Pendahuluan Bahasa Arab sesungguhnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam. Oleh karena itu mempelajari dan menguasai bahasa menjadi keperluan setiap muslim. Baginya, bahasa Arab perlu untuk membentuk pribadi sebagai muslim dan meningkatkan kualitas muslim dan pemahaman terhadap ajaran agama, bahkan perlu sebagai sarana dakwah penyebaran agama Islam. Bahasa Arab perlu dipandang sebagai bahasa agama dan bukan sebagai bahasa budaya, etnis, kawasan maupun Negara tertentu saja.
Itu ditandai dengan banyaknya tokoh dan ulama muslim yang berasal dari bukan kawasan Arab, semisal Al Ghazali, Al Biruni, Ibnu Sina, Al Razi, Al KIndi dsb, namun menguasai bahasa Arab sebagai bagian dari studi Islam yang mereka tekuni. Selain itu, agama Islam yang salah satu unsurnya adalah bahasa Arab seyogyanya menjadi budaya yang dominan mewarnai kehidupan umat Islam di tingkat pribadi, keluarga dan masyarakat. Berseberangan dengan hal tersebut harus diakui bahwa ada upaya kalangan colonial dan sekuler untuk ‚meminggirkan‛ dan ‚menjauhkan‛ bahasa Arab dan sejumlah budaya keIslaman dari kehidupan umat Islam. Dari segi upaya akademis ada salah satu contoh, Al Munjid yaitu kamus ekabahasa Arab yang sangat kurang memasukkan unsur-unsur Arab yang terkait dengan keIslaman, kamus itu disusun oleh akademisi Katolik Libanon Louis Ma’luf. Selain itu secara cultural ada upaya pula yang ingin diterapkan dan disebarluaskan di kalangan masyarakat Arab, yaitu pemopuleran penggunaan bahasa Arab colonial (dialek local) dan pengesampingan penggunaan bahasa Arab standar (fusha). Hal itu berakibat pada minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat Arab sendiri terhadap bahasa Arab yang resmi dan standar. (Shihab 2007). Dalam masyarakat multilingual tentu akan ada pengajaran bahasa kedua. Bahasa kedua itu biasa bahasa nasional, bahasa resmi kenegaraan, bahasa resmi kedaerahan, atau juga bahasa asing (bukan bahasa penduduk asli). Bahasa Arab juga bias dikatakan sebagai bahasa kedua secara formal setelah bahasa Inggris yang baru diajarkan di sekolah menengah sejenis madrasah (Iskandarwassid dan Suhendar 2009: 89). Artinya setelah seorang anak Indonesia menguasai sekurang-kurangnya dua bahasa, yaitu bahasa ibunya dan bahasa Indonesia.
Kesulitan mungkin akan bertambah sebab pada diri anak telah tertanam dua pola bahasa (bahasa ibu dan bahasa Indonesia) lalu kini harus mempelajari bahasa lainnya yang mungkin memiliki pula perbedaan pola pada semua tatarannya. Selain itu dalam mempelajari bahasa asing seperti bahasa Inggris atau bahasa Arab di sekolah menengah akan bertambah sulit mengingat latar belakang budaya masyarakat pemilik bahasa itu juga banyak berbeda dengan latar belakang budaya masyarakat kita. Bahasa Arab Sebagai Bahasa Asing Bahasa asing atau al lughah al ajnabiyyah dalam bahasa Arab dan foreign language dalam bahasa Inggris secara umum adalah bahasa yang digunakan oleh orang asing. Pengertian asing seperti dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV (2008: 93) adalah orang atau sesuatu yang berasal dari luar negeri atau luar lingkungan (KBBI 2008). Pengertian ini menggambarkan bahwa bahasa asing adalah bahasa yang dipakai oleh orang luar negeri atau luar lingkungan pribumi.
Lebih jelas lagi, seorang linguis kawakan Sri Utari Subyakto Nababan (1993: 3) menggambarkan bahwa bahasa asing adalah bahasa yang digunakan oleh orang asing, yakni orang yang ada di luar lingkungan masyarakat dalam kelompok atau bangsa. Lebih lanju Nababan menjelaskan, dari sudut pemerolehan, bahasa terbagi kedalam tiga kategori, yaitu bahasa ibu atau bahasa kesatu, bahasa kedua, dan sebagai bahasa asing. (Nababan 1993). Bahasa ibu adalah bahasa yang diperoleh seseorang pertama kali di keluarga, sehingga oleh Brown (1973) disebut sebagai bahasa pertama. Kadang bahasa ini di identifikasi sebagai bahasa asli (al lughah al ashliyyah / native language) atau bahasa keluarga (al lughah al ahliyyah / home language) karena bahasa itulah yang pertama kali digunakan oleh seseorang di rumah tangga. Misalnya bahasa Sunda, Jawa, Batak, Aceh, Padang dan sebagainya. Sementara itu bahasa kedua (al lughah al tsaniyyah / second language) adalah bahasa yang diperoleh dan setelah bahasa ibu dan biasanya digunakan dalam pergaulan di masyarakat. Nababan menyebutnya sebagai bahasa yang digunakan oleh masyarakat secara umum. Misalnya bahasa Indonesia yang digunakan sebagai bahasa pergaulan oleh masyarakat umum di Indonesia.
Pada perkembangan selanjutnya muncul istilah bahasa nasional (al lughah al wathaniyyah / national language) yaitu bahasa yang digunakan oleh suatu bangsa sebagai bahasa resmi negaranya. Atau dalam KBBI edisi IV (2008: 117) dijelaskan sebagai bahasa standar atau lingua franca di suatu Negara yang mempunyai banyak bahasa, karena perkembangan sejarah, kesepakatan bangsa, atau ketetapan perundang-undangan, seperti bahasa Indonesia. Jika bahasa ini sudah disahkan oleh undang-undang dan menjadi alat komunikasi di forum-forum resmi seperti surat menyurat dan pidato kenegaraan, maka bahasa ini lazim disebut misalnya bahasa Indonesia di Indonesia, bahasa Arab di Uni Emirat Arab, bahasa Inggris British di Inggris, bahasa Inggris American di America dan bahasa Jepang di Jepang dan sebagainya. (Hermawan 2011: 55-56). Dari kategori bahasa kesatu dan kedua di atas, dapat dijelaskan bahwa bahasa asing (al lughah al ajnabiyyah / foreign language) adalah bahasa yang digunakan di luar keluarga dan masyarakat secara umum. Misalnya bahasa Arab, Inggris, Jerman, Jepang, Mandarin, dan sebagainya bagi orang Indonesia. Khusus bahasa Arab di Indonesia, jika kita melihat gejala penggunaannya di masyarakat, bias jadi sebagai bahasa asing, bias juga sebagai bahasa kedua. Bagi lingkungan atau masyarakat umumnya bahasa Arab adalah bahasa asing, karena bukan merupakan bahasa pergaulan sehari-hari, Ini dapat kita saksikan di sekolah-sekolah Islam umumnya mulai dari Taman Kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Bahasa Arab diposisikan sebagai bahasa asing, termasuk kedudukannya dalam kurikulum.
Hal ini yang dapat dijadikan indicator keasingannya di sekolah-sekolah adalah bahwa bahasa Arab tidak digunakan sebagai bahasa pengantar pelajaran, tetapi sebagai materi pelajaran. Akan tetapi jika kita melihat lingkungan atau lembaga pendidikan khusus seperti pondok pesantren modern Gontor Ponorogo, Al Imarat Bandung, Darunnajah Jakarta dan LIPIA Jakarta, dan lain-lain, bahasa Arab biasa digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari, bahkan digunakan sebagai pengantar pelajaran, dan bukan sebagai materi pelajaran.
Maka dalam posisi ini bahasa Arab bukan lagi sebagai bahasa asing, namun sebahai bahasa kedua. Meskipun demikian, bahasa Arab dalam pandangan pemerintah adalah bahasa asing. Hal ini terbukti misalnya dalam peraturan Menteri Agama RI nomor 2 tahun 2008 tentang Standar Kompetensi dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab. Dalam peraturan tersebut dikatakan bahwa tujuan mata pelajaran bahasa Arab adalah: 1. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Arab, baik lisan maupun tulis, yang mencakup empat kecakapan berbahasa, yakni menyimak (istima’), berbicara (kalam), membaca (qira’ah) dan menulis (kitabah). 2. Menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya bahasa Arab sebagai salah satu bahasa asing untuk menjadi alat utama belajar, khususnya dalam mengkaji sumber-sumber ajaran Islam. 3. Mengembangkan pemahaman tentang saling keterkaitannya antara bahasa dan budaya serta memperluas cakrawala budaya. Dengan demikian peserta didik diharapkan memiliki wawasan lintas budaya dan melibatkan diri dalam keragaman budaya. (Hermawan 2011: 57). Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa secara formal bahasa Arab merupakan bahasa asing. Karena sebagai bahasa asing, sistem pembelajarannya adalah pembelajaran bahasa asing, mulai dari tujuan, materi, sampai kepada metode. Dengan demikian jika ada kalangan tertentu Indonesia yang menganggap bahasa Arab bukan bahasa asing, maka itu tidak resmi karena di luar patokan yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia.
Psikologi Pembelajaran Bahasa Arab Sebagai Bahasa Asing Psikologi dalam Linguistik Pada awal perkembangannya, Psikolinguistik bermula dari adanya pakar linguistic yang berminat pada Psikologi, dan adanya pakar Psikologi yang berkecimpung dalam linguistik. Dilanjutkan dengan adanya kerja sama antara pakar linguistic dan pakar psikologi, dan kemudian muncullah pakar-pakar psikolinguistik sebagai disiplin mandiri.
Dalam sejarah kajian linguistic ada sejumlah pakar linguistic yang menaruh perhatian besar pada Psikologi. Di antara mereka yang patut diketengahkan adalah Wilhelm Von Humboldt, Ferdinand de Saussure, Edward Sapir, Leonard Bloomfield, dan Otto Jespersen. Von Humboldt (1767-1835), pakar linguistic berkebangsaan Jerman, telah mencoba mengkaji hubungan antara bahasa (linguistic) dengan pemikiran manusia (psikologi). Caranya dengan membandingkan tata bahasa dari bahasa-bahasa yang berlainan dengan tabiat-tabiat bangsa-bangsa penutur bahasa itu. Dari kesimpulan itu diperoleh kesimpulan bahwa bahasa (tata bahasa) suatu masyarakat menentukan pandangan hidup masyarakat penutur bahasa itu. Dia menganggap bahasa bukanlah sesuatu yang sudah siap untuk dipotong-potong dan diklasifikasikan seperti aliran empirisme. Menurut Von Humboldt bahasa itu merupakan satu kegiatan yang memiliki prinsip-prinsip sendiri. (Chaer 2003: 12). Ferdinand de Saussure (1858-1913), pakar linguistic berkebangsaan Swiss, telah berusaha menerangkan apa sebenarnya bahasa itu (lingustik), dan bagaimana keadaan bahasa itu di dalam otak (psikologi). Beliau memperkenalkan tiga istilah tentang bahasa yaitu langage (bahasa pada umumnya yang bersifat abstrak, langue (bahasa tertentu yang bersifat abstrak) dan parole (bahasa sebagai tuturan yang bersifat konkret). Dia menegaskan objek kajian linguistic adalah langue, sedangkan objek kajian psikologi adalah parole. Ini berarti, kalau ingin mengkaji bahasa secara lengkap, maka kedua disiplin, yakni linguistic dan psikologi harus digunakan. Hal ini dikatakannya karena dia beranggapan segala sesuatu yang ada dalam bahasa itu pada dasarnya bersifat psikologi (Chaer 2003: 13). Dalam buku Course de Linguistique Generale yang diterbitkan oleh Charles Bally dan Albert Sechehay tahun 1915. Buku tersebut sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, kedalam bahasa Inggris oleh Wade Baskin (1966) dan kedalam bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat (1988).
Pandangan dalam buku tersebut mengenai konsep: telaah sinkronik dan diakronik, perbedaan langue dan parole, perbedaan significant dan signified an hubungan sintagmatik dan paragmatik (Chaer 2007: 346).
Edward Sapir (1884-1939) pakar linguistic dan antropologi bangsa Amerika, telah mengikutsertakan psikologi dalam pengkajian bahasa. Menurut Sapir, Psikologi dapat memberikan dasar ilmiah yang kuat dalam pengkajian bahasa. Beliau juga mencoba mengkaji hubungan bahasa (linguistic) dengan pemikiran (psikologi). Dari kajian itu beliau berkesimpulan bahwa bahasa terutama strukturnya merupakan unsure yang menentukan struktur pemikiran manusia. Beliau menekankan bahwa linguistic dapat memberikan sumbangan yang penting pada psikologi Gestalt dan sebaliknya psikologi Gestalt dapat membantu disiplin linguistic. Leonard Bloomfield (1887-1949) pakar linguistic bangsa Amerika dalam usahanya menganalisis bahasa telah dipengaruhi oleh dua aliran psikologi yang saling bertentangan, yaitu mentalisme dan behaviorisme.
Pada mulanya beliau menganalisis bahasa menurut prinsip - prinsip mentalisme. Beliau berpendapat bahwa berbahasa dimulai dari melahirkan pengalaman yang luar biasa, terutama sebagai penjelmaan dari adanya tekanan emosi yang sangat kuat. Jika melahirkan pengalaman dalam bentuk bahasa ini karena adanya tekanan emosi yang sangat kuat, maka muncullah ucapan (kalimat) ekslamasi. Jika pengalaman ini lahir oleh keinginan berkomunikasi maka lahirlah ucapan (kalimat) deklarasi. Jika keinginan berkomunikasi ini bertukar menjadi keinginan untuk mengetahui maka muncullah ucapan (kalimat) interogasi. Kemudian, sejak 1925 Bloomfield meninggalkan psikologi mentalisme Wundt, lalu menganut paham psikologi behaviorisme Watson dan Weiss. Beliau menerapkan teori psikologi behaviorisme dalam teori bahasanya yang kini dikenal sebagai ‚linguistic structural‛ atau ‚linguistic taksonomi‛. Otto Jespersen, pakar linguistic berkebangsaan Denmark, telah menganalisis bahasa menurut psikologi mentalistik yang juga sedikit berbau behaviorisme. Jespersen berpendapat bahwa bahasa bukanlah satu wujud dalam pengertian satu benda seperti sebuah meja atau seekor kucing, melaikan merupakan satu fungsi manusia sebagai lambing-lambang di dalam otak yang melambangkan pikiran atau yang membangkitkan pokiran itu. Beliau juga berpendapat bahwa berkomunikasi harus dilihat dari sudut perilaku. Jadi, juga bersifat behavioristik (Chaer 2003:13).
Kaum penganut psikologi behavioris menjelaskan tingkah laku dengan mengamati peranan respons. Perbedaan stimuli ternyata menghasilkan perbedaan respons dari pembelajar bahasa atau belajar apa saja. Respons itu dapat dalam bentuk acak atau teratur. Kaum behavioris meyakini bahwa respons akan menjadi penguatan dan dengan demikian telah menjadi kebiasaan. Kebiasaan ini, menurut kaum behavioris mempunyai dua ciri. Pertama, kebiasaan yang dapat diamati, yaitu kebenaran dasar yang dalam wujudnya dapat ditunjuk dan geraknya dapat diamati. Dalam hal ini mereka menolak adanya proses mental internal, dengan alasan mereka menghindari takhyul dan magis. Kedua, dengan kebiasaan itu akan berubah menjadi sesuatu yang otomatis. Kebiasaan seperti ini terjadi tanpa disadari dan dapat memanipulasi kesulitan dalam menerima stimuli (Ellis 1986).
Dalam hal pemerolehan bahasa ibu anak, kaum behavioris percaya bahwa hal itu terjadi atas latihan menirukan bahasa orang dewasa dalam usaha untuk menguasai bahasa tersebut. Mereka juga yakin bahwa pemerolehan bahasa kedua dan juga asing dapat didahului dengan peniruan. Peniruan dan penguatan sangat bermanfaat bagi pelajar dalam mengidentifikasi hubungan stimuli dengan respons dalam proses pembiasaan bahasa kedua dan asing. Pembelajaran bahasa kebanyakan berguna apabila dimanifestasikan melalui rangkaian stimuli respons secara praktis dan sistematis. Kaum behavioris menyadari bahwa proses belajar yang bersifat langsung dengan melalui tiruan belumlah cukup dalam menjelaskan peranan jenis kelamin. Interaksi yang bersifat simbolik akan mempertegas peranan yang lebih aktif tentang hakikat konsep diri sendiri sesuai dengan kodrat jenis kelamin. Dalam perkembangan yang lebih mutakhir tentang konsep diri sendiri, anak menyadari identitasnya sebagai pria atau wanita. Konsep diri sendiri pada anak berkembang lebih kompleks sehingga ia makin menyadari dirinya tentang keberadaannya (Hermawan 2011: 51). Kaum behavioris seperti Freeman berpendapat mengenai jenis kelamin itu adalah bahwa wanita lebih mampu berbahasa dibandingkan dengan pria. Dalam pekerjaan yang menggunakan tangan dan kemampuan teknik pria lebih unggul dibandingkan dengan wanita. Tes yang diberikan berupa tes ingatan menunjukkan bahwa wanita lebih baik hasilnya dibandingkan dengan pria (Skinner 1957). Problematika Pengajaran Bahasa Arab Sebagai Bahasa Asing Pembelajaran bahasa Arab bagi non Arab dimulai dari pertama kali pada abad ke-17, ketika bahasa Arab mulai diajarkan di Universitas Cambridge Inggris. Sementara di Amerika, perhatian terhadap bahasa Arab dan pembelajarannya baru dimulai pada tahun 1947 di sekolah-sekolah tentara Amerika. Di Mesir, terdapat banyak pusat pembelajaran bahasa Arab, ditandai dengan banyaknya proyek pengembangan bahasa Arab yang ada. Pada setiap pusat-pusat pembelajaran bahasa ini, dipastikan ada proyek pengembangan bahasa Arab lengkap dengan tujuan-tujuan khusus, sejumlah perencanaan dan materi-materinya (Yunus dan al Syeikh 2003). Pembelajaran bahasa Arab bagi non Arab merupakan satu hal yang tidak bias dihindari, karena urgensi bahasa Arab bagi masyarakat dunia saat ini, cukup tinggi baik yang muslim maupun non muslim. Hal ini terbukti dengan banyaknya lembaga-lembaga pembelajaran bahasa Arab di pelbagai Negara antara lain Lembaga Radio Mesir, Universitas Amerika di Mesir, Institut Kajian KeIslaman di Madrid Spanyol, Institut Syamlan di Lebanon, Markaz Khortum di Sudan, LIPIA di Jakarta, Institutinstitut Pembelajaran bahasa Arab milik Yayasan al Khoiry dari Emirat Arab yang tersebar di Indonesia, masing-masing di Surabaya, Makasar, Malang, Bandung dan Solo, dan pondokpondok Pesantren di pelosok negeri (Syuhadak 2006).
Banyak alasan mengapa orang-orang non arab mempelajari bahasa Arab, seperti disebutkan oleh Thu’aimah (Thu’aimah 1989) antara lain: a. Motivasi agama terutama Islam karena bahasa kitab suci kaum muslimin berbahasa Arab menjadikan bahasa Arab harus dipelajari sebagai alat untuk memahami ajaran agama yang bersumber dari kitab suci Al Qur’an. b. Orang non Arab akan merasa asing jika berkunjung ke Jazirah Arabia yang biasanya menggunakan percakapan bahasa Arab ‘amiyyah maupun fushha jika tidak menguasai bahasa Arab. c. Banyak karya-karya para ulama klasik bahkan hingga yang berkembang dewasa ini menggunakan bahasa Arab dalam kajian-kajian tentang agama dan kehidupan keberagaman kaum muslimin di dunia. Sudah bertahun-tahun kita mengeluhkan pengajaran bahasa Arab menyangkut keberhasilannya yang masih jauh dari harapan. Paling tidak ada dua problem yang sedang dan akan erus kita hadapi yaitu: 1. Problem kebahasaan yang sering disebut problem linguistic 2. Problem non kebahasaan atau problem non linguistic Pengetahuan guru tentang kedua problem itu penting agar guru dapat meminimalisasi problem tersebut dan dapat mencari solusi yang tepat untuk mengatasinya. Sehingga apa yang diharapkan dari pengajaran bahasa Arab dalam batasbatas minimal dapat tercapai dengan baik.
Problem kebahasaan antara lain meliputi: 1. Problem Aswat Arabiyah 2. Problem qowaid dan i,rab 3. Problem Tarokib (Hajjaj 1988).
Adapun problem non kebahasaan antara lain meliputi: 1. Motivasi dan minat belajar 2. Sarana belajar 3. Kompetensi guru baik akademik maupun paedagogik, kepribadian dan social. 4. Metode pembelajaran yang digunakan 5. Waktu yang tersedia
Dari kedua problem di atas nampaknya yang paling dominant mempengaruhi berhasil tidaknya pembelajaran bahasa Arab adalah problem-problem non kebahasaan yang salah satunya adalah metode. Kata Kunci Yang Terkait Dengan Pembelajaran Bahasa Asing: Ada tiga kata kunci yang perlu dipahami dengan baik dalam kaitan dengan pembelajaran bahasa Arab sebagai bahasa asing yaitu: 1. Pendekatan ( Al Madhol) 2. Metode (Al Thariqoh) 3. Teknik ( Al Tekniik) Konsep ini yang ditawarkan oleh Edward Anthony. Sedangkan menurut Richards juga ada tiga tetapi, dengan menggunakan istilah lain yaitu: 1. Pendekatan 2. Disain yang meliputi silaby, pemilihan materi, perumusan tujuan, dan penyediaan sarana belajar. 3. Prosedur.
Metode menurut Richards merupakan payung. Ini berarti kalau kita bicara metode, maka pada saat yang bersamaan kita bicara ketiga hal di atas. Metode pembelajaran bahasa nampaknya sangat dipengaruhi oleh pendekatan atau al madhol apa yang mendasari seseorang terhadap persepsinya tentang bahasa: Banyak sekali asumsi tentang bahasa misalnya : Bahasa adalah kebiasaan (al- ‘adah) dan kebiasaan membutuhkan pengulangan dan pembiasaan. Asumsi lain mengatakan bahwa bahasa adalah hebit (al-malakah) sedang tulisan hanyalah symbol. Yang lain mengatakan bahasa adalah apa yang diucapkan dan bukan apa yang seharusnya diucapkan. Masih banyak lagi asumsi-asumsi lain menyangkut bahasa yang dari asumsi itu melahirkan cara baik cara belajar maupun cara mengajar. Dari sini para pakar mengatakan bahwa pendekatan adalah sejumlah asumsi tentang bahasa. Dengan ungkapan yang sederhana dapat dikatakan bahwa bila asumsi oarng tentang bahasa adalah lisan maka ia akan mengajarkan bagaimana keterampilan berbahasa harus dicapai dan materi apa yang sesuai untuk mencapai tujuan itu. Sebaliknya bila asumsi orang tentang bahasa adalah yang tertulis atau tulisan, maka yang akan diajarkan adalah bagaimana memahami yang ditulis.
Saat guru mengajar di kelas baik pendekatan, maupun metode tidak akan nampak, karena keduanya menyatu di dalam seni mengajar atau teknik mengajar. Walaupun demikian guru bahasa harus berbekal dengan kompetensi akademik yang di dalamnya adalah penguasaan metode, penguasaan materi, dan pemahaman tentang berbagai pendekatan. Teori Yang Mendasari Metode Ada kategorisasi tentang metode yaitu: metode tradisional seperti metode qowaid dan terjemah, dan kedua metode modern. Kategorisasi ini didasarkan pada ada tidaknya teori yang mendasari metode. Ada dua kerangka teori yang mendasari sebuah metode sehingga ia disebut modern yaitu: 1. Teori Linguistik yakni teori tentang bahasa itu sendiri. 2. Teori Psikologi Pembelajaran Bahasa. Kedua landasan teori itulah yang digunakan untuk mengembangkan metode pembelajaran bahasa. Teori psikologi pembelajaran bahasa menegaskan bahwa orang belajar bahasa harus dengan stimulus-respon. Ini artinya belajar bahasa menuntuk keaktipan pembelajar. Namun, apa yang disebut stimulus tidak harus datang dari pihak luar atau dari orang lain, melainkan bisa diciptakan oleh pembelajar sendiri.
Teori psikologi pembelajaran bahasa ada beberapa aliran atau madzhab antara lain (Kushartanti 2007: 200): 1. Madzhab Behaviorisme yang tokohnya antara lain : Thorndike yang berpandangan bahwa belajar bahasa dilakukan dengan teori trial and error yang bisa dilakukan oleh guru dengan melatihkan pembelajar secara berulangulang. Ini menuntut guru harus pandai merekayasa lingkungan pembelajaran. Atas dasar pandangan inilah muncul metode al-samiyah syafahiyyah (aural oral approach). Yakni metode yang melatihkan kemahiran pendengaran dan kemudian melatihkan pengucapan secara baik dan benar. Metode ini menitik beratkan pada kegiatan reinforcement atau al-ta’ziz, yang medianya bisa menggunakan media tadribat, menghafal kosakata, dialog dan latihan pola-pola kalimat. 2. Madzhab Kognitif yang menyatakan bahwa lingkungan bukanlah penentu hasil pembelajaran. Pembelajar pada saat menerima stimulus mempunyai hak untuk menentukan pilihan respon yang sesuai. Pengikut madzhab ini adalah Noam Chomsky yang berpandangan bahwa setiap orang memiliki kesiapan fitrah untuk belajar bahasa.
Sejak lahir setiap oaring telah dibekali Allah SWT piranti pemerolehan bahasa (jihaz iktisab al-lughah). Karena itu dalam hal berbahasa ada dua istilah yang perlu dipahami yaitu (1) ta’allum al-lughah dan (2) iktisab al-lughah)
Teori linguistik atau teori kebahasaan yang turut mendasari lahirnya metode dan perkembangannya. Teori kebahasaan ini mendasari cara pandang terhadap hakikat bahasa. Dari teori ini lahir dua aliran atau madzhab: 1. Aliran Struktural yang dipelopori oleh Ferdinan de Saussure . Menurut aliran ini bahasa adalah : a. Ujaran (lisan) dan bukan tulisan. b. Kemampuan bahasa diperoleh melalui latihan pembiasaan dan pengulangan. Jadi bukan mengalihkan dari bahasa pembelajar ke dalam bahasa target(BT) c. Tiap bahasa mempunyai system yang berbeda dari yang lain. d. Tidak ada bahasa yang bisa dinyatakan unggul atas bahasa yang lain e. Semua bahasa yang hidup mengalami perkembangan baik kosa kata maupun pola dan strukturnya. f. Sumber baku bahasa adalah penutur bahasa tersebut. Dari sinilah muncul ungkapan ‚ bahasa adalah apa yang diucapkan dan bukan apa yang seharusnya diucapkan.” (Kushartanti 2007: 202).
Proses pembelajaran bahasa menurut aliran struktural ini adalah : 1. Pembiasaan, latihan dan menirukan harus diintensifkan 2. Kemahiran berbahasa harus dimulai dari mendengar, berbicara, membaca dan menulis. 3. Pendekatan pembelajaran bahasa bisa memanfaatkan analisis kontrastif (dirasah taqabuliyah) untuk mencari sisi kesamaan antara bahasa pembelajar dengan bahasa target dan mencari perbedaan-perbadaannya. 4. Perlunya contoh penuturan yang fasih menyangkut bunyibunyi, termasuk yang harus dibaca panjang dan pendek. Juga kefasihan struktur agar tidak terkesan mengarabkan struktur Indonesia. Dari dasar kedua teori baik linguistik maupun teori psikologi pembelajaran bahasa inilah muncul metode audiolingual. 2. Aliran Generatif-Transformasi dengan tokohnya yang terkenal yaitu Noam Chomsky. Menurut teori ini bahasa itu terdiri dari dua struktur yaitu struktur dalam (al-bina al-asasy) dan struktur luar (al-bina aldhahiry). Misalnya ketika orang mengatakan ‚ Al-muwaddhof ? Itu sama dengan kalau ia mengatakan ‚ hal anta muwadhof ? Selanjutnya menurut Chomsky kemapuan seseorang dalam berbahasa ada dua macam yaitu kompetensi ( al-kafa’ah) dan performasi (al-ada’). Ini artinya kemapuan seseorang dalam hal berbahasa antara kompetensi dengan performansi berbeda dan tidak berbanding lurus.Kemampuan al-ada’ lebih rendah dari kemampuan kompetensinya, baik dalam bahasa lisan maupun dalam bahasa tulisan. Menurut Chomsky kemampuan seseorang tentang tatabahasa baru brada pada kompetensi linguistic belum pada kemahiran berbahasa. Memang kemampuan seseorang dalam berbahasa pun dapat dibedakan menjadi : 1. Kemapuan berbahasa sekedar dapat dipahami ‚ Al-lughoh al-mufahhamah‛ 2. Kemampuan berbahasa fasih‛ Al-lughoh al-fasihah‛ 3. Kemapuan berbahasa indah Al-lughoh al balighoh‛ Chaer 2007: 108)
Berdasarkan teori transformasi generatif, maka pembelajaran bahasa dilakukan dengan mengikuti prinsip - prinsip sebagai berikut: 1. Bahwa kemampuan berbahasa merupakan sebuah proses kreatif. Karena itu pembelajar harus diberi kesempatan yang luas untuk mengkreasi ujaran-ujaran dalam situasi komunikatif, bukan sekedar menirukan dan verbalisme. 2. Pemilihan materi tidak ditekankan pada hasil analisis kontrastif melainkan pada kebutuhan komunikasi. 3. Kaedah nahwu hanya diberikan bila diperlukan dan lebih bersifat implicit untuk mendukung kemahiran berbahasa. Bagaimana Mengajarkan Struktur Yang Baik Perlu diingat bahwa qowaid termasuk di dalamnya tentang strukur atau tarakiib bukan lah tujuan, melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan ‚ Al-qowaid laisat ghayah wa innama hiya wasilah li al-wusul ila al-ghayah‛. Karena itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa‛ Dalam mengajarkan struktur di bawah payung all in one sitem pengajaran struktur diajarkan secara implicit karena tujuannya adalah untuk mendukung kemahiran berbahasa. Maka yang perlu dipahami adalah misalnya srtuktur ismiyah itu mulai dari mana? Dan hingga batas mana kemampuan yang ingin dicapai? Memang secara teori struktur dapat diajarkan melalui pendekatan dedutif yaitu mulai dari kaedah baru kemudian memberi contoh-contoh. Tapi contoh-contoh inilah yang nantinya dilatihkan. Karena itu contoh yang ditampilkan harus bahasa yang komunikatif. Pendekatan yang lain adalah pendekatan induktif yang dimulai dengan contoh-contoh baru pembelajar diminta untuk memberi kesimpulan kaedahnya.,
Pada presentasi makalah pada tanggal 12 Januari 2012 pemakalah mencoba mempresentasikan pertanyaan teori atau metode pendekatan yang tepat dilakukan disekolah pada siswa berupa pendekatan dedutif atau induktif. Pemakalah berpendapat ketika kita sebagai pengajar dan pendidik di sekolah tentu kita harus tahu teori pendekatan yang kita gunakan baik dedutif maupun induktif dengan melihat bagaimana kondisi anak didik di sekolah, kadang teori yang kita terapkan dapat berbeda dalam satu hari karena kondisi anak. Memberikan kaedah terlebih dahulu kemudian memberi contoh atau pendekatan dedutif kadang sulit bagi anak, maka kita sebagai pendidik dapat mengubah dengan teori pendekatan induktif memulai dengan contoh-contoh baru pembelajar diminta untuk memberi kesimpulan kaedahnya.,/p>
Pembelajaran struktur implicit untuk mencapai kemahiran berbahasa dapat menggunakan beberapa media antara lain: 1. Qowalib yakni dengan cara mengganti satu kata, tetapistrukturnya masih sama misalnya: هذا ولد ذكى هذه ----- ---- )بنت) هذا -------- - )تلميذ) هذا تلميذ جمد ) جمد ( ة 2. Dengan model Tahwil yakni mengubah bentuk, misalnya dari ismiyah menjadi fi’liyah atau sebaliknya, dari mubtada muqaddam menjadi mubtada muakhar dst.Misalnya : ) فعلية ( يذهب امحد إىل املدرس ) امسية ( امحد يذهب إىل املدرسة )منفى ( ال يذهب املدرس إىل املدرسة
Kesimpulan Penyelesaian Problem pembelajaran bahasa Arab khususnya dan bahasa asing umumnya belum mencapai tingkat keberhasilan yang memadai. Banyak faktor yang menyebabkannya, salah satunya adalah persoalan metode pembelajaran yang digunakan. Walaupun demikian metode hanyalah salah satu dari banyak faktor dan metode pada saat digunakan terkait dengan faktor-faktor lain, seperti sarana belajar, lingkungan belajar, motivasi , kompetensi guru dan profesionalismenya. Maka untuk membenahi itu semua hal yang harus dilakukan adalah pembenahan terhadap kompetensi dan profesionalisme guru mulai dari jengjang pendidikan paling rendah hingga tingkat tinggi. Di samping itu paradigm pembelajaran bahasa Arab harus diubah dari sekedar sebagai alat spiritualisasi menjadi alat saintifikasi dan perubahan ini harus didukung dengan politik pemerintah baik Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim maupun pemerintah Negara – Negara Arab yang mestinya memiliki semangat kuat untuk mengembangkan masyarakat muslim berbahasa Arab melalui pemberian bea siswa besar-besaran untuk study lanjut dan bahkan peluang bekerja di Negara-negara Timur Tengah dengan syarat memiliki kompetensi berbahasa Arab secara baik lisan maupun tulisan.,
Daftar Pustaka http://Supriyadie.wordpress.com/2008/06/11/Peran bahasa Arab sebagai bahasa Internasional Pada Kuliah Umum Prof. Dr. Alwi Shihab dengan tema Peran Bahasa Arab Sebagai Bahasa Internasional dan Bahasa Diplomasi di Auditorium Arifin Panigoro, Universitas Al Azhar Indonesia 27 Desember 2007. Ali Hajjaj, Al Lughah al-Lisaniyah Ta’limuha wa Ta’allumauh, Kuwait, 1988 Bambang, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa, Jogyakarta, Karnisius, 1990 Baraja, M.F, Kapita Selekta Pengajaran Bahasa, Malang, IKIP Malang , 1990 Effewndy, Ahmad Fuad, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab,Malang, Penerbit Misykat, 2005 Manshoer Pateda, Linguistik Terapan, Jogyakarta Penerbit Nusa Indah, 1991 Kushartanti, Untung Yuwono, Multania RMT Lauder, Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Cet Kedua: April 2007. Abdul Chaer, PSIKOLINGUISTIK KAJIAN TEORETIK, Penerbit Rineka Cipta, Cet Pertama: September 2003. Abdul Chaer, Linguistik Umum, Penerbit Rineka Cipta, Cet Ketiga: Juni 2007. Prof. Dr. Iskandarwassid, M.Pd dan Dr. H. Dadang Suhendar, M.Hum., Strategi Pembelajaran Bahasa, diterbitkan atas kerjasama Sekolah PascaSarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Cet Kedua, Oktober 2009. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Cetakan IV Gramedia Pustaka Umum Jakarta 2008 Sri Utari Subyakto Nababan, Metodologi Pengajaran Bahasa, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta 1993 Acep Hermawan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Penerbit PT Remaja Rosdakarya Bandung, Cet Pertama Januari 2011 Syuhadak, Pembelajaran Bahasa Arab bagi Muslim Indonesia (naskah pidato ilmiah pada Rapat Terbuka Senat UIN Malang, 2005-2006) UIN Malang 2006. Rusydi Ahmad Thu’aimah, Ta’lim al Lughah Lighair al Nathiqina biha, Rabat ISESCO 1989
No comments:
Post a Comment