Problematika Tarjamah Arab-Indonesia
A.
Pendahuluan
Tidak diragukan lagi bahwa aktifitas
penerjemahan adalah aktifitas intelektual yang mulia. Melalui aktifitas
penerjemahan ini berbagai hasil peradaban dan ilmu pengetahuan dari masa lalu
dapat diperkenalkan terus menerus hingga generasi paling mutakhir. Penerjemahan
berperan sangat penting dalam proses
transformasi pengetahuan dan peradaban manusia.[1]
Urgensi dan signifikansi
penerjemahan tersebut disadari betul oleh berbagai bangsa besar di dunia,
sehingga ada anggapan umum bahwa setiap bangsa besar maka di sana ada usaha besar-besara dalam bidang penerjemahan.
Memang disadari bahwa dengan
penerjemahan dapat memperpendek atau mempersingkat atau mendekatkan sebuah ilmu
pengetahuan yang ditemukan masyarakat tertentu untuk difahami oleh masyarakat lain yangberbeda bahasa. Penerjemah
dalam hal ini menjadi jembatan yang dapat menghubungkan satu masyarakat dari
satu kurun waktu tertentu dengan masyarakat lain dari kurun waktu yang sama
ataupun kurun waktu yang jauh berbeda.
Tanpa usaha penerjemahan ini, bisa jadi kita semua tak pernah mengenal karya para
filosof yunani, para penyair dunia, para motivator kondang, dan lain lain yang telah terbukti menginspirasi dunia melalui
karya-karyanya.
Makalah ini akan mendiskusiakan
seputar problematika penerjemahan Arab-Indonesia. Selain ditujukan untuk
memenuhi tugas mata kuliah ilmu al dilalah, makalah ini diharapkan dapat
sedikit berkontribusi mendorong perkembangan dunia penerjemahan Arab-Indonesia yang lebih baik lagi. Fakta menunjukan bahwa
tradisi Arab (Islam) adalah tradisi teks yang sangat luar biasa banyaknya. Dan,
itu semua adalah peluang bagi para ahli dan pecinta Bahasa Arab untuk berkarya
baik untuk motif edukatif maupun motif ekonomi (komersial).
B.
Pembahasan
1.
Pengertian
Tarjamah
Secara etimologis, terjemah berasal dari kata bahasa Arab “tarjamah”
yang memiliki arti: (1) menerangkan dan menjelaskan (bayyanahu wa wadhahahu);
(2) memindahkan makna kalimat dari suatu bahasa ke bahasa yang lain (naql
kalam min lughah ila ukhra); (3) biografi seseorang (siratuhu wa
hayatuhu). Menurut Muhammad Ibn Abi Bakr al-Razi, kata ini juga
berarti menerangan kalimat dengan bahasa lain (fassara al kalam bi lisan
akhar).[2]
Dalam kamus Umum Bahasa Indonesia, dituliskan
terjemah=terjemahan salinan
sesuatu bahasa kepada bahasa lain. menerjemahkan berarti menyalin atau
memindahkan dari satu bahasa pada bahasa lain.[3]
Secara terminologis, banyak para ahli yang telah mendefinisikan
istilah terjemah ini. Di antaranya, sebagai berikut:
Menurut
Carford, penerjemahan adalah penggantian materi tekstual dalam bahasa tertentu
dengan materi tekstual yang padan dalam bahasa lain (the replacement of
tekstual material in one language by equivalent textual material in another
language).
Sedangkan Nida
dan Taber mendefinisikan penerjemahan sebagai usaha mencipta kembali pesan
dalam bahasa sumber (Bsu) ke dalam bahasa sasaran (Bsa) dengan padanan alami
yang sedekat mungkin, baik dalam hal makna, maupun gaya bahasanya (translation
consist of reproducing in the receptor language the closed natural equivalent
of the sources language message, fisrt in terms of meaning and secondly in term
of style).
Sementara itu,
Wolfram Wilss seperti dikutip Toto mengemukakan bahwa penerjemahan adalah suatu
proses transfer yang bertujuan untuk menyampaikan teks tertulis dalam Bsu ke
dalam teks Bsa yang optimal padan, dan memerlukan pemahaman sintaksis,
semantic, dan pragmatic, serta proses analisis terhadap Bsu.[4]
Dan,
Hidayatullah mendefinisikan penerjemahan sebagai “proses memindahkan makna yang
telah diungkapkan dalam bahasa yang satu (bahasa sumber [Bsu]; source language
[SL]; al-lughah al-mutarjam minha) menjadi
ekuivalen yang sedekat-dekatnya dan sewajar-wajarnya dalam bahasa yang lain
(bahasa sasaran [Bsa]; target language [TL]; al-lughah al-mutarjam
ilaiha).” Jadi, yang menjadi focus pemindahan di sini adalah pesan teks
Bsu ke Bsa, bukan pemindahan strukur Bsu
ke Bsa.[5]
2.
Proses
dan langkah-langkah penerjemahan
Secara singkat
proses penerjemahan terlihat dalam segitiga proses penerjemahan berikut:[6]
![]() |
Pemadanan
Bsa pada gambar di atas merupakan hasil dari olah intelektual atas apa yang
dilihat (teks) dan apa yang didengar, yang dibantu oleh aspek gramatikal
melalui perangkat morfologis dan sintaksis yang melekat pada Tsu.
Implikatur merupakan maksud yang
dihasilkan dari ketajaman menangkap aspek semantic (makna) dan pragmatic yang
sangat dipengaruhi oleh pemahamna terhadap teks dan implikasi kontekstualnya.
Sementara itu, pemadanan Bsa merupakan pengalihan aspek tekstual dan
kontekstual dari Tsu ke Tsa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk bisa
menerjemahkan, seorang penerjemah harus benar-benar memahami Tsu. Jadi, seorang
yang tidak memahami Tsu, tidak akan dapat menerjemahkan dengan akurat.
Untuk
mendapatkan pemahaman, implikatur dan pemadanan yang tepat, penerjemah dapat
mengikuti langkah dalam penerjemahan, yang terlihat dalam bagan berikut:[7]

Bagan di atas
dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) pendalaman berarti menjajagi bahan yang
akan ditejemahkan dengan membacanya secara berulang-ulang, sesuai kebutuhan;
(2) penganalisisan berarti mengurai satuan-satuan kalimat dan unsure-unsur
dalam bagian teks yang lebih besar; (3) pemahaman berarti memahami isi dan bentuk dalam bahasa sumber; (4)
pendiksian berarti mencari istilah dan ungkapan dalam Bsa yang tepat, cermat
dan selaras, (5) pengolahan berarti menyusun komponen-komponen makna yang selaras
dengan norma-norma dalam bahasa sasaran; ( 6) pengecekan berarti memeriksa kesalahan-kesalahan
yang mungkin terjadi pada penulisan kata, pemakaian tanda baca, dan susunan
kalimatnya; (7) pendiskusian berarti mendiskusikan hasil terjemahannya, baik
menyangkut isi maupun menyangkut bahsanya, kepada ahli Tsu dan penerjemah
senior.
3.
Unsure
linguistis dan non linguistis dalam penerjemahan
Untuk dapat
menerjemahkan dengan baik seorang penerjemah harus menguasai pengetahuan
terkait dua unsur dalam penerjemahan; unsur lingusitik dan dan unsur non
linguistik[8]
Unsur
linguistic berkaitan dengan aspek kebahasaan dalam penerjemahan sedangkan unsur
non linguistic berkaitan dengan aspek luar bahasa yang diperlukan pada saat
menerjemahkan.
Unsure linguistic dalam penerjemahan meliputi;
a.
Makna
kamus
Unsure
ini terkait dengan konsep kata dan kosa kata; bahasa yang merupakan kumpulan
kosakata; dan memilih makna kosakata, apakah itu makna kamus, makna tekstual,
dan makna konotatif.
b.
Makna
morfologis
Unsure
ini terkait dengan bentuk, struktur, dan pola kata. Unsure ini dalam bahasa
Arab bisa dilihat pada kasus fi’il tsulatsti, fi’il ruba’I, tashrif lughawi,
tashrif istilahi, tambahan huruf seperti pada kasusu ta’diyyah, muthawa’ah,
musyarakah, dan jenis-jenis isim: isim fai’l, isim maf’ul,
isim tafdhil, , sighah mubalaghah, mufrad, mutsanna,
jama’, nakirah, ma’rifah dan juga kata tugas (harf).
c.
Makna
sintaksis
Unsure
ini terkait dengan posisi ism dalam kalimat yang mempunyai I’rab. Seorang penerjemah
harus jeli dalam menetukan posisi I’rab (jabatan kata) saat berhadapan dengan
sebuah teks apakah sebagai; mubtada, khabar, maf’ul bih awaal, maf’ul bih
tsani, tarkib idhafi, tarkib washfi, taukid, dan yang lain. Makna sintaksis
juga berhubungan dengan jumlah fi’liyyah dan jumlah ismiyyah.
d.
Makna
retoris
Unsure ini
terkait dengan majaz (metafora), alegori, idiom, ijaz, ithnab, taysbih,
kinayah, sehingga penerjemah dapat mengalihbahasakan pesan dan ide yang
tersembunyi di balik retorika penulis Tsu.
Adapun unsure
non linguistic dalsm penerjemahan meliputi:[9]
a.
Menguasai
pengetahuan yang melatarbelakangi sebuah topic yang akan diterjemahkan
b.
Konteks
c.
Konotasi,
4.
Perbedaan
bahasa Arab dan bahasa Indonesia
Terdapat beberapa
perbedaan antara bahasa Arab dan bahasa Indonesia yang perlu diperhatikan dalam
proses penerjemahan. Di anatarnya
sebagai berikut[10]:
a.
Bahasa
Arab menegenal genus, baik dalam verba maupun dalam nomina, bahkan pronominal.
Di samping harus ada kesesuaian antara
genus verba, nomina, dan pronominal pada saat sudah dalam bentuk konstruksi
frasa atau klausa.. contoh:
أسلمت الإنجليزية
Wanita
Inggris itu memeluk agama Islam
b.
Pola
dasar kalimat bahasa Arab adalah P (V) +
S (N) seperti: Hasan
akan menikah tahun depan. Kalimat “Hasan
akan menikah tahun depan” adalah kalimat
berita. Jika nomiina (subjek) di dahulukan, maka kalimat itu bertujuan
member penekanana atau menegaskan
bahwa Hasan lah yang akan menikah tahun
depan, dan bukan Hasyim atau yang lain. Ini berbeda dengan bahasa Indonesia
yang mempunya pola dasar kalimat S (N) +
P (N/V).
c.
Objek
verba dapat diselingi unsure lain, seperti:
وأثار رفض الرئيس اختصار جزلته الخارجية
أثناء حوادث عنف أوقعت 500 قتيل انتقادات حادة
Keengganan
presiden untum mempersingkat lawatannya ke luar negeri di tengah-tengah tindak
kekerasan yang menelan 500 korban, menimbulakn kritik pedas.
Objek dari
verba atsaara adala intiqaadaat yang lokasinya dipisahkan oleh beberapa kata
yang lain. Dan, hal seperti ini tidak berlaku dalam bahasa Indonesia.
d.
Seringkali
partikel dalam bahasa Arab merupakan bagian dari idiom verba berpreposisi yang
menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam proses penerjemahan,
seperti:
رغب الرجل عن الصغائر فضلا عن
الكبائر
Lelaki
itu tidak menyukai dosa kecil, apalagi dosa besar.
Preposisi ‘an ( عن ) merupakan bagian tak terpisahkan dari
verba raghiba, sehingga membentuk makna “tidak menyukai/benci”.
e.
Verba
majhul (berdiatesis pasif) dalam bahasa Arab digunakan jika subjeknya sudah
diketahui sehingga tidak umum memunculkan subjek. Karenanya, dalam bahasa Arab
hanya ada konstruksi seperti berikut.
ويواجه رئيس الجمهورية الذي انتخب في العام
الماضي ضغوطا متزايدة
Presiden
yang terpilih pada tahun lalu mendapat
tekanan terus menerus.
Dalam bahasa Indonesia kita dapat mengatakan, ungkapan “Presiden dipilih
oleh anggota DPR” adalah kalimat pasif yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab akan berubah menjadi kalimat aktif :
انتخب أعضاء مجلس النواب الرجل رئيسا
أو
الرجل انتخبه اعضاء مجلس النواب رئيسا
Dalam kedua kalimat tersebut di atas
verb انتخب muncul dalam bentuk ma’lum
(berdiatesis aktif)
f.
Bahasa Arab mengenal kata ganti
yang lebih kompleks daripada bahasa Indonesia. Kata-kata seperti ,هو، هما، هم، هي هن، أنت نحن أنا أنتم أنتن, tampaknya tidak menimbulkan masalah dalam penerjemahan.
Namun, kata ganti dalam bahasa Arab yang membedakan antara kata ganti untuk
genus genus maskulin dan feminine,
menjadi masalah tersendiri pada saat menerjemhkan. Perbedaan seperti itu tidak
terdapat dalam system bahasa Indonesia. Fenomena ini juga kadang-kadang
menimbulkan kesulitan bagi seorang penerjemah meskipun tidak begitu serius.
Kesulitan akan timbul ketika seorang penerjemah harus menerjemahkan dari bahasa
Arab ke dalam bahasa Indonesia, dan begitupun
sebaliknya.
Masalah serupa juga akan timbul apabila seorang penerjemah harus
menerjemahkan kata (anta/anti) dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia,
karena kata itu mempunya padanan dengan engkau, kamu, anda, saudara, bapak yang
penerapannya ditinjau dari kepantasannya atau status sosial dari lawan
bicaranya. Kata ganti nahnu juga terkadaang menimbulkan masalah, karena kata
ini bisa bermakna “kami” dan kadang bisa
bermakna kita (inklusif), yang disesuaikan dengan konteks.
g.
Persoalan
konjungsi dalam teks bahasa Arab juga merupakan kesulitan tersendiri saaat
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Konjungsi seperti (و – أو ) seringkali luput luput dari perhatian penerjemah pemula. Dua
konjungsi itu lebih sering dipadankan dengan koma (,). Bahkan, tidak jarang
konjugnsi wa tidak diterjemahkan bila berada di awal kalimat. Hal yang
sama berlaku untuk kasus Inna. Kasus seperti ini tidak ditemui dalam bahasa
Indonesia.
h.
Persoalan
partikel juga menjadi hal yang menuntut kepekaan tersendiri bagi seorang penerjemah
arab –Indonesia. Partikel seperti min (من ) ,
selain bermakna dari juga terkadang berfungsi sebagai penjelas (bayaniyyah).
Dalam hal ini, partikel tersebut berpadanan zero (tak terjemahkan). Dalam kasus
yang lain, min bermakna ‘salah satu’ (tab’idh). Hal yang sama
juga dialami oleh ‘ala yang selain mempunyai makna (di) atas, juga
bermakna meskipun, betapapun. Kasus seperti ini tidak ditemui dalam bahasa
Indonesia.
i.
Masalah
ketakrifan juga menjadi hal yang harus diperhatikan oleh penerjemah. Pemarkah
ketakrifan dalam bahasa Arab adalah al (ال),
sementara dalam bahasa Indonesia dimarkahi dengan ini dan itu.
Pemarkah itu dipergunakan untuk mengacu ke nomina yang telah disebutkan
sebelumnya, sementara pemarkah ini dipergunakan untuk mengacu ke nomina
yang sedang dan akan dibicarakan. Hanya yang perlu diperhatikan, tidak semua
kata dalam bahasa Arab yang dimarkahi dengan al bisa diterjemahkan dengan ini
atau itu. Sebagaian al yang tidak perlu diterjemhakan dengan ini dan itu antara
lain seperti al yang menyandang nama diri, seperti al madinah yang
cukup diterjemahkan dengan madinah (bukan madinah ini), atau البخاري yang diterjemahkan dengan Al Bukhori (bukan Bukhori ini).
j.
Bahasa
Arab mengenal dual (mutsana) yang gramatikal (bukan leksikal)
pada verba, sementara bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk dual seperti itu,
seperti pada kata yaktubani. Keteika menerjemahkan teks Arab ke bahasa
Indonesia, biasanya seorang penerjemah tidak mengalami kesulitan. Namun,
masalah baru muncul bila ia menerjemahkan teks Indonesia ke Arab.
k.
Bahasa
Arab mengenal pronominal relative
(isim maushul) yang lebih komplek daripada bahasa Indonesia.
Pronominal relative dalam bahasa Arab ada enam: (
الذي ، اللذان ، الذين ، التي ، اللتان ، اللاتي ، , sementara dalam
bahasa Indonesia hanya satu : yang.
Ketika menerjemahkan teks Arab ke bahasa
Indonesia, biasanya seorangpenerjemah tidak mengalami kesulitan. Namun, masalah
baru muncul bila ia menerjemahkan teks Indonesia ke Arab.
l.
Bahasa Arab mengenal nomina demonstrative (ism
al-isyarah) yang lebih komplek daripada bahasa Indonesia. Nomina relative
dalam bahasa Arab : هذه – هذا – ذلك – تلك – هذان –
هاتان –هؤلاء - أولئك…, )sementara dalam bahasa Indonesia hanya
mengenal ini dan itu. Ketika menerjemahkan teks Arab ke bahasa Indonesia,
biasanya seorang penerjemah tidak mengalami
kesulitan. Namun, masalah baru muncul bila ia menerjemahkan teks Indonesia ke
Arab.
m.
Keterangan
(adverbia) dalam bahasa Arab, bisa berupa hâl dan bisa juga
berupa zharf. Yang membedakan adalah adverbial dalam bahasa Arab
merupakan perluasaan unsure kalimat, yang dalam hal ini unsure kalimat itu
harus verba. Sementara itu, adverbial dalam bahasa indoensia bisa menjadi
perluasan unsure kalimat baik itu verba maupun nomina, bahkan adjektifa. Ketika
menerjemahkan teks Arab ke bahasa
Indonesia, biasanya seorang penerjemah tidak mengalami kesulitan. Namun
masalah baru muncul; bila ia menerjemhkan teks Indonesia ke bahas Arab.
5.
Strategi
penerjemahan Arab-Indonesia pada penerjemahan Arab
Ada beberapa
strategi yang bisa dimanfaatkan oleh seorang penerjemah saat menghadapi Tsu. Strategi ini sangat diperlukan saat
penerjemah menemukan kasus dalam Tsu. Dalam Tsu bahasa Arab, strategi berikut
bisa dimanfaatkan saat menerjemahkan[11]:
a.
Mengedepankan dan mengakhirkan:
قد – حدد- الإسلام – التعدد -
بالزواد
1 2 3 4
5-6
Islam
telah membatasi poligami
3 1 2 4-5-6
b.
Membuang
في – يوم - من -الأيام -
ذهب -أحمد – لزيارة – أمه
1 2 3
4 5 6
7-8 9-10
Suatu
hari, Ahmad (pergi) mengunjungi ibunya
1-2 6 5 8 9-10
c.
Menambahkan
فهم – القرأن – أمر – مهم
1 2 3
4
Memahami
Al Quran merupakan hal yang penting
1 2 T (+) 3
T 4
d.
Mengganti
يوزع - مجانا - و- لا يباع
1 2 3
4-5
Gratis
atau tidak diperjualbelikan
1 1 2
6.
Aspek
budaya dalam penerjemahan Arab –Indonesia
Aspek budaya
adalah hal-hal yang terkait dengan persoalan budaya yang mempengaruhi hasil
kerja penerjemahan dalam menentukan pilihan makna yang tepat. Ada 11 aspek
budaya yang harus diperhatikan saat hendak menerjemahkan, yaitu (1)perangkat
mental (2)ungkapan stereotip (3) peristiwa budaya, (4) bangunan tradisional (5)
kekerabatan (6) ‘amiyah fusha (7) idiom (8) ekologi (9)budaya material,
(10) konsep agama, (11) isyarat dan kebiasaan[12].
Dalam makalah ini akan dicontohkan yang terakhir saja yakni isyarat dan
kebiasaan. Misalnya pada ayat yang berbunyi:
و لا تجعل يدك مغلولة إلي عنوقك ولا تبسطها
كل البسط فتقعد ملوما محسورا
Janganlah kamu
jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu
mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal (QS. Al-Isra [17]: 29).
“Tangan terbelenggu pada
leher” adalah symbol kikir yang bersumber pada isyarat tangan yang dikenal
dalam bangsa Arab. Simbol seperti ini ternyata tidak dikenali dalam budaya
bahasa Indonesia.
7.
Metode
penerjemahan Arab-Indoensia
Menurut Newmark
seperti dikutip Hidayatullah ada 8 (delapan) metode penerejemahan[13].
a.
Penerjemehan
kata demi kata
Penerjemahan
model ini dilakukan dengan meletakan padanan kata (Tsa) di bawah kata yang
diterjemahkan (Tsu) secara langsung. Metode ini berguna bagi para pemula yang
yang belum mengetahui Tsu dengan baik,
sedangkan bagi penerjemah ahli, metode ini digunakan untuk pra penerjemahan
(analisis dan tahap pengalihan) untuk Tsu yang sukar difahami. Dengan metode
seperti ini kata-kata dalam Tsu diterjemahkan tanpa memperhatikan
konteksnya. Contoh:
و عندي ثلاثة كتب
1
2-3 4 5
Klausa tersebut bila diterjemahkan dengan metode ini
maka hasil terjemahannya akan menjadi sebagaia berikut:
Dan di sisiku tiga buku-buku
1 2/3 4 5
Tampak jelas dari
contoh di atas bahwa metode ini memang tidak mempertimbangkan dan memperhatikan
apakah karya terjemahan yang dihasilkan terasa janggal atau tidak bagi penutur
Bsa. Klausa di atas akan lebih berterima
jika, diterjemahkan saya punya tiga buku.
b.
Penerjemehan
harfiah
Dalama metode
ini yang menjadi focus adalah mencari padanan gramatikal Tsu yang terdekat
kepada Tsa. Penerjemahan ini juga belum memperhatikan konteks kalimat. Biasanya
digunakan untuk tahap awal (pengalihan). Contoh:
جاء رجل من رجال البر والإحسان إلي يوغياكرتا
لمساعدة ضحايا الزلزال
Telah datang seorang lelaki baik ke Yogyakarta untuk
membantu korban-korban goncangan.
Terjemahan di atas hanya memperhatikan padanan konstruksi gramatikal,
tetapi masih melepaskannya dari konteks. Berdasarkan konteksnya orang lelaki
baik yang sukarela terlibat dalam usaha membantu korban bencana disebut
relawan. Oleh karena nya ungkapan di atas akan terasa lebih pas jika
diterjemahkan : Seorang relawan datang ke Yogyakjarta untuk membantu korban
gempa.
c.
Penerjemahan
setia
Metode ini
menuntut penerjemah mereproduksi makna kontekstual, tetapi masih dibatasi oleh
struktur gramatikalnya. Kata-kata yang bermuatan budaya dialihbahasakan, tetapi
penyimpangan dari segi tatabahasa dan diksi masih tetap dibiarkan. Ia berpegang
teguh pada maksud dan tujuan Tsu, sehingga agak kaku dan terasa asing. Ia tidak
berkompromi dengan kaidah Tsa. Metode ini biasanya digunakan pada tahap awal
pengalihan. Contoh:
هو كثير الرماد
Dia
(lk.) dermawan karena banyak abunya.
Makna kontekstual katsir al-ramad adalah dermawan. Tetapi
penerjemah masih menampakan arti dari struktur gramatikalnya. Ia masih
menambahkan ungkapan, karena banyak abunya.
d.
Penerjemahan
semantic
Metode ini
lebih luwes dan fleksibel daripada metode penerjemahan setia. Dalam hal ini
unsure estetika dan pesan Tsu di akomodir selama masih dalam batas wajar. Kata yang hanya sedikit bermuatan budaya
diterjemahkan dengan kata yang netral atau istilah fungsional.
رأيت ذا الوجهين أمام الفصل
Saya
lihat si muka dua di depan kelas
Terjemahan di
atas terlihat memakai metode ini, karena kata (dza al wajhain) tidak
diterjemahkan dengan yang memiliki dua muka melainkan dengan si muka
dua, yang popular dalam masyarakat Tsa.
Meskipun frasa dza al wajhain
secara idiomatic dapat juga diterjemahkan dengan si munafik. Metode
seperti ini menurut para ahli dibenarkan karena menjamin keteralihan pesan
dengan baik
e.
Penerjemahan
adaptasi
Saat menerjemahkan dengan metode ini yang menjadi focus adalah
bukan keteralihan struktur melainkan bagaimana hasil terjemahnya dapat dipahami
dengan baik oleh masyarakat pengguna
Bsa. Karenanya metode ini dianggap sebagai metode paling bebas dan paling dekat
dengan Tsa. Namun demikian penerjemah tidak mengorbankan begitu saja hal-hal
penting dalam Tsu, seperti tema, karakter atau alur. Metode ini biasanya
dipergunakan dalam menerjemahkan drama, puisi, atau film. Cirri lain dari
metode ini adalah terjadinya peralihan budaya Tsu ke budaya Tsa. Dengan kata
lain, ada penyesuaian kebudayaan dan struktur kebahasaan. Contoh:
عاشت بعيدا حيث لا تخطو قدم
عند الينابيع بأعلى النهار
Dia
hidup jauh dari jangkauan
Di
atas gemericik air sungai yang terdengar jernih
Terlihat ada upaya melepaskan diri dari kungkungan struktur
gramatika Tsu dalam terjemah di atas, meskipun struktur maknanya masih
dipertahankan. Si penerjemah ingin menampilkan Tsu secara dinamis mengikuti
perkembangan pemaknaan pada Tsa. Jika tetap mempertahankan struktur Tsu,
ungkapan di atas bisa jadi akan diterjemahkan sebagai berikut:
Dia hidup jauh sehingga kaki tidak bisa
menjangkaunya
Pada
mata air di bagian sungai paling atas.
f.
Penerjemahan
bebas
Metode penerjemahan
ini lebih mengutamakan isi dan mengorbankan bentuk teks Bsu. Oleh karenanya
struktur luar Tsu dan Tsa terjadi perubahan yang drastic. Penerjemahan dengan
metode ini berbentuk paraphrase yang bisa lebih panjang atau lebih pendek dari
teks asalnya. Metode ini sering dipergunakan untuk keperluan media massa atau
untuk penerjemahan sebuah judul karangan agar lebih bernilai jual (menarik). Melihat
sifatnya yang demikian, banyak ahli yang meragukan metode ini termasuk ke dalam
salah satu metode penerjemahan. Contoh:
في أن المال أصل عظيم من أصول الفساد لحياة الناس أجمعين
Harta
sumber malapetaka
Penerjemahan
teks di atas terlihat jelas jauh lebih pendek dari teks asalnya. Di samping
juga mengabaikan struktur dan makna Tsu, penerjemah memunculkan perspektif
sendiri , tanpa menghilangkan pesan yang hendak disamaaikan penulis Tsu. Jika
teks di atas diterjemahkan secara lengkap, bisa jadi akan berbunyi, bahwa harta sumber terbesar
kehancuran bagi kehidupan umat manusia.
g.
Penerjemahan
idomatik
Metode ini
ingin menghadirkan pesan yang akrab di hadapan pembaca Bsa dari sebuah teks
Bsu. Untuk tujuan tersebut, bisa jadi akan memunculkan distorsi makna, namun
akan terasa lebih hidup dan lebih nyaman bagi masyarakat pengguna Bsa. Contoh:
وما
اللذة إلا بعد التعب
Berakit-rakit
ke hulu, berenang ke tepian.
Penerjemahan di atas adalah pengalihan idiom dari Bsu ke idiom Bsa
yang mengandung makna sama. Tanpa memperhatikan aspek idiomatic pada Tsu, maka
teks di atas akan diterjemahkan, misalnya: setiap kenikmatan itu hanya bisa
diraih setelah lelah bekerja. Metode ini murut para ahli termasuk metode
yang diterima dalam penerjemahan karena menjamin keteralihan pesan dan ide pada
Tsu.
h.
Penerjemahan
komunikatif
Metode ini
menuntut penerjemah untuk mereproduksi ungkapan yang paling tepat terhadap
siapa yang akan membaca hasil terjemahnya. Tujuannya agar lebih komunikatif dan
sebuah terjemahan dapat dengan mudah difahami. Oleh karena itu penerjemahan
dengan metode ini harus memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi. Contoh:
نتطور من نطفة ثم من علقة ثم مت مضغة
Kita
tumbuh dari mani, lalu segumpal darah, dan kemudian segumpal daging (untuk orang awam).
Kita
berproses dari sperma, lalu zigot, dan kemudian embrio (untuk kalangan terpelajar).
Tsu di atas
dapat diterjemahkan dalam dua versi, disesuaikan dengan siapa target pembaca
dan untuk tujuan apa sebuah Tsu diterjemahkan. Pesan yang sama selalu dapat
disampaikan dalam versi berbeda. Metode ini juga salah satu metode yang
disarankan para ahli.
8.
Kesalahan
umum
Mu’min menyebut beberapa kesalahan umum yang dilakukan oleh seorang
penerjemah, terutama yang pemula. Meskipun ia mendasarkan kajiannya pada kasus
penerjemahan Arab-Inggris, namun kesalahan itu juga ditemukan dalam kasus
penerjemahan Arab-Indonesia. Berikut kesalahan umum yang kerap muncul terutama
dalam kasus penerjemahan Arab-Indonesia.[14]
a.
Kesalahan
yang berhubungan dengan kepenguasaan terhadap topic Tsu. Ini akan berakibat
fatal pada pesan yang dialihkan ke dalam Tsa. Karena, bisa jadi pesan yang
disampaikannya bukan pesan yang hendak disampaikan penulis Tsu. Oleh karenanya,
penerjemah harus memahami topic Tsu yang hendak diterjemahkannya. Minimal, ia
harus membaca Tsu secara tuntas dan cermat.
b.
Kesalahan
yang berhubungan dengan konotasi. Padahal, konotasi bisa memberikan kelengkapan
informasi pada pesan yang sebetulnya hendak disampaikan oleh penulis Tsu. Konotasi
ini bisa dipelajari dengan mengkaji aspek budaya pada Bsu atau bisa juga
dibantu oleh ensiklopedia dan kamus yang memadai.
c.
Kesalahan
yang berhubungan dengan persoalan idiom dalam Tsu. Penerjemah dituntut peka
dalam mengenali idom yang ada di Tsu, karena idiom tidak dimarkahi penanda
linguistic. Idiom hanya bisa dikenali dengan rasa bahasa yang harus dimiliki
oleh penerjemah. Kepekaan itulah yang harus mendorongnya untuk segera membuka
kamus idiom di saat ia menemukan
kejanggalan pada pemaknaan Tsu yang ada di hadapannya.
d.
Kesalahan
yang berhubungan dengan makna figurative. Untuk menghindari hal ini, seorang
penerjemah harus membekali diri dengan kepenguasaan terhadap stilistika dan
pragmatic Tsu.
e.
Kesalahan
yang berhubungan dengan pemilihan diksi. Ini biasanya bisa diselesaikan dengan
mencermati konteks dari kata. Untuk memaksimalkan upaya ini, seorang penerjemah
bisa mendiskusikannya dengan orang yang dianggap memiliki wawasan terkait
konteks dimaksud.
f.
Kesalahan
yang berhubungan dengan penerjemahan nama diri, peristiwa sejarah, dan kata
kata asing. Kesalahan ini bisa dihindari bila penerjemah mempunyai wawasan cukup luas, yang mutlak juga meniscayakannnya
untuk memilih kamus, ensiklopedia, dan
akses terhadap mesin pencari di internet, yang mungkin akan membantunya dalam
memecahkan kesulitannya itu.
g.
Kesalahan
yang berhubungan dengan singkatan atau akronim. Terkait dengan Tsu yang
berbahasa Arab, singkatan atau akronim bisa dikatakan sangat minim. Namun, justru di sinilah masalahnya.
Penerjemah yang berbahasa Indonesia, akan mendapati kesulitan untuk mengenali
suatu konstruksi itu bisa disingkat atau
tidak. Bila dipastikan termasuk konstruksi itu bisa disingkat, ia harus tahu
bagaimana cara memnyingkatnya yang lazim. Contoh konstruksi al umam al
muttahidah. Bila penerjemah tidak memiliki wawasan terkait konstruksi tersebut, bisa saja menerjemahkannya menjadi bangsa-bangsa
yang bersatu atau umat-umat yang bersatu. Padahal, konstruksi itu
bermakna persatuan bangsa-bangsa yang
biasa disingkat dengan PBB dalam bahasa Indonesia dan UN dalam bahasa Inggris.
h.
Kesalahan
yang berhubungan dengan kecerobohan. Penerjemah yang tidak mengecek kembali
hasil terjemahannya, akan mendapati banyak kesalahan, baik makna maupun
struktur gramatika, di kemudian hari. Minimal, ia harus membaca satu atau dua
kali hasil awal terjemahannya.
i.
Kesalahan
yang berhubungan dengan kekakuan dalam memandang Tsu. Penerjemah yang baik akan
berusaha menangkap pesan yang tersimpan
di balik Tsu, tanpa harus terikat oleh struktur teks sumber. Kekakuan dalam
memandang Tsu akan hilang dengan
sendirinya bila yang bersangkutan mau terus
berlatih dan berdiskusi dengan penerjemah yang sudah ahli.
Kesalahan yang
berhubungan dengan kata tugas, konjungsi, dan partikel. Sering kali penerjemah
hanya menerjemahkan harf sesuai dengan makna
yang dikenali secara umum, padahal makna harf lebih sering
bergantung pada konteks.
C.
Kesimpulan
Ada beberapa poin sebagai kesimpulan dari diskusi ini, antar lain;
1.
Bahasa
Arab memiliki banyak perbedaan dengan
bahasa Indonesia
2.
Penguasaan
aspek lingusitik dalam penerjemahan baik meliputi kosakata, nahwu dan shorof
belum menjamin seseorang dapat memahami wacana bahasa Arab dengan baik. Namun
demikian, penguasaan nahwu dan shorof menjadi syarat penting untuk dapat
memahami wacana bahasa Arab dengan baik, di samping pengetahuan aspek non
linguistic yang terkait budaya bahasa Arab.
3.
Syarat
utama penerjemah Arab–Indonesia adalah mampu memahami bahasa Arab dengan baik.
Tanpa kemampuan ini mustahil menghasilkan terjemahan yang baik.
4.
Setelah
memiliki kemampuan memahamai bahasa Arab dengan baik penerjemah harus membekali
diri dengan penguasaan bahasa sasaran agar terjemahannya terasa alami.
D.
Daftar
pustaka
Darmo,Toto Edi Distorsi
Makna Dalam Terjemah Kitab Riyadhah Al-Nafs Karya Al
Ghazali
Dari Edisi Inggris (Book Of Disciplining The Soul), Jakarta: Tesis
PPS
UIN syarif Hidayatullah 2007
Poerwadarminta,
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka,1984
Hidayatullah, Moh. Syarif, Tarjim al-An: Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia,
Jakarta: Dikara, cet. Ke-1, 2010
[1]
Toto Edi Darmo, Distorsi Makna Dalam Terjemah Kitab Riyadhah Al-Nafs Karya
Al Ghazali Dari Edisi Inggris (Book Of Disciplining The Soul), (Jakarta: Tesis
PPS UIN syarif Hidayatullah), hal.2.
[2]
Toto Edi Darmo, Distorsi Makna Dalam Terjemah Kitab Riyadhah Al-Nafs Karya
Al Ghazali Dari Edisi Inggris (Book Of Disciplining The Soul), (Jakarta:
Tesis PPS UIN syarif Hidayatullah), hal. 16
Sedangkan,
menurut Muhammad Enani, kata ini mencakup semua
hal yang terkait dengan penerjemahan, misalnya proses penerjemahan (‘Amaliayyah
al-tarjamah) dan teks yang diterjemahkan (al-nashsh
al-mutarjam).
[3]
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,1984),
h.1062
[4]
Toto Edi Darmo, Distorsi Makna Dalam Terjemah Kitab Riyadhah Al-Nafs Karya
Al Ghazali Dari Edisi Inggris (Book Of Disciplining The Soul), (Jakarta:
Tesis PPS UIN syarif Hidayatullah), hal.2.
[5]
Moh. Syarif Hidayatullah, Tarjim al- An: Cara Mudah Menerjemahkan
Arab-Indonesia, (Jakarta: Dikara, 2010), cet. Ke-1, hal13
[6]
Moh. Syarif Hidayatullah, Tarjim al- An: Cara Mudah Menerjemahkan
Arab-Indonesia, (Jakarta: Dikara, 2010), cet. Ke-1, hal14
[7]
Moh. Syarif Hidayatullah, Tarjim al- An: Cara Mudah Menerjemahkan
Arab-Indonesia, (Jakarta: Dikara, 2010), cet. Ke-1, hal.15.
[7]
[8]
Moh. Syarif Hidayatullah, Tarjim al- An: Cara Mudah Menerjemahkan
Arab-Indonesia, (Jakarta: Dikara, 2010), cet. Ke-1, hal17[8]
[9]
Moh. Syarif Hidayatullah, Tarjim al- An: Cara Mudah Menerjemahkan
Arab-Indonesia, (Jakarta: Dikara, 2010), cet. Ke-1, hal.18.
[10]
Moh. Syarif Hidayatullah, Tarjim al- An: Cara Mudah Menerjemahkan
Arab-Indonesia, (Jakarta: Dikara, 2010), cet. Ke-1, hal.23
[10]
[11]
Moh. Syarif Hidayatullah, Tarjim al- An: Cara Mudah Menerjemahkan
Arab-Indonesia, (Jakarta: Dikara, 2010), cet. Ke-1, hal.29.
[12]
Moh. Syarif Hidayatullah, Tarjim al- An: Cara Mudah Menerjemahkan
Arab-Indonesia, (Jakarta: Dikara, 2010), cet. Ke-1, hal. 45.
[13]
Moh. Syarif Hidayatullah, Tarjim al- An: Cara Mudah Menerjemahkan
Arab-Indonesia, (Jakarta: Dikara, 2010), cet. Ke-1, hal. 31.
[14] Moh. Syarif Hidayatullah, Tarjim al- An:
Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia, (Jakarta: Dikara, 2010), cet.
Ke-1, hal. 27.
No comments:
Post a Comment