Tuesday 17 October 2017

"GLOBALISASI MENGARAH KE REKOLONISASI"

"GLOBALISASI MENGARAH KE REKOLONISASI" Catatan tahunan IGJ (Institute for Global Justice) mencoba menengok isu-isu substansial yang terjadi di tahun 2002 dan arah kecenderungan isu-isu tersebut di tahun 2003. IGJ adalah lembaga independen yang memfokuskan pada isu-isu perdagangan bebas dan globalisasi, khususnya WTO (World Trade Organization), yang saat ini akan sangat menentukan arah masa depan bangsa dan rakyat Indonesia. Bahkan bisa dikatakan, kelengahan kita dalam menghadapi globalisasi dan era perdagangan bebas akan dibayar mahal sekali oleh bangsa Indonesia, yaitu terpuruk menjadi bangsa kuli dan pengemis selamanya. Dua skenario pilihan yang pernah dilontarkan, apakah akan menjadi seperti Cina dan Korea Selatan di Asia Timur, atau menjadi seperti Bangladesh dan Pakistan di Asia Selatan? Bila lengah dan lemah, sudah bisa dipastikan Indonesia akan tergelincir menjadi Bangladesh/Pakistan berikutnya. Tahun 2002 yang baru lewat telah memberikan beberapa contoh betapa era perdagangan bebas yang telah kita masuki sejak dimulainya WTO 1 Januari 1995 dan dimulainya AFTA sejak 1 Januari 2002, telah mulai memberi dampak substansial. Terlebih lagi liberalisasi pasar bebas lewat paket program IMF semenjak 14 Agustus 1997, telah menenggelamkan sistem ekonomi, sosial dan politik Indonesia ke dalam bencana pasar bebas yang buas dan tak mengenal rasa kasihan. Tahun 2002 adalah TAHUN EKSPANSI KEKUATAN GLOBAL. Di dalamnya terjadi tarik menarik antara kekuatan global dengan kekuatan lokal dan nasional. Meskipun tahun 2002 ada yang mengatakannya sebagai tahun ke arah jalur pemulihan ekonomi, tetapi di sisi lain sebenarnya dibayangi ancaman kekuatan global yang berkeinginan menguasai perekonomian nasional. Terjadi tarik-menarik dan tolak-menolak dalam situasi transisi reformasi politik yang belum selesai, yang melibatkan berbagai pihak dengan beragam kepentingan. Ini yang direfleksikan di penghuyung akhir tahun lewat tiga kasus utama: privatisasi Indosat, R&D (release and discharge), dan kenaikan tarif BBM, listrik dan telpon. Tiga kasus ini mencerminkan gerak geliat proses globalisasi di Indonesia sepanjang tahun 2002. Secara substansial, beberapa catatan pokok atas isu globalisasi dan perdagangan bebas sepanjang tahun 2002 adalah sebagai berikut : 1. Privatisasi Neo-Liberal Isu privatisasi kembali panas di akhir tahun 2002 ini karena kasus privatisasi PT Indosat, terutama setelah perang kata-kata terbuka antara Menteri BUMN Laksamana Sukardi dengan Ketua MPR Amien Rais. Ini kembali menghangatkan kontroversi tentang program privatisasi semenjak kasus Semen Padang dan Semen Gresik. Nyatanya privatisasi PT Indosat merupakan penguasaan monopolistik perusahaan BUMN Singapura, Temasek, atas sektor telekomunikasi Indonesia, dan sudah tentu hal itu mengusik rasa nasionalisme, keadilan ekonomi dan sensitivitas atas penguasaan sektor publik yang strategis. Belum lagi bila bicara mengenai strategi ekonomi masa depan yang bercirikan ekonomi digital dan era informasi. Terutama keberatan utama adalah pada program privatisasi itu sendiri, yang hanya untuk keperluan pembayaran utang dan defisit fiskal. Privatisasi mengandung dua hal: pertama, konversi monopoli kepada swasta asing; dan kedua, potensi korupsi dan kerugian negara. Privatisasi juga adalah bagian dari strategi neo-liberalisme, yang menghendaki penghapusan BUMN dan dominasi TNC (Trans-National Corporation). Hal ini sangat bertentangan dengan kepentingan nasional. 2. Globalisasi tenaga kerja/buruh yang 'amburadul' Tahun 2002 memperlihatkan semakin suramnya tenaga kerja berhadapan dengan globalisasi. Jumlah pengangguran masih tidak berkurang dari 40,2 juta orang, baik itu pengangguran terbuka, setengah pengangguran dan pencari kerja. Pengangguran yang membengkak karena resesi ekonomi berkepanjangan ini, menambah rentannya posisi buruh dalam berhadapan dengan perusahaan. Padahal bila resesi terus berjalan, maka jumlah ini akan terus bertambah 2,5 juta orang setiap tahunnya. Di lain pihak, diusirnya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia secara tidak manusiawi, telah menyebabkan krisis TKI di Nunukan, Kalimantan Timur yang menghebohkan. Hal ini tidak lain karena ini merupakan eksodus tenaga kerja migran besar-besaran sepanjang sejarah ketenagakerjaan Indonesia, yaitu 100.000 orang lebih yang mengakibatkan korban jiwa pula. Kasus Nunukan juga memperlihatkan carut-marutnya dunia tenaga kerja kita dan amburadulnya pihak pemerintah dalam menghargai para pekerja migran yang telah berjasa dalam menyumbang devisa negara. Pekerja migran adalah aspek globalisasi tenaga kerja yang sepatutnya didukung penuh pemerintah sehingga tenaga kerja Indonesia yang berkualitas mampu bermain di pasar tenaga kerja global. Yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu liberalisasi tenaga kerja untuk kepentingan pengusaha, dengan mengabaikan hak-hak tenaga kerja. Pada akhirnya kenyataannya serba buram. Apalagi di akhir tahun terkuak kasus penyekapan puluhan TKW di Tangerang. Isu TKI haruslah menjadi prioritas ke depan. TKI yang berkualitas adalah kepentingan nasional di era globalisasi. 3. Relokasi industri yang seenaknya Hengkangnya PT Primarindo Asia Infrastructure (Reebok), PT Doson Indonesia (Nike), PT Avon Indonesia maupun PT Sony Indonesia di tahun 2002 memperlihatkan betapa modal dapat seenaknya keluar masuk sebuah negara demi mencari keuntungan yang lebih tinggi dari negara yang mampu memberi berbagai kemudahan yang maksimal, termasuk juga menghindar dari adanya gerakan buruh yang kuat. Relokasi telah lama dipakai oleh TNC untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan harga serendah-rendahnya. Relokasi adalah dasar dari globalisasi korporasi dan digunakan untuk memperlemah kemampuan industri nasional dan memperlemah kaum buruh. Dalam relokasi terdapat prinsip fleksibilitas tenaga kerja (labour flexibility) yang semakin menempatkan buruh dalam posisi yang serba lemah berhadapan dengan pengusaha, lewat kerja kontrak jangka pendek, kerja paruh-waktu, pekerja sub-kontrak maupun pekerja rumahan. Globalisasi semakin merusak standar perburuhan dan hak-hak buruh, dan hanya menekankan pada liberalisasi investasi dan pembukaan pasar sebebas-bebasnya. 4. Derasnya import pertanian menghancurkan petani dan pertanian nasional Tahun 2002 menunjukkan banyaknya protes petani ke Istana dan Depperindag, dikarenakan derasnya import komoditas pertanian dari luar, seperti pada kasus petani beras dan petani gula. Ini sebenarnya memperlihatkan kecenderungan dari terus menurunnya kemampuan pertanian Indonesia menghadapi globalisasi. Hal ini ditunjukkan juga oleh posisi neraca perdagangan sektor pertanian yang terus menerus negatif sejak bergabungnya Indonesia di WTO. Data sejak 1996 hingga sekarang menunjukkan bahwa untuk tanaman pangan seperti beras, jagung, gandum, kacang tanah, nilai impornya lebih besar daripada ekspor. Hal ini juga terjadi di sektor peternakan, di mana terjadi neraca negatif atas daging segar dan beku, ternak hidup, serta susu dan produk susu. Di lain pihak kebijakan pertanian Indonesia tidak pernah mengantisipasi dampak buruk yang akan terjadi. Pemerintah masih pro kepada kebijakan agribisnis (yang berarti tidak berpihak kepada petani kecil yang mayoritas) dan tetap menjalankan liberalisasi pertanian, yaitu menyerahkan pertanian kepada mekanisme pasar. Semua-muanya diserahkan kepada pasar bebas, termasuk pengerdilan BULOG sebagai badan pengendali harga dan munculnya dominasi pelaku-pelaku pasar bebas, seperti pedagang dan importir sebagai pengambil keuntungan utama. Dewan Ketahanan Pangan yang dibentuk, juga bersifat pro-pasar dan hanya memperlakukan ketahanan pangan sebagai proyek tambal sulam. Ini nampak dari Kredit Ketahanan Pangan yang juga mengikuti ketentuan bunga komersial. Sementara itu petani Indonesia terus terpuruk dan akan bangkrut karena menghadapi impor pertanian dari luar yang serba murah dan lebih berkualitas. Globalisasi pertanian nyatanya hanya memberikan kehidupan kepada TNC pertanian yang menguasai perdagangan global, para importir, spekulan komoditas, dan pengusaha agribisnis. Kaum petani kecil/menengah dan buruh tani yang mayoritas akan kembali disingkirkan dan dipinggirkan, dan menjalani hidup serba nestapa-miskin. 5. Serbuan import mengakibatkan ambruknya industri nasional Tahun 2002 memperlihatkan bangkrutnya berbagai industri dalam negeri akibat derasnya impor masuk dengan harga lebih murah. Misalnya sekitar 126 perusahaan tekstil di Jawa Barat telah mengalami kebangkrutan dan akhirnya tutup. Juga hal serupa terjadi di Jawa Timur di mana 180 pabrik tekstil ambruk dan kini tinggal 20 saja yang masih bertahan. Masih banyak kasus lain yang serupa, seperti pada industri sepatu, elektronik, dan lainnya. Dengan keadaan ini, semakin jelas bahwa liberalisasi import yang didesakkan oleh IMF dan WTO, merupakan program de-industrialisasi, yang hasil akhirnya adalah matinya program industrialisasi di Indonesia dan ketergantungan sepenuhnya pada industri dari luar. Apalagi sejak disetujuinya perjanjian tarif industrial di WTO dalam konferensi Doha. Hal ini akan memangkas berbagai tarif impor menjadi 0%. Globalisasi industri pada akhirnya akan memfasilitasi derasnya import barang dari luar, dan matinya industri dalam negeri. 6. Dilanjutkannya program 'kejahatan' IMF secara diam-diam Meskipun dokter IMF tidak kunjung mampu menyembuhkan pasiennya setelah lima tahun berjalan, pemerintah tetap juga secara diam-diam melanjutkan operasi IMF hingga 2003. Seharusnya program tersebut telah selesai November 2002 yang lalu, akan tetapi secara diam-diam telah diperpanjang hingga November 2003. Padahal sampai kini tidak ada pemulihan yang berarti yang seharusnya menjadi misi dari IMF, sehingga bisa dikatakan bahwa misi IMF sebenarnya telah gagal. Resesi ekonomi terus berlanjut, dan modal tetap lari keluar. Nilai PMA tahun 2002 malah turun 35% dan PMDN turun 57% dibanding tahun sebelumnya. Ini berlawanan dengan kecenderungan di negara-negara Asia lainnya yang PMA-nya meningkat terus setiap tahun sebagaimana ditunjukkan oleh UNCTAD. Kritik atas IMF terutama bergema setelah Ketua Bappenas/Menteri PPN Kwik Kian Gie melancarkan penentangannya secara terbuka atas keberlanjutan program IMF yang akan mengekalkan program obligasi rekap. Dalam hal ini Kwik dapat dianggap menjadi pahlawan publik karena konsistensinya dalam menyuarakan kepentingan publik berhadapan dengan kepentingan IMF dan kepentingan asing. Ini sama dengan penentangan Kwik atas divestasi BCA maupun Bank Niaga, serta kasus terakhir mengenai R&D yang akan membebaskan obligor besar dari tuntutan hukum. Pemikiran Kwik kemudian dituang dalam tulisannya "Membangun Kekuatan Nasional untuk Kemandirian Bangsa" yang disampaikannya dalam peringatan 100 tahun Bung Hatta tanggal 19 Agustus 2002. Bisa kami katakan bahwa Kwik Kian Gie adalah "Man of the Year 2002". Meskipun di akhir tahun Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjorojakti, karena desakan berbagai pihak, akhirnya menyatakan akan mengakhiri program IMF pada tahun 2003, kita perlu tetap waspada dengan berbagai manuver IMF maupun ekonom-ekonom yang pro-IMF. IMF sesungguhnya adalah penjahat ekonomi karena telah melakukan berbagai mal-praktek ekonomi dan menjerat Indonesia sehingga mempunyai utang sampai ribuan trilyun. 7. Liberalisme dalam Amandemen pasal 33 UUD 1945 dan dalam RUU Tanpa diketahui publik, maka konstitusi-pun kini mulai mengalami proses liberalisasi. Amandemen ke-empat atas UUD 1945 ikut serta merubah pasal 33 UUD 1945, yaitu dalam hal dihapuskannya penjelasan atas pasal 33. Ini mempunyai implikasi luar biasa, karena tidak lagi mencantumkan dasar-dasar keberadaan atau raison d'etre dari pasal tersebut yang bersifat ekonomi kerakyatan (populisme), sehingga akan bisa disalahartikan dalam penerapannya. Demikian pula upaya liberalisasi RUU, dengan membuat berbagai RUU baru di bidang ekonomi yang kental hasrat liberalismenya. RUU Investasi coba ditetapkan atas desakan ADB dan IMF; dan untungnya kini terkatung-katung karena kesulitannya dalam berhadapan dengan otonomi daerah. Demikian pula RUU sumberdaya air yang sangat terkait dengan upaya privatisasi air; maupun RUU Privatisasi. Berbagai RUU ekonomi yang akan disiapkan semuanya patut dicurigai bermuara pada liberalisme ekonomi. Ini tidak lain adalah praktek Neo-liberalisme yang sekarang menjadi mainstream perekonomian Indonesia, meskipun bertentangan dengan kepentingan nasional. 8. Terus menumpuk utang dan mengorbankan anggaran untuk kesejahteraan rakyat Tahun 2002 Jumlah utang resmi pemerintah adalah $ 139 milyar, terdiri dari utang luar negeri pemerintah sebesar $ 72 milyar dan utang swasta sebesar $ 67 milyar. Ini masih ditambah oleh utang domestik sebesar $ 60 milyar. Dengan demikian total utang publik adalah $ 132 milyar, dan utang keseluruhan sebesar $ 199 milyar. Sementara itu pembayaran utang, baik domestik dan luar negeri, menyedot sekitar 45% dari APBN 2002. Ini artinya mengorbankan alokasi anggaran yang seharusnya diperuntukkan bagi kesehatan dan pendidikan, serta pembangunan infrastruktur. Untuk pembayaran obligasi rekap saja (melalui BPPN) berjumlah Rp 412 trilyun, sementara Rp 228 trilyun lewat Bank Indonesia untuk bantuan likuiditas. Semua kebijakan ini dijaga dengan ketat oleh IMF dan Bank Dunia. Bahkan meskipun diprotes oleh Ketua Bappenas Kwik Kian Gie, tetap saja IMF ngotot bahwa Indonesia harus terus membayar utang obligasinya. Di lain pihak pemerintah Indonesia malahan diam saja dan terus tunduk-patuh pada kedua lembaga tersebut. Ini juga dibuktikan lewat dikeluarkannya Keppres No. 124/2001, Keppres No. 8/2002 dan Keppres No. 34/2002 mengenai pembentukan dan pelaksanaan KPK (Komite Penanggulangan Kemiskinan) yang didasarkan pada PRSP (Poverty Reduction Strategy Paper)-nya Bank Dunia dan IMF. Artinya semua strategi pembangunan hanya menurut patuh pada lembaga-lembaga multilateral ini, sambil terus rajin menumpuk utang. Bahkan agar tetap mampu mengambil utang baru, maka kewajiban membayar utang yang lama dijadwalkan kembali (rescheduling). Jadi meskipun sudah tidak mampu bayar, tetap terus menerus menumpuk utang. Sementara utang yang baru lagi-lagi berpotensi bocor disana-sini karena sistem KKN yang masih dilestarikan. 9. Politik kekuasaan dan tekanan di WTO Proses di WTO melanjutkan agenda "Doha Round" (istilah dari negara-negara maju) guna ekspansi liberalisasi global lebih lanjut. Indonesia dalam proses di WTO masih bersikap lemah dan tidak pernah melibatkan publik dalam proses pengambilan kebijakan di tingkat nasional. Berbagai pertemuan dalam Committee on Agriculture maupun Committee on Services, untuk menyebut dua sektor yang paling strategis di WTO, tidak pernah dikomunikasikan kepada konstituensi di dalam negeri. Padahal Desember 2002 adalah jadual penyelesaian penyusunan modalitas ke dua sektor tersebut, sebelum difinalkan pada bulan Maret 2003. Meskipun di tahun 2002 mulai ada usaha dari pemerintah untuk mempunyai posisi yang berbeda dengan posisi negara maju yang dominan. Ini misalnya ditunjukkan oleh posisi Indonesia di Cairns Group (kelompok negara-negara eksportir produk pertanian) yang berbeda dengan lainnya, karena mengajukan pengecualian atas empat komoditas pangan strategis (beras, jagung, kedelai dan gula) dan isu ketahanan pangan (food security). Di lain pihak, posisi dalam sektor jasa masih belum jelas, meskipun sudah ada request dari 35 negara (khususnya Uni-Eropa dan AS) untuk meliberalisasikan sektor jasa di Indonesia seluas-luasnya. Di dalam WTO ini, request bersifat rahasia, padahal isinya mengenai kebijakan publik. Sebuah daftar Request yang bocor dari Uni-Eropa ke berbagai negara, termasuk Indonesia, tertanggal 6 Maret 2002, memperlihatkan daftar yang komprehensif dan terperinci bagi liberalisasi sektor jasa yang hanya dibuat demi keuntungan TNC jasa dan akan menggilas usaha sektor jasa dalam negeri. Keterlambatan dalam mengantisipasi dan lemahnya posisi nasional, akan sangat merugikan sektor jasa Indonesia di masa depan. Globalisasi yang sesungguhnya memanglah yang dibawakan oleh WTO, dan seluruh isinya tidak lain adalah liberalisasi komprehensif di segala sektor dan lini kehidupan ekonomi, dan bahkan juga ilmu pengetahuan (HAKI). Semua kesepakatan sekarang hanya mengacu kepada WTO, yang sebenarnya hanya mengacu kepada kepentingan negara-negara besar saja (G-7 dan OECD). 10. Blok Regional AFTA+3 sebagai sub-globalisasi 1 Januari 2002 sebenarnya merupakan awal berlakunya AFTA yang meminta pengurangan tarif barang (goods) secara drastis hingga tinggal 0-5% saja. Bedanya ini hanya berlaku untuk ASEAN-6 (enam negara pendiri ASEAN saja) dan belum untuk ASEAN-4 (negara-negara anggota ASEAN yang baru, yaitu Laos, Kamboja, Vietnam dan Myammar). Sementara 1 Januari 2003 berlaku sepenuhnya di semua negara ASEAN. Dalam tahun ini juga terjadi kesepakatan antara ASEAN dengan 3 negara Asia Timur, yaitu Jepang, Korea Selatan dan RRC untuk mengadakan Free Trade Area (FTA) yang lebih besar. Ini berarti akan menjadi FTA terbesar di dunia, lebih besar dari Uni-Eropa (meskipun UE pada tahun ini akan bertambah menjadi 25 negara dari sebelumnya 15 negara). AFTA+3 tidak bisa dipungkiri akan memainkan peran yang lebih besar dari sebelumnya. Ini berarti juga Globalisasi akan mempunyai mekanisme regional terlebih dulu -- sebagai sub-globalisasi, dan di lain pihak menguatnya persaingan geo-ekonomi, khususnya antara FTAA (Free Trade Area of America), UE dan AFTA+3. Bagi Indonesia, menguatnya AFTA+3 tidak akan berarti banyak selama posisi nasional Indonesia tidak dirumuskan dengan baik. Seluruh agenda blok-blok ekonomi regional serta rejim perdagangan bebas hanya akan menguntungkan yang kuat dan akan menenggelamkan yang lemah, yaitu indonesia. 11. Globalisasi teror, Tahun 2002 memperlihatkan dua aspek yang berbeda dari isu terorisme, yaitu pertama, program anti-terorisme AS untuk memburu kelompok Al-Qaeda (Osama bin Laden) sebagai balasan atas tragedi 11 September; dan kedua, teror global AS berupa cap teroris atau sarang teroris terhadap berbagai negara, khususnya negara-negara muslim, dan atas gerakan-gerakan radikal di dunia, termasuk PLO dan gerakan anti globalisasi. Dua hal ini dijadikan satu, sehingga yang muncul adalah cap teroris atas semua hal yang tidak berkenan di hati AS. Dalam hal ini Indonesia terkena getahnya, karena terjadinya tragedi bom Bali 12 Oktober 2002. Indonesia yang selama ini condong ke AS dan Barat, tetapi juga sebagai negara muslim terbesar di dunia menjadi "salah tingkah". Dan tidak ada pilihan bagi negara semacam Indonesia selain untuk ikut dalam barisan anti-teroris. Sampai kini AS terus berusaha untuk menyerang Irak, dan sedang menyiapkan mesin perangnya. Ini adalah arogansi globalisme yang paling nyata dari sebuah negara super-power dan masih bersifat globalisasi primitif, karena hendak menguasai perekonomian (minyak) melalui invasi dan perang fisik. Oleh karenanya bisa dimengerti di tahun 2002 tumbuh kembali gerakan anti perang dan perdamaian di berbagai negara. Sementara itu agenda anti terorisme telah menggeser semua agenda pembangunan dan hak asasi manusia sebelumnya. Ukurannya kini adalah apakah ikut dalam barisan anti-terorisme AS, yang berarti adalah "sahabat" AS; atau tidak ikut dalam barisan, yang berarti akan tidak bersesuaian dengan AS dan bisa menjadi musuh AS. Akhirnya yang tercipta adalah sebuah teror global itu sendiri atas nama anti-teror. Ini juga yang menjadi dasar dari tekanan negara maju atas negara berkembang di forum multilateral seperti yang terjadi di Doha-WTO dan lewat tekanan-tekanan IMF. Semua urusan pembangunan dan perdagangan juga dikaitkan dengan bersedia atau tidaknya ikut dalam barisan anti-terorisme. Jadi terorisme menciptakan anti-teror; tetapi anti-teror adalah terorisme juga. ARAH 2003 Dengan berbagai kenyataan yang terjadi di tahun 2002 tersebut, kiranya kecenderungan ke depan di tahun 2003 ini tidak akan banyak mengalami pergeseran dan akan lebih intensif. Mengapa? Karena akhir tahun 2002 telah ditutup dengan kebijakan Neo-liberal yang kental: Privatisasi Indosat yang menguntungkan pihak asing, menaikkan BBM-listrik-telpon yang menyengsarakan rakyat, serta dikeluarkannya Inpres R&D yang menguntungkan konglomerat. Sepanjang tahun 2002 pemerintah telah memperlihatkan wataknya yang tidak banyak berbeda dengan era Orde baru sebelumnya, yaitu berpihak kepada konglomerat, tidak berniat memerangi korupsi, menjalankan kebijakan neo-liberalisme, tunduk dan patuh pada Bank Dunia dan IMF, serta tidak punya sikap dan lemah dalam forum WTO. Karenanya tidak heran bila pemerintah sekarang mirip dengan "Orde Baru yang berganti orang" atau bisa dikatakan "peremajaan rejim". Yang agak berbeda saat ini hanyalah adanya iklim kebebasan politik yang lebih longgar. Akan tetapi iklim keterbukaan ini tidak lain hasil dari kemajemukan partai-partai politik yang berkuasa sekarang, di mana tidak ada satu pihakpun yang bisa menjadi pemain dominan. Benang merah dari semua peristiwa di tahun 2002 adalah ekspansi dari kekuatan global untuk terus mencengkeram perekonomian Indonesia. Privatisasi tahun 2001 tidak membawa hasil, dan kini privatisasi di tahun 2002 telah berhasil melebihi target. Para korporasi asing telah mampu menggaet asset-asset ekonomi yang bernilai melebihi nilai pembeliannya dan yang akan terus mendatangkan keuntungan besar. Sementara bangsa Indonesia harus merugi terus menerus, seperti contohnya obligasi rekap yang melekat di Bank Niaga maupun BCA, serta Indosat yang merupakan "angsa bertelur emas". Di lain pihak kebijakan penumpukan utang terus dilanjutkan agar bangsa ini tetap menjadi bangsa yang bodoh, bermental pengemis, dan senang cari jalan pintas. Utang sengaja dilestarikan oleh Bank Dunia dan IMF, agar kekuasaan mereka terhadap pemerintahan RI terus lestari. Juga agar program-program pasar bebas dan perdagangan bebas terus berlanjut. Program-program tersebut bersendikan pada ideologi neo-liberal atau liberalisme ekonomi. Dalam sejarah ekonomi di manapun juga, program liberalisme ekonomi adalah alat bagi negara yang lebih kuat untuk dapat mendominasi negara-negara yang lebih lemah. Diciptakan pandangan bahwa seolah-olah program tersebut untuk kepentingan negara-negara lemah tersebut, akan tetapi senyatanya adalah alat bagi dominasi ekonomi negara kuat. Hal seperti ini akan terus berlanjut di tahun 2003. Apalagi dengan adanya Konferensi WTO di tahun ini. Dalam tahun 2003, maka yang pertama-tama harus diperhatikan adalah menjelang Konferensi WTO di Cancun, Mexico sampai dengan bulan September 2003. WTO pada tahun ini akan mengambil alih semua isu mengenai pembangunan, ekonomi dan perdagangan. Dalam kerangka WTO, maka akan difinalkan modalitas pertanian dari masing-masing negara dalam kerangka AOA (Agreement on Agriculture) di bulan Maret 2003, serta finalisasi request dan offer di bidang jasa dalam kerangka GATS (General Agreement on Trade in Services) pada bulan Maret 2003 juga. Apa artinya ini? Bahwa ketidaksiapan kita untuk mempersiapkan materi di bidang pertanian dan jasa, akan berarti menggadaikan kembali ke dua sektor tersebut kepada WTO. Bila Indonesia tidak siap dengan materi pertaniannya, maka Indonesia akan diikat untuk menjalankan liberalisasi pertanian yang jauh lebih luas dari sebelumnya. Terutama usulan dari AS dan Cairns Group tentang pemotongan bound tariffs, yang akan berakibat lemahnya tarif bea masuk sebagai hambatan impor. Arus impor pertanian akan semakin deras masuk tanpa bisa dihalangi oleh tarif yang efektif. Ini akan merupakan malapetaka bagi negara agraris seperti Indonesia. Apalagi, di WTO bound-tariff akan mengikat selamanya. Belum lagi mengenai masalah subsidi domestik kepada petani, yang akan diharamkan selamanya, sehingga tidak mungkin lagi bagi pemerintah untuk memberikan berbagai subsidi pada petaninya sendiri. Hal serupa juga akan terjadi di sektor jasa, dimana baik AS, UE dan negara maju lainnya meminta dibukanya semua sektor jasa di Indonesia. Sampai saat ini Indonesia masih hanya mengikat kepada 5 sektor jasa, yaitu telekomunikasi, pariwisata, keuangan, transportasi maritim dan industri. Bila Indonesia mengiyakan saja request yang masuk, maka Indonesia akan terikat kepada seluruh sektor yang ada, yaitu ditambah dengan sektor jasa pendidikan, kesehatan, hukum, lingkungan, energi, profesional, konstruksi, distribusi dan lain-lainnya. Banyak pihak tidak menyadari bahaya ini, bahkan termasuk kalangan pengusaha dan profesi yang ada di dalamnya. Mereka tidak menyadari bahwa bila requests tersebut diterima, maka usaha bisnis dan profesi mereka akan digusur oleh perusahaan-perusahaan jasa asing yang akan bebas beroperasi di Indonesia. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah apa yang akan terjadi dalam Konferensi WTO di Cancun nanti. Negara maju secara sepihak telah menyebut istilah "Putaran Pembangunan Doha" (Doha Development Round) sebagai agenda pembahasan di Cancun, dengan embel-embel kata 'pembangunan', seolah-olah menunjuk pada prioritas agenda pembangunan bagi negara-negara berkembang. Tapi kenyataannya mereka sama sekali tidak memikirkan mengenai masalah pembangunan. Tujuan utama Putaran Doha adalah disepakatinya "Isu-isu Singapura" (disebut juga New Issues) ke dalam perjanjian resmi multilateral WTO. Ada empat isu baru tersebut, yaitu Investasi, Transparansi dalam belanja pemerintah, Kebijakan Persaingan dan Fasilitasi Perdagangan. Keempat-empatnya sangat berbahaya bila bisa menjadi perjanjian multilateral. Dengan disetujuinya empat isu tersebut, maka akan merupakan malapetaka bagi negara-negara berkembang. Investasi akan berarti PMA 100% tanpa kontrol dan restriksi. Transparansi dalam belanja pemerintah akan berarti tender untuk belanja pembangunan pemerintah akan dikuasai oleh TNC-TNC besar. Kebijakan persaingan akan berarti dibukanya persaingan bebas di tingkat nasional antara pengusaha domestik dengan TNC-TNC besar. Dan Fasilitasi Perdagangan akan berarti difasilitasinya ekspansi TNC-TNC untuk masuk berdagang secara leluasa dan bebas. Dan mengapa disebut sangat berbahaya? Karena ini adalah legal binding (perikatan hukum). Semua yang ada di WTO bersifat legal binding, sehingga tidak mungkin dianulir lagi atau ditinjau kembali. Karena sangat berbahaya, maka sudah jauh-jauh hari gerakan anti-globalisasi internasional mewaspadai dan menolak diadakannya New Issues di WTO. Karena itu kami berpesan pada pemerintah sejak sekarang: agar tidak menyetujui New Issues di Konferensi WTO di Cancun pada September 2003 ! Dalam tahun 2003, nampaknya perekonomian domestik akan tetap sulit. Ini adalah konsekuensi dari terintegrasinya Indonesia kepada perekonomian global dan liberalisasi perdagangan. Semakin banyak perusahaan yang akan gulung tikar, karena tidak mampu lagi bersaing dengan produk luar negeri yang semakin banyak dan lebih murah, akibat diterapkannya AFTA dan semakin tingginya ongkos produksi (pungutan liar dan "resmi", pajak, inflasi, upah buruh dan lain-lain). Banyak perusahaan tidak lagi berproduksi, tetapi akan beralih menjadi agen tunggal dan pemasaran produk luar negeri. Dalam arti ini maka akan berakibat pada PHK yang akan terus berlangsung dan jumlah pengangguran yang akan terus meningkat. Menurut penelitian INDEF, pengangguran terbuka akan menjadi 5,3% dan pengangguran tertutup sebanyak 28,4% dari jumlah angkatan kerja. Inflasi akan mencapai 11,8% dan pertumbuhan ekonomi 3,1%. Jumlah orang miskin akan mencapai 16,4% dari jumlah penduduk. Dengan semakin banyaknya produk luar negeri masuk ke Indonesia, maka akan menekan harga, sehingga harga barang-barang konsumsi semakin murah. Tetapi pada sisi lain daya beli masyarakat semakin menurun, akibat PHK dan inflasi. Mereka yang di PHK dan tidak mendapat pekerjaan akan mencoba mempertahankan hidupnya dengan membuka usaha sendiri, sebagian besar akan bergerak di sektor informal, seperti pedagang kaki lima, penjual makanan dan lain-lain yang semakin marak Di pihak lain pemerintah akan terus menjalankan kebijakan ekonomi sebagaimana yang digariskan IMF. Artinya, subsidi akan semakin dikurangi dan bahkan dihapuskan sama sekali, pajak akan digenjot habis-habisan, privatisasi BUMN terus berlanjut untuk menutup defisit anggaran dan membayar cicilan utang beserta bunganya. Sebagian besar pengeluaran negara tetap ditujukan untuk pembayaran utang beserta bunganya dan untuk anggaran rutin lainnya -- terbesar untuk membayar gaji pegawai negeri. Dana untuk pembangunan infrastruktur akan semakin mengecil, padahal dengan dana ini pemerintah akan dapat menciptakan banyak lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Disamping itu akibat semakin memburuknya keadaan ekonomi, anggaran pemerintah untuk bidang sosial akan semakin kecil dan berdampak pada kehidupan masyarakat yang akan semakin memburuk. Keadaan bidang pendidikan dan kesehatan akan semakin buruk, karena anggaran untuk kedua bidang ini akan semakin berkurang. Pemerintah akan mendorong dan menyerahkan bidang ini kepada swasta. Artinya akan semakin banyak sekolah dan rumah sakit dikelola pihak swasta, baik dari dalam negeri maupun asing, yang berakibat biaya pendidikan dan kesehatan akan semakin mahal. Hanya orang kaya saja nanti yang dapat menyekolahkan anaknya dan membiayai kebutuhan kesehatan. Jika jumlah orang yang tidak terdidik atau hanya menikmati pendidikan dasar saja semakin bertambah, maka dampaknya akan memukul pada perekonomian nasional. Saat ini saja lebih dari 60% buruh Indonesia hanya berpendidikan paling tinggi Sekolah Dasar. Selama di bawah pemerintahan Orde Baru saja sebagian besar perusahaan asing dan dalam negeri hanya melakukan investasi di bidang-bidang yang banyak menggunakan tenaga kerja dengan pendidikan rendah, seperti tekstil dan sepatu, sedangkan kegiatan industri dengan teknologi tinggi akan beroperasi di negara-negara dengan tenaga kerja berkeahlian tinggi. Hal yang semakin mengkhawatirkan adalah kecenderungan menjelang pemilu 2004, di mana pemerintah, yang diwakili partai-partai politik, akan semakin membabi-buta menguras harta kekayaan negara untuk membiayai partai politiknya masing-masing. Masing-masing mencari peluang untuk mengumpulkan dana untuk Pemilu nanti. Sampai tahun 2004 bahkan sampai tahun 2005 nampaknya belum akan ada keseriusan pemerintah untuk membenahi masalah ekonomi dan sosial. Jika keadaan ekonomi dan sosial tetap memburuk, maka Indonesia pada era perdagangan bebas akan terpuruk hanya menjadi pasar bagi produk luar, bukan negara tempat berproduksi dan memasarkan produknya di pasar dunia. Keadaan ini akan meningkatkan angka kriminalitas dan konflik sesama warga. Pemerintah akan melakukan tindakan represif untuk menghadapi berbagai persoalan yang akan dihadapi bangsa ini kedepan. UU Anti Teroris merupakan salah satu indikasinya Disamping itu globalisasi teror masih terus berlanjut. Terutama perang AS-Irak akan terjadi. AS telah belajar dari kegagalan perang dengan Irak di masa lalu. Kini setelah menang di Afghanistan, AS merasa yakin dapat menaklukkan Irak. Demikian pula perang anti terorisme di seluruh dunia, sebenarnya merupakan alat intimidasi bagi negara-negara yang dianggap menyimpang dari kebijakan AS. Banyak orang AS sendiri yang menyatakan kesedihannya bahwa kini pemerintah AS telah jauh menjadi kanan ekstrim (Far-Rightist) sejak dipegang George Bush Jr dan Partai Republik. Karena itu kombinasi konferensi WTO pada bulan September dengan peringatan dua tahun tragedi 11 September, akan merupakan dalih bagi diterimanya Putaran Doha dan semua paket kebijakan negara-negara Barat oleh negara-negara berkembang. Bila itu yang terjadi, maka ini adalah malapetaka, yaitu Kolonialisme babak kedua. Globalisasi tidak lain adalah rekolonisasi. Untuk itu tidak ada kata lain, Indonesia harus berbenah diri secara mendasar agar mampu menghadapi arus globalisasi ini. Itulah tugas utama pemerintah saat ini. Apa yang disebut pemerintah sebagai memperkuat pasar dalam negeri dan membangun ekonomi kerakyatan akan tidak berarti bila memilih jalan neo-liberal. Ekonomi kerakyatan bertolak belakang dengan ekonomi Neo-Liberalisme. Upaya untuk menghadapi globalisasi sesungguhnya merupakan revolusi nasional kedua, setelah revolusi nasional 1945. Jadi tidak main-main dan harus sungguh-sungguh, termasuk rela menderita untuk kebahagiaan di masa depan. Bila tidak, maka yang bahagia selamanya hanyalah sejumlah elit serba kaya, sementara rakyat banyak semakin miskin-nestapa dan menderita berkepanjangan. Inilah tantangan-tantangan utama tahun 2003.

No comments:

Post a Comment

Pragmatisme Manusia Moderen

Pragmatisme Manusia Moderen Sejak bergulirnya Era reformasi Indonesia sudah Berganti 5 kali kepemimpinan Presiden Namun ekonomi bukan semak...