan dengan sebuah teks apakah sebagai; mubtada, khabar, maf’ul bih awaal, maf’ul bih tsani, tarkib idhafi, tarkib washfi, taukid, dan yang lain. Makna sintaksis juga berhubungan dengan jumlah fi’liyyah dan jumlah ismiyyah.
d.      Makna retoris
Unsure ini terkait dengan majaz (metafora), alegori, idiom, ijaz, ithnab, taysbih, kinayah, sehingga penerjemah dapat mengalihbahasakan pesan dan ide yang tersembunyi di balik retorika penulis Tsu.
Adapun unsure non linguistic dalsm penerjemahan meliputi:[9]
a.       Menguasai pengetahuan yang melatarbelakangi sebuah topic yang akan diterjemahkan
b.      Konteks
c.       Konotasi,
4.      Perbedaan bahasa Arab dan bahasa Indonesia
Terdapat beberapa perbedaan antara bahasa Arab dan bahasa Indonesia yang perlu diperhatikan dalam proses penerjemahan.  Di anatarnya sebagai berikut[10]:
a.       Bahasa Arab menegenal genus, baik dalam verba maupun dalam nomina, bahkan pronominal. Di samping harus ada kesesuaian  antara genus verba, nomina, dan pronominal pada saat sudah dalam bentuk konstruksi frasa atau klausa.. contoh:
أسلمت الإنجليزية
Wanita Inggris itu memeluk agama Islam
b.      Pola dasar kalimat bahasa Arab  adalah P (V) + S (N) seperti:  Hasan akan menikah tahun depan.  Kalimat “Hasan akan menikah tahun depan” adalah kalimat  berita. Jika nomiina (subjek) di dahulukan, maka kalimat itu bertujuan member penekanana  atau menegaskan bahwa  Hasan lah yang akan menikah tahun depan, dan bukan Hasyim atau yang lain. Ini berbeda dengan bahasa Indonesia yang mempunya pola dasar kalimat  S (N) + P (N/V).
c.       Objek verba dapat diselingi unsure lain, seperti:
وأثار رفض الرئيس اختصار جزلته الخارجية أثناء حوادث عنف أوقعت 500 قتيل انتقادات حادة
Keengganan presiden untum mempersingkat lawatannya ke luar negeri di tengah-tengah tindak kekerasan yang menelan 500 korban, menimbulakn kritik pedas.  
Objek dari verba atsaara adala intiqaadaat yang lokasinya dipisahkan oleh beberapa kata yang lain. Dan, hal seperti ini tidak berlaku dalam bahasa Indonesia.
d.      Seringkali partikel dalam bahasa Arab merupakan bagian dari idiom verba berpreposisi yang menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam proses penerjemahan, seperti:
رغب الرجل عن الصغائر  فضلا عن الكبائر
Lelaki itu tidak menyukai dosa kecil, apalagi dosa besar.
Preposisi    ‘an ( عن ) merupakan bagian tak terpisahkan dari verba raghiba, sehingga membentuk makna “tidak menyukai/benci”.
e.       Verba majhul (berdiatesis pasif) dalam bahasa Arab digunakan jika subjeknya sudah diketahui sehingga tidak umum memunculkan subjek. Karenanya, dalam bahasa Arab hanya ada konstruksi seperti berikut.
ويواجه رئيس الجمهورية الذي انتخب في العام الماضي ضغوطا متزايدة
Presiden yang terpilih  pada tahun lalu mendapat tekanan terus menerus.
Dalam bahasa Indonesia kita dapat mengatakan, ungkapan “Presiden dipilih oleh anggota DPR” adalah kalimat pasif yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Arab akan berubah menjadi kalimat aktif :
انتخب أعضاء مجلس النواب الرجل رئيسا
أو
الرجل انتخبه اعضاء مجلس النواب رئيسا
Dalam kedua kalimat tersebut di atas verb    انتخب  muncul dalam bentuk ma’lum (berdiatesis aktif)
f.       Bahasa  Arab mengenal kata ganti yang lebih kompleks daripada bahasa Indonesia. Kata-kata seperti ,هو، هما، هم، هي هن، أنت نحن أنا أنتم أنتن, tampaknya tidak menimbulkan masalah dalam penerjemahan. Namun, kata ganti dalam bahasa Arab yang membedakan antara kata ganti untuk genus  genus maskulin dan feminine, menjadi masalah tersendiri pada saat menerjemhkan. Perbedaan seperti itu tidak terdapat dalam system bahasa Indonesia. Fenomena ini juga kadang-kadang menimbulkan kesulitan bagi seorang penerjemah meskipun tidak begitu serius. Kesulitan akan timbul ketika seorang penerjemah harus menerjemahkan dari bahasa Arab  ke dalam bahasa Indonesia, dan begitupun sebaliknya.
Masalah serupa juga akan timbul apabila seorang penerjemah harus menerjemahkan kata (anta/anti) dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, karena kata itu mempunya padanan dengan engkau, kamu, anda, saudara, bapak yang penerapannya ditinjau dari kepantasannya atau status sosial dari lawan bicaranya. Kata ganti nahnu juga terkadaang menimbulkan masalah, karena kata ini bisa bermakna  “kami” dan kadang bisa bermakna kita (inklusif), yang disesuaikan dengan konteks.
g.      Persoalan konjungsi dalam teks bahasa Arab juga merupakan kesulitan tersendiri saaat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Konjungsi seperti (و – أو ) seringkali luput luput dari perhatian penerjemah pemula. Dua konjungsi itu lebih sering dipadankan dengan koma (,). Bahkan, tidak jarang konjugnsi wa tidak diterjemahkan bila berada di awal kalimat. Hal yang sama berlaku untuk kasus Inna. Kasus seperti ini tidak ditemui dalam bahasa Indonesia.
h.      Persoalan partikel juga menjadi hal yang menuntut kepekaan tersendiri bagi seorang penerjemah arab –Indonesia. Partikel seperti min (من ) , selain bermakna dari juga terkadang berfungsi sebagai penjelas (bayaniyyah). Dalam hal ini, partikel tersebut berpadanan zero (tak terjemahkan). Dalam kasus yang lain, min bermakna ‘salah satu’ (tab’idh). Hal yang sama juga dialami oleh ‘ala yang selain mempunyai makna (di) atas, juga bermakna meskipun, betapapun. Kasus seperti ini tidak ditemui dalam bahasa Indonesia.
i.        Masalah ketakrifan juga menjadi hal yang harus diperhatikan oleh penerjemah. Pemarkah ketakrifan dalam bahasa Arab adalah al (ال), sementara dalam bahasa Indonesia dimarkahi dengan ini dan itu. Pemarkah itu dipergunakan untuk mengacu ke nomina yang telah disebutkan sebelumnya, sementara pemarkah ini dipergunakan untuk mengacu ke nomina yang sedang dan akan dibicarakan. Hanya yang perlu diperhatikan, tidak semua kata dalam bahasa Arab yang dimarkahi dengan al bisa diterjemahkan dengan ini atau itu. Sebagaian al yang tidak perlu diterjemhakan dengan ini dan itu antara lain  seperti al yang  menyandang nama diri, seperti al madinah yang cukup diterjemahkan dengan madinah (bukan madinah ini), atau البخاري yang diterjemahkan dengan Al Bukhori (bukan Bukhori ini).
j.        Bahasa Arab mengenal dual (mutsana) yang gramatikal (bukan leksikal) pada verba, sementara bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk dual seperti itu, seperti pada kata yaktubani. Keteika menerjemahkan teks Arab ke bahasa Indonesia, biasanya seorang penerjemah tidak mengalami kesulitan. Namun, masalah baru muncul bila ia menerjemahkan teks Indonesia ke Arab.
k.      Bahasa Arab mengenal pronominal  relative (isim maushul) yang lebih komplek daripada bahasa Indonesia. Pronominal relative dalam bahasa Arab ada enam: ( الذي ، اللذان ، الذين ، التي ، اللتان ، اللاتي ، , sementara dalam bahasa Indonesia hanya  satu : yang. Ketika  menerjemahkan teks Arab ke bahasa Indonesia, biasanya seorangpenerjemah tidak mengalami kesulitan. Namun, masalah baru muncul bila ia menerjemahkan teks Indonesia ke Arab.
l.         Bahasa Arab mengenal nomina demonstrative (ism al-isyarah) yang lebih komplek daripada bahasa Indonesia. Nomina relative dalam bahasa Arab : هذه – هذا – ذلك – تلك – هذان – هاتان –هؤلاء - أولئك…, )sementara dalam bahasa Indonesia hanya mengenal ini dan itu. Ketika menerjemahkan teks Arab ke bahasa Indonesia, biasanya seorang penerjemah tidak mengalami kesulitan. Namun, masalah baru muncul bila ia menerjemahkan teks Indonesia ke Arab.
m.    Keterangan (adverbia) dalam bahasa Arab, bisa berupa hâl dan bisa juga berupa zharf. Yang membedakan adalah adverbial dalam bahasa Arab merupakan perluasaan unsure kalimat, yang dalam hal ini unsure kalimat itu harus verba. Sementara itu, adverbial dalam bahasa indoensia bisa menjadi perluasan unsure kalimat baik itu verba maupun nomina, bahkan adjektifa. Ketika menerjemahkan teks Arab ke bahasa  Indonesia, biasanya seorang penerjemah tidak mengalami kesulitan. Namun masalah baru muncul; bila ia menerjemhkan teks Indonesia ke bahas Arab.
5.      Strategi penerjemahan Arab-Indonesia pada penerjemahan Arab
Ada beberapa strategi yang bisa dimanfaatkan oleh seorang penerjemah saat menghadapi  Tsu. Strategi ini sangat diperlukan saat penerjemah menemukan kasus dalam Tsu. Dalam Tsu bahasa Arab, strategi berikut bisa dimanfaatkan saat menerjemahkan[11]:
a.       Mengedepankan  dan mengakhirkan:
قد – حدد-  الإسلام – التعدد - بالزواد
1       2        3         4     5-6
Islam telah membatasi poligami
3          1         2             4-5-6
b.      Membuang
في – يوم - من  -الأيام - ذهب  -أحمد – لزيارة – أمه
1        2   3      4        5       6         7-8      9-10
Suatu hari, Ahmad (pergi) mengunjungi ibunya
1-2                 6         5           8                  9-10
c.       Menambahkan
فهم – القرأن – أمر – مهم
1         2        3        4
Memahami Al Quran merupakan hal yang penting
1                   2               T (+)       3     T       4
d.      Mengganti
يوزع - مجانا  - و- لا يباع
1           2      3   4-5
Gratis atau tidak diperjualbelikan
 1                  1              2
6.      Aspek budaya dalam penerjemahan Arab –Indonesia
Aspek budaya adalah hal-hal yang terkait dengan persoalan budaya yang mempengaruhi hasil kerja penerjemahan dalam menentukan pilihan makna yang tepat. Ada 11 aspek budaya yang harus diperhatikan saat hendak menerjemahkan, yaitu (1)perangkat mental (2)ungkapan stereotip (3) peristiwa budaya, (4) bangunan tradisional (5) kekerabatan (6) ‘amiyah fusha (7) idiom (8) ekologi (9)budaya material, (10) konsep agama, (11) isyarat dan kebiasaan[12]. Dalam makalah ini akan dicontohkan yang terakhir saja yakni isyarat dan kebiasaan. Misalnya pada ayat yang berbunyi:
و لا تجعل يدك مغلولة إلي عنوقك ولا تبسطها كل البسط فتقعد  ملوما محسورا
Janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal (QS. Al-Isra [17]: 29).
“Tangan terbelenggu pada leher” adalah symbol kikir yang bersumber pada isyarat tangan yang dikenal dalam bangsa Arab. Simbol seperti ini ternyata tidak dikenali dalam budaya bahasa Indonesia.

7.      Metode penerjemahan Arab-Indoensia
Menurut Newmark seperti dikutip Hidayatullah ada 8 (delapan) metode penerejemahan[13].
a.       Penerjemehan kata demi kata
Penerjemahan model ini dilakukan dengan meletakan padanan kata (Tsa) di bawah kata yang diterjemahkan (Tsu) secara langsung. Metode ini berguna bagi para pemula yang yang belum mengetahui   Tsu dengan baik, sedangkan bagi penerjemah ahli, metode ini digunakan untuk pra penerjemahan (analisis dan tahap pengalihan) untuk Tsu yang sukar difahami. Dengan metode seperti ini kata-kata dalam Tsu diterjemahkan tanpa memperhatikan konteksnya.  Contoh:

 و عندي  ثلاثة  كتب
1   2-3    4     5
Klausa  tersebut bila diterjemahkan dengan metode ini maka hasil terjemahannya akan menjadi sebagaia berikut:
 Dan di sisiku tiga buku-buku
1           2/3         4          5
Tampak jelas dari contoh di atas bahwa metode ini memang tidak mempertimbangkan dan memperhatikan apakah karya terjemahan yang dihasilkan terasa janggal atau tidak bagi penutur Bsa. Klausa di atas  akan lebih berterima jika, diterjemahkan saya punya tiga buku.
b.      Penerjemehan harfiah
Dalama metode ini yang menjadi focus adalah mencari padanan gramatikal Tsu yang terdekat kepada Tsa. Penerjemahan ini juga belum memperhatikan konteks kalimat. Biasanya digunakan untuk tahap awal (pengalihan). Contoh:
جاء رجل من رجال البر والإحسان إلي يوغياكرتا لمساعدة ضحايا الزلزال
Telah datang seorang lelaki baik ke Yogyakarta untuk membantu korban-korban goncangan.
Terjemahan di atas hanya memperhatikan padanan konstruksi gramatikal, tetapi masih melepaskannya dari konteks. Berdasarkan konteksnya orang lelaki baik yang sukarela terlibat dalam usaha membantu korban bencana disebut relawan. Oleh karena nya   ungkapan di atas akan terasa lebih pas jika diterjemahkan : Seorang relawan datang ke Yogyakjarta untuk membantu korban gempa.
c.       Penerjemahan setia
Metode ini menuntut penerjemah mereproduksi makna kontekstual, tetapi masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Kata-kata yang bermuatan budaya dialihbahasakan, tetapi penyimpangan dari segi tatabahasa dan diksi masih tetap dibiarkan. Ia berpegang teguh pada maksud dan tujuan Tsu, sehingga agak kaku dan terasa asing. Ia tidak berkompromi dengan kaidah Tsa. Metode ini biasanya digunakan pada tahap awal pengalihan. Contoh:
هو كثير الرماد
Dia (lk.) dermawan karena banyak abunya.

Makna kontekstual katsir al-ramad adalah dermawan. Tetapi penerjemah masih menampakan arti dari struktur gramatikalnya. Ia masih menambahkan ungkapan, karena banyak abunya. 

d.      Penerjemahan semantic
Metode ini lebih luwes dan fleksibel daripada metode penerjemahan setia. Dalam hal ini unsure estetika dan pesan Tsu di akomodir selama masih dalam batas wajar.  Kata yang hanya sedikit bermuatan budaya diterjemahkan dengan kata yang netral atau istilah fungsional.
رأيت ذا الوجهين أمام الفصل
 Saya lihat si muka dua di depan kelas
Terjemahan di atas terlihat memakai metode ini, karena kata (dza al wajhain) tidak diterjemahkan dengan yang memiliki dua muka melainkan dengan si muka dua, yang popular dalam masyarakat Tsa.  Meskipun frasa dza al wajhain  secara idiomatic dapat juga diterjemahkan dengan si munafik. Metode seperti ini menurut para ahli dibenarkan karena menjamin keteralihan pesan dengan baik
e.       Penerjemahan adaptasi
Saat menerjemahkan dengan metode ini yang menjadi focus adalah bukan keteralihan struktur melainkan bagaimana hasil terjemahnya dapat dipahami dengan baik oleh  masyarakat pengguna Bsa. Karenanya metode ini dianggap sebagai metode paling bebas dan paling dekat dengan Tsa. Namun demikian penerjemah tidak mengorbankan begitu saja hal-hal penting dalam Tsu, seperti tema, karakter atau alur. Metode ini biasanya dipergunakan dalam menerjemahkan drama, puisi, atau film. Cirri lain dari metode ini adalah terjadinya peralihan budaya Tsu ke budaya Tsa. Dengan kata lain, ada penyesuaian kebudayaan dan struktur kebahasaan. Contoh:
عاشت بعيدا حيث لا تخطو  قدم
عند الينابيع بأعلى النهار
Dia hidup jauh dari jangkauan
Di atas gemericik air sungai yang terdengar jernih

Terlihat ada upaya melepaskan diri dari kungkungan struktur gramatika Tsu dalam terjemah di atas, meskipun struktur maknanya masih dipertahankan. Si penerjemah ingin menampilkan Tsu secara dinamis mengikuti perkembangan pemaknaan pada Tsa. Jika tetap mempertahankan struktur Tsu, ungkapan di atas bisa jadi akan diterjemahkan sebagai berikut:
Dia  hidup jauh sehingga kaki tidak bisa menjangkaunya
Pada mata air di bagian sungai paling atas.

f.       Penerjemahan bebas
Metode penerjemahan ini lebih mengutamakan isi dan mengorbankan bentuk teks Bsu. Oleh karenanya struktur luar Tsu dan Tsa terjadi perubahan yang drastic. Penerjemahan dengan metode ini berbentuk paraphrase yang bisa lebih panjang atau lebih pendek dari teks asalnya. Metode ini sering dipergunakan untuk keperluan media massa atau untuk penerjemahan sebuah judul karangan agar lebih bernilai jual (menarik). Melihat sifatnya yang demikian, banyak ahli yang meragukan metode ini termasuk ke dalam salah satu metode penerjemahan. Contoh:
في أن المال أصل عظيم من أصول الفساد لحياة الناس أجمعين
Harta sumber malapetaka
Penerjemahan teks di atas terlihat jelas jauh lebih pendek dari teks asalnya. Di samping juga mengabaikan struktur dan makna Tsu, penerjemah memunculkan perspektif sendiri , tanpa menghilangkan pesan yang hendak disamaaikan penulis Tsu. Jika teks di atas diterjemahkan secara lengkap, bisa jadi  akan berbunyi, bahwa harta sumber terbesar kehancuran bagi kehidupan umat manusia.
g.      Penerjemahan idomatik
Metode ini ingin menghadirkan pesan yang akrab di hadapan pembaca Bsa dari sebuah teks Bsu. Untuk tujuan tersebut, bisa jadi akan memunculkan distorsi makna, namun akan terasa lebih hidup dan lebih nyaman bagi masyarakat pengguna Bsa. Contoh:
وما اللذة إلا بعد التعب
Berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian.

Penerjemahan di atas adalah pengalihan idiom dari Bsu ke idiom Bsa yang mengandung makna sama. Tanpa memperhatikan aspek idiomatic pada Tsu, maka teks di atas akan diterjemahkan, misalnya: setiap kenikmatan itu hanya bisa diraih setelah lelah bekerja. Metode ini murut para ahli termasuk metode yang diterima dalam penerjemahan karena menjamin keteralihan pesan dan ide pada Tsu.

h.      Penerjemahan komunikatif
Metode ini menuntut penerjemah untuk mereproduksi ungkapan yang paling tepat terhadap siapa yang akan membaca hasil terjemahnya. Tujuannya agar lebih komunikatif dan sebuah terjemahan dapat dengan mudah difahami. Oleh karena itu penerjemahan dengan metode ini harus memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi. Contoh:
نتطور من نطفة ثم من علقة ثم مت مضغة
Kita tumbuh dari mani, lalu segumpal darah, dan kemudian segumpal daging (untuk orang awam).
Kita berproses dari sperma, lalu zigot, dan kemudian embrio (untuk kalangan terpelajar).
Tsu di atas dapat diterjemahkan dalam dua versi, disesuaikan dengan siapa target pembaca dan untuk tujuan apa sebuah Tsu diterjemahkan. Pesan yang sama selalu dapat disampaikan dalam versi berbeda. Metode ini juga salah satu metode yang disarankan para ahli.
8.      Kesalahan umum
Mu’min menyebut beberapa kesalahan umum yang dilakukan oleh seorang penerjemah, terutama yang pemula. Meskipun ia mendasarkan kajiannya pada kasus penerjemahan Arab-Inggris, namun kesalahan itu juga ditemukan dalam kasus penerjemahan Arab-Indonesia. Berikut kesalahan umum yang kerap muncul terutama dalam kasus penerjemahan Arab-Indonesia.[14]
a.       Kesalahan yang berhubungan dengan kepenguasaan terhadap topic Tsu. Ini akan berakibat fatal pada pesan yang dialihkan ke dalam Tsa. Karena, bisa jadi pesan yang disampaikannya bukan pesan yang hendak disampaikan penulis Tsu. Oleh karenanya, penerjemah harus memahami topic Tsu yang hendak diterjemahkannya. Minimal, ia harus membaca Tsu secara tuntas dan cermat.
b.      Kesalahan yang berhubungan dengan konotasi. Padahal, konotasi bisa memberikan kelengkapan informasi pada pesan yang sebetulnya hendak disampaikan oleh penulis Tsu. Konotasi ini bisa dipelajari dengan mengkaji aspek budaya pada Bsu atau bisa juga dibantu oleh ensiklopedia dan kamus yang memadai.
c.       Kesalahan yang berhubungan dengan persoalan idiom dalam Tsu. Penerjemah dituntut peka dalam mengenali idom yang ada di Tsu, karena idiom tidak dimarkahi penanda linguistic. Idiom hanya bisa dikenali dengan rasa bahasa yang harus dimiliki oleh penerjemah. Kepekaan itulah yang harus mendorongnya untuk segera membuka kamus  idiom di saat ia menemukan kejanggalan pada pemaknaan Tsu yang ada di hadapannya.
d.      Kesalahan yang berhubungan dengan makna figurative. Untuk menghindari hal ini, seorang penerjemah harus membekali diri dengan kepenguasaan terhadap stilistika dan pragmatic Tsu.
e.       Kesalahan yang berhubungan dengan pemilihan diksi. Ini biasanya bisa diselesaikan dengan mencermati konteks dari kata. Untuk memaksimalkan upaya ini, seorang penerjemah bisa mendiskusikannya dengan orang yang dianggap memiliki wawasan terkait konteks dimaksud.
f.       Kesalahan yang berhubungan dengan penerjemahan nama diri, peristiwa sejarah, dan kata kata asing. Kesalahan ini bisa dihindari bila penerjemah mempunyai wawasan  cukup luas, yang mutlak juga meniscayakannnya untuk  memilih kamus, ensiklopedia, dan akses terhadap mesin pencari di internet, yang mungkin akan membantunya dalam memecahkan kesulitannya itu.
g.      Kesalahan yang berhubungan dengan singkatan atau akronim. Terkait dengan Tsu yang berbahasa Arab, singkatan atau akronim bisa dikatakan sangat minim.  Namun, justru di sinilah masalahnya. Penerjemah yang berbahasa Indonesia, akan mendapati kesulitan untuk mengenali suatu konstruksi  itu bisa disingkat atau tidak. Bila dipastikan termasuk konstruksi itu bisa disingkat, ia harus tahu bagaimana cara memnyingkatnya yang lazim. Contoh konstruksi al umam al muttahidah. Bila penerjemah tidak memiliki wawasan terkait konstruksi  tersebut, bisa saja menerjemahkannya menjadi bangsa-bangsa yang bersatu atau umat-umat yang bersatu. Padahal, konstruksi itu bermakna  persatuan bangsa-bangsa yang biasa disingkat dengan PBB dalam bahasa Indonesia dan UN dalam bahasa Inggris.
h.      Kesalahan yang berhubungan dengan kecerobohan. Penerjemah yang tidak mengecek kembali hasil terjemahannya, akan mendapati banyak kesalahan, baik makna maupun struktur gramatika, di kemudian hari. Minimal, ia harus membaca satu atau dua kali hasil awal terjemahannya.
i.        Kesalahan yang berhubungan dengan kekakuan dalam memandang Tsu. Penerjemah yang baik akan berusaha  menangkap pesan yang tersimpan di balik Tsu, tanpa harus terikat oleh struktur teks sumber. Kekakuan dalam memandang  Tsu akan hilang dengan sendirinya bila yang bersangkutan  mau terus berlatih dan berdiskusi dengan penerjemah yang sudah ahli.
Kesalahan yang berhubungan dengan kata tugas, konjungsi, dan partikel. Sering kali penerjemah hanya menerjemahkan harf sesuai dengan makna  yang dikenali secara umum, padahal makna harf lebih sering bergantung pada konteks.
C.     Kesimpulan
Ada beberapa poin sebagai kesimpulan dari diskusi ini, antar lain;
1.      Bahasa Arab memiliki banyak perbedaan  dengan bahasa Indonesia
2.      Penguasaan aspek lingusitik dalam penerjemahan baik meliputi kosakata, nahwu dan shorof belum menjamin seseorang dapat memahami wacana bahasa Arab dengan baik. Namun demikian, penguasaan nahwu dan shorof menjadi syarat penting untuk dapat memahami wacana bahasa Arab dengan baik, di samping pengetahuan aspek non linguistic yang terkait budaya bahasa Arab.
3.      Syarat utama penerjemah Arab–Indonesia adalah mampu memahami bahasa Arab dengan baik. Tanpa kemampuan ini mustahil menghasilkan terjemahan yang baik.
4.      Setelah memiliki kemampuan memahamai bahasa Arab dengan baik penerjemah harus membekali diri dengan penguasaan bahasa sasaran agar terjemahannya terasa alami.

D.    Daftar pustaka
Darmo,Toto Edi Distorsi Makna Dalam Terjemah Kitab          Riyadhah Al-Nafs Karya Al
Ghazali Dari Edisi Inggris (Book Of Disciplining The Soul),       Jakarta: Tesis
PPS UIN syarif Hidayatullah 2007

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka,1984           

Hidayatullah,  Moh. Syarif, Tarjim al-An:  Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia,
Jakarta: Dikara, cet. Ke-1, 2010



[1] Toto Edi Darmo, Distorsi Makna Dalam Terjemah Kitab Riyadhah Al-Nafs Karya Al Ghazali Dari Edisi Inggris (Book Of Disciplining The Soul), (Jakarta: Tesis PPS UIN syarif Hidayatullah), hal.2.
[2] Toto Edi Darmo, Distorsi Makna Dalam Terjemah Kitab Riyadhah Al-Nafs Karya Al Ghazali Dari Edisi Inggris (Book Of Disciplining The Soul), (Jakarta: Tesis PPS UIN syarif Hidayatullah), hal. 16
Sedangkan, menurut Muhammad Enani, kata ini mencakup semua  hal yang terkait dengan penerjemahan, misalnya proses penerjemahan (‘Amaliayyah al-tarjamah) dan teks yang diterjemahkan (al-nashsh al-mutarjam).

[3] Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,1984), h.1062
[4] Toto Edi Darmo, Distorsi Makna Dalam Terjemah Kitab Riyadhah Al-Nafs Karya Al Ghazali Dari Edisi Inggris (Book Of Disciplining The Soul), (Jakarta: Tesis PPS UIN syarif Hidayatullah), hal.2.
               
[5] Moh. Syarif Hidayatullah, Tarjim al- An: Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia, (Jakarta: Dikara, 2010), cet. Ke-1, hal13
[6] Moh. Syarif Hidayatullah, Tarjim al- An: Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia, (Jakarta: Dikara, 2010), cet. Ke-1, hal14
  

[7] Moh. Syarif Hidayatullah, Tarjim al- An: Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia, (Jakarta: Dikara, 2010), cet. Ke-1, hal.15.
[7]

[8] Moh. Syarif Hidayatullah, Tarjim al- An: Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia, (Jakarta: Dikara, 2010), cet. Ke-1, hal17[8]

[9] Moh. Syarif Hidayatullah, Tarjim al- An: Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia, (Jakarta: Dikara, 2010), cet. Ke-1, hal.18.

[10] Moh. Syarif Hidayatullah, Tarjim al- An: Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia, (Jakarta: Dikara, 2010), cet. Ke-1, hal.23
[10]

[11] Moh. Syarif Hidayatullah, Tarjim al- An: Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia, (Jakarta: Dikara, 2010), cet. Ke-1, hal.29.


[12] Moh. Syarif Hidayatullah, Tarjim al- An: Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia, (Jakarta: Dikara, 2010), cet. Ke-1, hal. 45.


[13] Moh. Syarif Hidayatullah, Tarjim al- An: Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia, (Jakarta: Dikara, 2010), cet. Ke-1, hal. 31.


[14]  Moh. Syarif Hidayatullah, Tarjim al- An: Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia, (Jakarta: Dikara, 2010), cet. Ke-1, hal. 27.


No comments:

Post a Comment

Pragmatisme Manusia Moderen

Pragmatisme Manusia Moderen Sejak bergulirnya Era reformasi Indonesia sudah Berganti 5 kali kepemimpinan Presiden Namun ekonomi bukan semak...