Tuesday 14 February 2017

Hubungan Bahasa, Berfikir dan Budaya

Hubungan Bahasa, Berfikir dan Budaya Latar Belakang Sebagai makhluk yang paling sempurna manusia mempunyai ciri-ciri tersendiri dalam kehidupannya, yaitu bahasa, fikiran, serta budaya. Untuk mempelajari hubungan antara bahasa, berfikir serta budaya kita membutuhkan ilmu yang disebut sosiolinguistik atau psikolinguistik. Sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial. Dalam pembahasan sosiolinguistik ada tujuh dimensi masalah sosiolinguistik: (1) identitas sosial penutur, (2) identitas sosial pendengar, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial ,(5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik. Adapun psikolinguistik adalah disiplin ilmu yang mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia (Slobin, 1974; Meller, 1964; Slama Cahazu, 1973) . Definisi lain tentang psikolinguistik adalah: satu sains antardisiplin yang dilahirkan sebagai akibat dari pada satu kesadaran, bahwa pengkajian bahasa merupakan sesuatu yang sangat rumit sehingga satu disiplin secara persendirian tidak mungkin mampu menerangkan hakikat bahasa itu menurut Simanjuntak (1987: 2). Emmon Bach mengutarakan bahwa “psikolinguistik adalah suatu ilmu yang meneliti bagaimana sebenarnya para pembicara/pemakai suatu bahasa membentuk/membangun atau mengerti kalimat-kalimat bahasa tersebut” (Bach, 1964 : 64). Menurut Chaer yang menjadi pokok-pokok bahasan psikolinguistik adalah: (1) apakah sebenarnya bahasa itu? Apakah yang “dimiliki” oleh seseorang sehingga dia mampu berbahasa? Bahasa itu sendiri dan komponen apa saja? (2) bagaimana bahasa itu lahir dan mengapa dia harus lahir? Di manakah bahasa itu berada atau disimpan? (3) Bagaimana bahasa pertama (bahasa ibu) diperoleh seorang kanak-kanak? Bagaimana perkembangan penguasaan bahasa itu? Bagaimanakah bahasa kedua itu dipelajari? Bagaimanakah seseorang bisa menguasai dua, tiga, atau banyak bahasa? (4) Bagaimana proses penyusunan kalimat atau kalimat-kalimat? Proses apakah yang terjadi di dalam otak waktu berbahasa? (5) bagaimana bahasa itu tumbuh dan mati? Bagaimana proses berubahnya suatu dialek menjadi bahasa baru? (6) Bagaimana hubungan bahasa dengan pemikiran? Bagaimana pengaruh kedwibahasaan atau kemultibahasaan dengan pemikiran dan kecerdasan seseorang? (7) Mengapa seseorang menderita penyakit atau mendapatkan gangguan berbicara (seperti afasia), dan Bagaimana cara menyembuhkannya? (8) Bagaimana bahasa itu harus diajarkan supaya hasilnya baik? Dan sebagainya . Dari sekian banyak permasalahan yang ada dalam kajian sosiolinguistik dan psikolinguistik, pemakalah akan membatasi masalahnya pada materi hubungan bahasa, berfikir dan budaya. Materi ini sangat penting untuk dikaji dan didiskusikan. Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas bahwa ketiga unsur tersebut merupakan pola prilaku manusia yang sudah tidak bisa dipisahkan lagi, tetapi yang menjadi permasalahan, manakah yang paling pertamakali muncul, apakah bahasa, berfikir atau budaya? Pengertian Bahasa, Berpikir dan Budaya 1. Pengertian Bahasa Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Adapun berbahasa merupakan salah satu perilaku dari kemampuan manusia, sama dengan kemampuan dan perilaku untuk berfikir, bercakap-cakap, bersuara, ataupun bersiul. Lebih spesifik lagi berbahasa ini merupakan kegiatan dan proses memahami dan menggunakan isyarat komunikasi yang disebut bahasa. Menurut Nababan secara garis besarnya hakikat bahasa membicarakan sistem suatu unsur bahasa, sedangkan fungsi bahasa yang paling mendasar ialah untuk komunikasi. Dengan berkomunikasi akan terjadi suatu sistem sosial masyarakat, tanpa komunikasi tidak ada masyarakat. Jadi inti dari berbahasa adalah bagaimana seseorang yang berada dalam suatu masyarakat bisa menggunakan bahasanya tersebut sebagai media berkomunikasi antara satu sama lainnya. 2. Pengertian Berfikir Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52). Berfikir juga merupakan suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak atau berfikir juga merupakan jerih payah secara mental untuk memahami sesuatu yang dialami atau mencari jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapi. 3. Pengertian Budaya Tylor adalah seorang pakar antropologi yang pertama kali mendefinisikan pengertian budaya, menurutnya budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakata. Adapun Kuntjaraningrat (1974) secara lebih terperinci membagi kebudayaan menjadi unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian serta sistem teknologi dan peralatan. Hubungan Antara Bahasa, Berpikir dan Budaya Banyak para ahli linguistik mengemukakan teorinya tentang hubungan antara bahasa, berfikir dan budaya. Mereka berbeda pendapat dalam menganalisis masalah ini, ada yang berpandangan bahwa bahasa yang membentuk proses berfikir dan budaya, ada juga yang berpendapat pikiranlah yang membentuk bahasa. Tentunya para ahli tersebut mempunyai dasar dan alasan dalam mengemukakan teorinya masing-masing, bahkan mereka membuat penelitian selama betahun-tahun. Diantaranya para ahli itu adalah, Wilhelm von Humboldt, Edward sapir, Benjamin Lee Whorf, Jean Piaget, L.S Vygotsky, Noam Choamsky, Eric Lenneberg, Brunner. Berikut ini akan sedikit dipaparkan hubungan antara bahasa, berfikir dan budaya menurut para ahli linguistik. 1. Teori Wilhelm Von Humboldt Wilhelm Von Humboldt (sarjana Jerman abad ke-19), menekankan adanya ketergantungan pemikiran manusia pada bahasa. Maksudnya pandangan hidup dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Mengenai bahasa itu sendiri Von Humboldt berpendapat bahwa substansi bahasa itu terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berupa bunyi-bunyi, dan bagian lainnya berupa pikiran-pikiran yang belum terbentuk bunyi-bunyi dibentuk oleh lutform, dan pikiran-pikiran ideenform atau Innereform. Jadi, bahasa menurut Von Humboldt merupakan sintese dari bunyi (Lautform) dan pikiran (Idennform). Dari keterangan itu bisa disimpulkan bahwa bunyi bahasa merupakan bentuk luar, sedangkan pikiran adalah bentuk dalam. Bentuk-luar bahasa itulah yang kita dengar, sedangkan bentuk-dalam bahasa berada di dalam otak. Kedua bentuk inilah yang “membelenggu” manusia dan menentukan cara berfikirnya. 2. Teori Sapir-Whorf Edward Sapir (1844-1929) adalah seorang Linguis Amerika yang memiliki pendapat hampir sama dengan Von Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah “belas kasih” bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat, menurutnya juga telah terjadi fakta bahwa kehidupan suatu masyarakat sebagian “didirikan” di atas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Benjamin Lee Whorf (1897-1941) murid Sapir, menolak pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan berfikir yang mengatakan bahwa bahasa dan berfikir merupakan dua hal yang berdiri sendiri-sendiri. Selanjutnya menurut Whorf sistem tata bahasa suatu bahasa bukan hanya merupakan alat untuk menyuarakan ide-ide, tetapi juga merupakan pembentuk ide-ide itu, merupakan program kegiatan mental seseorang, penentu struktur mental seseorang. Dengan kata lain, tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran seseorang (Simanjuntak, 1987). Sebagai suatu kenyataan bahwa bahasa merupakan alat atau sarana untuk berfikir dan menciptakan kebudayaan. “Dengan bahasalah anak memperoleh sikap, nilai-nilai, cara berbuat dan lain sebagainya yang kita sebut kebudayaan. Atau lewat bahasalah ia mempelajari pola-pola kultural dalam berfikir dan bertingkah laku dalam masyarakat”. Dengan melihat pendapat diatas teori yang diusung oleh Humboldt dan Sapir-Whorf ada benarnya juga. Kita bisa melihat contoh, misalnya dengan memperhatikan bahasa-bahasa Indian yang merupakan rumpun di luar rumpun Indo-Eropa, Franz Boas melihat cara berfikir orang-orang ini dipengaruhi oleh struktur bahasa yang mereka pakai. Kenyataan bahwa salju merupakan entitas yang sangat signifikan dalam kehidupan suku Eskimo sehari-hari maka bahasa mereka memiliki jumlah kosakata yang banyak untuk mengklasifikasikan salju: qana, salju yang sedang turun; aput, salju yang baru saja turun di tanah; piqsirpoq, salju yang sedang meleleh, dan qimuqsuq, salju yang sedang mengalir. Dengan kata lain, bahasa membimbing mereka untuk melihat dan mengkategorikan fenomena alam di sekitarnya. Contoh lainnya adalah dalam bahasa Arab untuk nama binatang seperti singa mempunyai 500 kata, Ular mempunyai 200 sinonim, madu 80 sinonim, dan nama unta dan keuntaan mempunyai kurang lebih 4644 kata-kata berbahasa Arab. 3. Teori Jean Piaget Berbeda dengan pendapat Sapir dan Whorf. Piaget sarjana Perancis berpendapat justru pikiranlah yang membentuk bahasa. Tanpa pikiran bahasa tidak ada. Piaget yang mengembangkan teori pertumbuhan kognisi (Piaget, 1962), menurut teori ini seorang kanak-kanak memperoleh segala sesuatu mengenal dunia melalui tindakan-tindakan dari perilakunya dan kemudian baru melalui bahasa. Bisa kita simpulkan maksud dari Piaget, bahwa masyarakat yang mempunyai pikiran cerdas, memilik pandangan yang luas dan masyarakat berbudaya tinggi akan menghasilkan masyarakat berbahasa yang cerdas dan berkualitas pula. Orang-orang yang cepat mengungkapkan ujaran dan cepat mengambil tindakan biasanya orang tersebut mempunyai pikiran yang cepat juga. Piaget mengemukakan dua hal penting mengenai hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan intelek (pikiran), sebagai berikut : 1. Sumber kegiatan intelek tidak terdapat dalam bahasa, tetapi dalam periode sensomotorik, yaitu satu sistem skema, dikembangkan secara penuh dan membuat lebih dahulu gambaran-gambaran dari aspek-aspek struktur golongan-golongan dan hubungan-hubungan benda-benda (sebelum mendahului gambaran-gambaran lain) dan bentuk-bentuk dasar penyimpanan dan operasi pemakain kembali. 2. Pembentukan pikiran yang tepat dikemukakan dan berbentuk terjadi pada waktu yang bersamaan dengan pemerolehan bahasa. Keduanya memiliki suatu proses yang lebih umum, yaitu konstitusi fungsi lambang pada umumnya. Fungsi lambang ini mempunyai beberapa aspek. Piaget menegaskan bahwa intelek (pemikiran) sebenarnya adalah aksi atau perilaku yang telah dinuranikan dan dalam kegiatan-kegiatan sensomotorik termasuk juga perilaku bahasa. yang perlu diingat adalah bahwa dalam jangka waktu sensomotor ini kekekalan benda merupakan pemerolehan umum. 4. Teori L.S Vygotsky Vygotsky (sarjana bangsa Rusia) berpendapat adanya satu tahap perkembangan bahasa sebelum adanya pikiran, dan adanya satu tahap perkembangan pikiran sebelum adanya bahasa. Kemudian, kedua garis perkembangan ini saling bertemu, maka terjadilah secara serentak pikiran berbahasa dan bahasa berpikir. Dengan kata lain, pikiran dan bahasa pada tahap permulaan berkembang secara terpisah dan tidak saling mempengaruhi. Jadi mula-mula pikiran berkembang tanpa bahasa dan bahasa mula-mula berkembang tanpa pikiran. Lalu pada tahap berikutnya, keduanya bertemu dan bekerja sama serta saling mempengaruhi. Begitulah kanak-kanak berpikir dengan mengunakan bahasa dan berbahasa dengan menggunakan pikiran. 5. Teori Noam Chomsky Mengenai hubungan bahasa dan pemikiran Noam Chomsky mengajukan kembali teori klasik yang disebut hipotesis Nurani (Chomsky, 1957, 1965, 1968). Hipotesis nurani mengatakan bahwa struktur bahasa dalam adalah nurani. Artinya rumus-rumus itu dibawa sejak lahir. Pada waktu seorang kanak-kanak mulai mempelajari bahasa ibu, dia telah dilengkapi sejak lahir dengan satu peralatan konsep dengan struktur bahasa-dalam yang bersifat universal. Menurut Chomsky bahasa-bahasa yang ada di dunia adalah sama (karena didasari oleh suatu sistem yang universal), hanyalah pada tingkat dalamnya saja yang disebut struktur dalam (deep structure). Pada tingkat luar atau struktur luar (surface structure) bahasa-bahasa itu berbeda-beda. Hipotesis nurani berpendapat bahwa struktur-struktur dalam bahasa adalah sama. Struktur-dalam setiap bahasa bersifat otonom; dan karena itu, tidak ada hubungannya dengan sistem kognisi (pemikiran) pada umumnya, termasuk kecerdasan. Jadi bahasa dan fikiran adalah dua sistem yang berbeda dan terpisah, sehingga kita akan menemukan semua orang berbahasa tetapi mempunyai kecerdasan yang berbeda-beda. Menurut Chomsky setiap anak yang dilahirkan kedunia memiliki bekal untuk berbahasa atau disebut dengan LAD (Language Acquisition Device), alat penguasaan bahasa. Alat ini berfungsi untuk memungkinkan seorang kanak-kanak memperoleh bahasa ibunya. Cara kerja LAD ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Apabila sejumlah ucapan yang cukup memadai dari suatu bahasa (bahasa apa saja: Sunda, Arab, Cina dan sebagainya) “diberikan” kepada LAD seorang kanak-kanak sebagai masukan (input), maka LAD itu akan membentuk salah satu tata bahasa formal sebagai keluaran (out put)-nya: Input Output 6. Teori Eric Lenneberg Berkenaan dengan masalah hubungan bahasa dan pemikiran, Eric Lenneberg mengajukan teori yang disebut Teori Kemampuan Bahasa Khusus (Lenneberg, 1964). Menurut Lenneberg, manusia menerima warisan biologi dalam menggunakan bahasa yang khusus untuk manusia. Lenneberg telah menyimpulkan banyak bukti yang menyatakan bahwa upaya manusia untuk berbahasa didasari oleh biologi yang khusus untuk manusia dan bersumber pada genetik tersendiri secara asal. Bukti manusia telah dipersiapkan secara biologis untuk berbahasa menurut Lenneberg adalah sebagai berikut: a. Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fonologi manusia, seperti bagian-bagian otak tertentu (bagian konteks tertentu) yang mendasari bahasa. b. Jadwal perkembangan, bahasa yang sama berlaku bagi semua kanak-kanak normal. Semua kanak-kanak bisa dikatakan mengikuti strategi dan waktu pemerolehan bahasa yang sama, yaitu lebih dahulu menguasai prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi. c. Perkembangan bahasa tidak dapat dihambat meskipun pada kanak-kanak yang mempunyai cacat tertentu seperti buta, tuli, atau memiliki orang tua pekak sejak lahir. Namun, bahasa kanak-kanak ini tetap berkembang dengan hanya sedikit keterlambatan. d. Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain.hingga saat ini belum pernah ada makhluk lain yang mampu menguasai bahasa, sekalipun telah diajar dengan cara-cara yang luar biasa. 7. Teori Brunner Berkenaan dengan masalah hubungan bahasa dan pemikiran, Bruner memperkenalkan teori yang disebutnya Teori Instrumentalisme. Menurut teori ini bahasa adalah alat pada manusia untuk mengembangkan dan menyempurnakan pemikiran itu. Dengan kata lain, bahasa dapat membantu pemikiran manusia supaya dapat berpikir lebih sistematis. Bruner berpendapat bahwa bahasa dan pemikiran berkembang dari sumber yang sama. Oleh karena itu, keduanya mempunyai bentuk yang sangat serupa. Lalu karena sumber yang sama dan bentuk yang sangat serupa, maka keduanya dapat saling membantu. Selanjutnya, bahasa dan pikiran adalah alat untuk berlakunya aksi. A. Kekontrovesialan Hipotesis Relativitas Dari penjelasan para ahli diatas, sudah jelas antara bahasa dan pikiran mempunyai hubungan yang sangat erat sekali, terlepas mana yang lebih mempengaruhi, apakah bahasa atau pikiran. Perdebatan panjang tentang masalah ini mungkin tidak akan pernah selesai dan yang paling banyak mencuri perhatian para peneliti adalah teorinya Sapir dan Whorf tentang hipotesis relativitas, Mazhab hipotese relativitas linguistik, merupakan pandangan atau hipotesis yang mengatakan bahwa bahasa mempengaruhi cara berfikir penuturnya. Menurut Whorf (1966:213), setiap bahasa memaksa atau memberikan suatu “pandangan dunia” pada penuturnya. Akan tetapi banyak para ahli yang meragukan teori Worf tersebut. Antara lain Clark dan Clark menurutnya teori yang diajukan Sapir dan Whorf bukti-bukti yang diajukannya hanya satu-dua kasus yang terpisah-pisah dan kurang sistematis. Clark dan Clark mengajukan suatu teori yang berbunyi “ada pengaruh struktur bahasa pada cara berfikir orang: dan sebaliknya, melalui pikiran orang dapat juga mempengaruhi perilakunya”. Dalam kesempatan lain hipotesis relativitas terbantahkan oleh penelitian-penelitan selanjutnya bahwa tidak semua bahasa mempengaruhi cara berfikir atau kebudayaan seseorang. Farb (1974) mengadakan penelitian terhadap sejumlah wanita Jepang yang menikah dengan orang Amerika dan tinggal di San Fransisco, Amerika. Dari penelitian itu Farb menarik kesimpulan bahwa bahasa bukan menyebabkan perbedaan-perbedaan kebudayaan, tetapi hanya mencerminkan kebudayaan tersebut. Bahasa Jepang mencerminkan kebudayaan Jepang, dan bahasa Inggris mencerminkan kebudayaan Inggris. Bukti lain bahwa bahasa tidak mempengauhi pikiran atau budaya dapat dilihat pada orang yang cacat organ speech. Yang dalam buku Dardjowidjojo dikenal dengan istilah kilir lidah dan afasia. Kilir lidah adalah suatu fenomena dalam produksi ujaran di mana pembicara “terkilir” lidahnya sehingga kata-kata yang diproduksi bukanlah kata yang dia maksudkan. Kesalahan yang berupa kilir lidah seperti kelapa untuk kepala menunjukan bahwa ternyata tidak tersimpan secara utuh dan orang harus meramunya (Meyer 2000:51). Dalam hal ini yang memiliki peran yang sangat besar dalam meramu sebuah kata agar antara langue dan parole itu sesuai adalah otak (pikiran). Biasanya kilir lidah terjadi pada waktu orang yang berbicara merasa gugup atau ketakutan, sehingga antara konsep yang ada di pikiran dengan bahasa yang diujarkan mengalami perbedaan. Adapun afasia adalah suatu penyakit wicara di mana orang tidak dapat berbicara dengan baik karena adanya penyakit pada otaknya. Penyakit ini umumnya muncul karena orang tadi mengalami stroke, yakni sebagian dari otaknya kekurangan oksigen sehingga bagian tadi merasa cacad. Melihat dua contoh diatas, menjelaskan bahwa ada keterikatan antara fikiran dan bahasa. Semua bahasa yang akan diujarkan terlebih dahulu diproses oleh otak. Apabila seorang manusia memiliki kondisi otak yang error maka tidak akan menciptakan sebuah ujaran atau bahasa. Dalam buku Prof. Dr. Sumarsono dan Drs. Paina Partana, M. Hum Sosiolinguistik, dikemukakan juga beberapa bukti yang menyanggah pendapat Sapir dan Whorf tersebut diantaranya: 1) Ada banyak contoh lingkungan fisik tempat suatu masyarakat hidup dapat dicerminkan dalam bahasanya. Artinya lingkungan dapat mempengaruhi bahasa masyarakat itu, biasanya dalam hal leksikon atau perbendaharaan katanya. 2) Lingkungan sosial dapat juga dicerminkan dalam bahasa dan sering dapat berpengaruh pada struktur kosakata. Misalnya sistem kekeluargaan atau kekerabatan orang Amerika berbeda dengan sistem kekeluargaan orang-orang dari berbagai suku di Indonesia. 3) Adanya lapisan-lapisan masyarakat feodal dan kasta menimbulkan pula pengaruh dalam bahasa. Seperti yang sudah kita lihat, akibat adanya sistem feodal pada beberapa suku di Indonesia dan sistem kata pada masyarakat Bali pada zaman dulu, maka dalam masyarakat itu muncul penjenjangan dalam bahasa. 4) Di samping lingkungan dan struktur sosial, nilai-nilai masyarakat (Social value) dapat pula berpengaruh pada masyarakat itu. Contoh yang jelas misalnya yang menyangkut tabu. Kesimpulan Dari uraian-uraian menurut para ahli diatas antara bahasa, berpikir dan berbudaya mempunyai sebuah keterikatan yang saling mempengaruhi, tetapi mana yang pertamakali muncul itu yang masih menjadi perdebatan. Diantara pendapat tersebut adalah sebagai berikut: 1) Budaya, cara berfikir dan pandangan suatu masyarkat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri 2) Fikiran yang mempengaruhi bahasa seseorang 3) Ada sebuah tahapan sebelum adanya bahasa dan fikiran yang mempertemukan antaranya dan disana terjadi proses berbahasa dan berfikir 4) Antara bahasa dan fikiran merupakan masing-masing sistem yang berbeda 5) Bahasa merupakan warisan biologis dan struktur anatomi manusia itu sendiri. Terlepas dari berbedanya pendapat para ahli linguistik tentang apakah bahasa dan pemikiran merupakan dua sistem yang berasingan, atau saling mempengaruhi atau struktur pemikiran mempengaruhi struktur bahasa, yang jelas dewasa ini hampir semua sarjana dari berbagai disiplin sepakat untuk menolak hipotesis kontroversinya Sapir dan Worf diatas. Yang jelas dalam proses pembelajaran bahasa (bahasa asing) proses berfikir dan kebudayaan suatu bangsa atau masyarakat adalah sesuatu yang sangat dominan dalam kesuksesan pembelajaran bahasa asing khususnya peserta didik yang ada di sekolah-sekolah atau madrasah. Saran dan kritik Pemakalah sadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, saran dan kritik yang kontruktif dari pembaca dan para peneliti atau pemerhati bahasa adalah harapan yang ditunggu-tunggu oleh pemakalah. Mudah-mudahan pengkajian tentang bahasa, berfikir dan budaya masih terus berlanjut oleh pembelajar lainnya. Sehingga menjadi penyempurna dari makalah ini. Daftar Pustaka Alwasilah, A. Chaedar, Pengantar Sosiologi Bahasa, (Bandung, Penerbit Angkasa, 1933) Aslinda, Dra., M.Hum, dan Dra. Leni Syafyahya, M.Hum, Pengantar Sosiolinguistik, (Bandung, PT Refika aditama, 2007) Bahasa-dan-pikiran.html Chaer, Abdul, Psikolinguistik Kajian Teoretik, (Jakarta, Rineka Cipta, 2009) Dardjowidjojo, Soenjoyo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa manusia, (Jakarta, Yayasan obor Indonesia) Djojosuroto, Kinayati, Filsafat Bahasa, (Yogyakarta, Pustaka Book Publisher), Cet II Hidayat, Prof. Dr. H.D, Makalah Psikolinguistik (Pasca Sarjana UIN Bandung) http://odazzander.blogspot.com/2011/09/definisi-psikolinguistik.html http://www.scribd.com/doc/26901339/9/Hubungan-Berbahasa-Berpikir-dan- Berbudaya Kridalaksana, Harimurti, Kamus Linguistik, ( Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1993) M. Keesing, Roger, Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer, (Jakarta, PT. Gelora Aksara Pratama , 1981) psikologi.or.idmycontentsuploads201011thinking.pdf Sumarsono, Prof. Dr. M. Ed, Sosiolinguistik, (Yogyakarta, Sabda), Cet I Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2005)

No comments:

Post a Comment

Pragmatisme Manusia Moderen

Pragmatisme Manusia Moderen Sejak bergulirnya Era reformasi Indonesia sudah Berganti 5 kali kepemimpinan Presiden Namun ekonomi bukan semak...