Tuesday 14 February 2017

Sejarah Bahasa Arab

SEJARAH ILMU NAHWU (2) Tarikh al-'Ulum al-'Arabiyyah PENDAHULUAN Ilmu Nahwu sejak awal perkembangannya sampai sekarang senantiasa menjadi bahan kajian yang dinamis di kalangan para pakar linguistik bahasa Arab. Sebagai salah satu cabang linguistik (ilmu lughah), Ilmu Nahwu dapat dipelajari untuk dua keperluan. Pertama, Ilmu Nahwu dipelajari sebagai prasyarat atau sarana untuk mendalami bidang ilmu lain yang referensi utamanya ditulis dengan bahasa Arab, misalnya Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, dan Ilmu Fiqih. Ilmu Nahwu dipelajari sebagai tujuan utama sebagai spesialisasi Linguistik bahasa Arab. Ilmu Nahwu telah menjadi tradisi yang berkembang secara berkesinambungan di kalangan masyarakat Arab (Islam) dahulu sampai sekarang. Hampir semua pakar agama Islam sejak akhir abad kesatu Hijriah sampai sekarang mempunyai penguasaan yang baik terhadap Ilmu Nahwu. Bahkan tidak jarang dari mereka yang menjadi pakar dalam bidang nahwu di samping kepakaran mereka dalam bidang agarna. Sebagai contoh, Imam Ibnu Katsir, An-Nawawi, Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Hisyam, dan Az-Zamakhsyari adalah tokoh-tokoh handal dalam bidang ilmu agama, dan pada saat yang sama kepakaran mereka dalam bidang ilmu nahwu juga diakui di kalangan ulama. Dlaif (1968) membagi perkembangan Ilmu Nahwu berdasarkan aliran-aliran (madzhab) menjadi: (1) aliran Bashah, (2) aliran Kufah, (3) aliran Baghdad, (4) aliran Andalusia, dan (5) aliran Mesir. Ilmu Nahwu sebagaimana yang kita kenal sekarang ini yang sarat dengan berbagai aturan dan teori meupakan hasil dari sebuah proses yang cukup panjang dalam sejarah linguistik Arab. Dimulai dengan kegiatan kodifikasi dan sistemisasi kosakata bahasa Arab yang cukup menyita waktu, barulah para ahli bahasa (al-Lughawiyyûn, linguist) membangun dan meletakkan prinsip-prinsip dasar aturan bahasa tersebut. Prinsip-prinsip dasar nahwu pada mulanya bersifat sangat sederhana kemudian berkembang menjadi sebuah “ilmu” yang sangat pelik dan rumit. Nahwu tidak lagi sekedar berfungsi sebagai aturan atau tatabahasa yang bersifat deduktif, tetapi juga telah menjadi (salah satu) instrumen memahami al-Qur’an itu sendiri yang pada gilirannya memunculkan banyak teori nahwu yang dikembangkan oleh para ahli nahwu (nuhât, grammarian). Hal ini tentu, paling tidak menurut hemat penulis, justeru semakin mempersulit memahami dan mempelajari ilmu Nahwu itu sendiri. Teori-teori nahwu ini kian tambah rumit setelah ilmu ini juga dikembangkan oleh para teolog (al-Mutakallimûn) dan juga para filosof (al-Falâsifah) yang berupaya memasukkan prinsip-prinsip logika dan rasionalitas ke dalam ilmu nahwu. Kesan rumit dan pelik ini diperparah lagi dengan munculnya aliran-aliran dalam nahwu; aliran Basharh, Kufah, Bagdad dan Andalusia yang masing-masing memiliki karakter dan mengembangkan prinsip-prinsipnya sendiri.   PEMBAHASAN A. Aliran-Aliran Nahwu 1. Nahwu Aliran Bashrah Bashrah adalah kota perdagangan di pinggir negara-negara Arab. Di sana, mengalir sungai Tigris dan Euphrates yang bermuara ke laut. Basrah terletak pada jarak tiga ratus mil tenggara Bagdad. Namanya diperoleh dari sifat tanahnya. Bashrah adalah tempat yang tanahnya halus berbatu, banyak mengandung air dan bagus untuk pertanian. Hal ini diperlihatkan dengan adanya buluh (qashb), yaitu: tanah yang cocok untuk dijadikan tempat tinggal, dan memungkinkan untuk berkembang dan mengambil manfaat dari tempat-tempatnya yang bersifat natural. Struktur Bangunan Bangsa Arab adalah bangsa Baduwi. Mereka lahir, tumbuh dan berkembang di daerah pedalaman. Tempat gembala mereka adalah padang sahara, makanan mereka bersumber dari alam, dan minuman mereka berasal dari air hujan yang alami pula. Mereka pun menghirup udara yang bersih. Kondisi seperti inilah yang tidak mungkin memisahkan dan menjauhkan mereka dari alam, karena alam merupakan tempat tinggal mereka, tempat sekawanan ternak yang mereka miliki dan asas kehidupan mereka, sehingga tatkala mereka keluar untuk menaklukkan negara-negara yang berdekatan, mereka sangat rindu untuk kembali ke pedalaman dan kangen akan padang sahara. Tatkala khalifah Umar bin al-Khattab menaklukkan Persia, ia mengutus Matsna bin Harits asy-Syaibani untuk melakukan serangan ke hutan, sebagai persiapan untuk melakukan penaklukkan besar-besaran. Kemudian, ditugaskan pula Sa’d bin Abi Waqash untuk menaklukkan kota-kota. Beliau juga mengutus tentara yang dipimpin ‘Utbah bin Ghazwan untuk mempersulit posisi penduduk Ahwaz, Persia dan bergerak membantu saudara mereka yang sedang berperang yaitu Sa’ad bin Abi Waqash. Ketika ‘Utbah pergi ke selatan Irak, ia bertemu dengan Suwaid bin Qutbah adz-Dzuhli beserta kekuatan dari bani Bakr bin Wail dan bani Tamim yang sedanbg bergerak mendekati pasukan yang berdekatan dengan mereka di Persi. ‘Utbah pun menyatukan tentara Suwaid dengan pasukannya dan mereka tingal di tenda-tenda. Akan tetapi ‘Utbah berpendapat bahwa pasukannya membutuhkan tempat tinggal yang bisa dipakai lagi jika kembali dari berperang dan melindungi mereka dari dinginnya hujan. Dia pun menulis surat pada Khalifah untuk meminta ijin tentang gagasannya tersebut. Umar membalas dengan pernyataan: “kumpulkanlah pasukanmu di satu tempat yang dekat dengan air dan terjaga, jangan ada gunung dan sungai yang memisahkan kita, dan tuliskanlah sifat tempat yang kau maksud”. Maka ‘Utbah menulis: “sesungguhnya hamba menemukan tempat yang tanahnya berkerikil, yang berada diujung pedalaman, terdapat air dan buluh di dalamnya”. Umar mengatakan:“sesungguhnya inilah Bashrah, dekat dengan sumber air, tempat perlindungan, dan juga tempat mencari kayu bakar”. Beliau menyepakatinya untuk dijadikan tempat pemukiman tentara. Bashrah: Pionir bagi Ilmu Nahwu Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Nahwu tumbuh dan berkembang di di tangan para ulama Bashrah. Sebenarnya Kufah telah melakukan hal yang sama, namun bagaimanapun juga, Bashrahlah sebagai pionir dan yang paling awal dalam hal ini. Ketika para ulama Kufah mulai sibuk dengan Nahwu mutakkhir kira-kira sepadan dengan ilmuwan Bashrah di era sempurna. Terciptanya kondisi Bashrah seperti ini tidak lepas dari beberapa hal berikut: 1. Letak Geografis Bashrah terletak pada jarak tiga ratus mil ke arah tenggara dari kota Bagdad, terdapat sungai Tigris dan Euphrates yang mengalir dan bermuara di laut. Kondisi strategis seperti ini tentunya akan berpengaruh kuat terhadap pembentukan personalitas penduduk, dan membuat mereka terkenal juga kematangan berfikir. Letak kota Bashrah yang berada di pinggir pedalaman, fasih bahasa yang murni, dan terbebas dari cacat lachn dan kata-kata asing. Di sana terdapat para ilmuwan yang kadangkala melakukan perjalanan ke pedalaman, namun adakalanya membawa orang Badui ke kota mereka. Di tengah perjalanan, biasanya mereka bertemu dengan orang Arab asli dan melakukan pembicaraan dari sumber bahasa yang asli. Orang yang terkenal melakukan perjalanan ke pedalaman untuk melakukan survey bahasa dan mengumpulkannya adalah Khalil bin Ahmad, Yunus bin Habib, Nadhar bin Syamil, dan Abu Zaid al-Anshari. Hal ini tampak jelas sekali dari perkataan Khalil ketika ditanyai oleh al-Kisai tentang sumber-sumber ilmunya (pedalaman Hijaz, Najd dan Tihama), maka dengan serta merta, al-Kisai pun keluar menuju pedalaman dan menghabiskan lima belas botol tinta untuk menulis bahasa Arab selain dari yang sudah dihafalnya. Kedatangan orang-orang Badui dari pedalaman ke Bashrah sungguh telah memberikan gambaran yang beraneka ragam. Dari mereka yang tinggal hanya untuk sementara kemudian kembali ke pedalaman dan adapula yang tinggal cukup lama dan baru kembali ke qabilah mereka, bahkan jika ada yang mendapatkan tempat yang nyaman di Bashrah mereka tidak kembali. Banyak para siswa yang belajar bahasa menemui orang-orang Badui untuk mendengar percakapan mereka dan mengambilnya. Mengingat Bashrah sebagai pelabuhan perdagangan bagi Irak di teluk Arab, maka datanglah unsur-unsur asing yang berimbas pada kemajuan di bidang perdangan dan investasi. Dari sinilah terjadi pertemuan antara orang-orang Arab, Persia dan India, sekaligus merupakan perjumpaan antara agama Nasrani, Yahudi, Majusi dan Islam. Kedekatan Bashrah dengan madrasah Gandisabur di Persia yang mempelajari kebudayaan Persia, Yunani dan India telah menghantarkan pada pertautan kebudayaan secara menyeluruh. Maka mucullah upaya penerjemahan pada masa Umar bin Abdul Aziz yang dilakukan oleh Masir Haubah dengan menerjemahkan buku kedokteran. Hal yang sama Abdullah al-Muqaffa’ yang pandai berbahasa Arab dan Persia. Dia menerjemahkan peningalan-peninggalan sejarah dan sastra Persia ke dalam bahasa Arab. Dari putranya yang bernama Muhammad, lahirlah terjemahan bahasa Arab untuk ilmu mantiq-nya Aristoteles dan terjemahan Kalilah wa Dimnah. Terdapat juga penerjemah Yahudi yang bernama Hunain bin Ishaq yang menerjemahkan buku-buku dan mendapat imbalan berupa emas untuk setiap timbangannya. Di Bashrah, terdapat aliran Ayi’ah dan Mu’tazilah yang telah membuka lebar pengambilan keilmuan Yunani. Ini sangat berpengaruh dalam mazhab ilmu kalam mereka dan juga berimbas pula pada ilmu nahwu dalam hal taqsim, ta’lil, ta’wil dan qiyas. 2. Stabilitas Sosial Bashrah adalah kota yang aman dan stabil serta terlepas dari istabilitas politik dan pertentang mazhab. Kondisi seperti ini telah menghantarkan Bashrah menjadi kota yang berperadaban, disibukkan dengan berbagai aktifitas keilmuan, dan memanfaatkan anekaragam kebudyaan. Terjadilah pertemuan keilmuan yang berbeda dan muncul pulalah mazhab-mazhab agama dan fisafat. Kehidupan yang stabil ini juga menuntut kehidupan intelektualitas yang tertib. 3. Pasar Mirbad Pasar Mirbad adalah pasar yang sangat terkenal, terletak di pintu barat kota Bashrah. Dulu pasar ini dinamai Pasar Unta (suq ibil) karena terbatas hanya pada penjualan unta, kemudian dinamakan Mirbad karena unta ditinggalkan di tempat tersebut. Oleh karena itu, setiap tempat yang digunakan untuk menambatkan unta dinamakan mirbad. Kemudian jadilah tempat tersebut tempat yang terkenal dan di sana diadakan unjuk kebolehan di bidang puisi dan khitabah. Adapun sebab didirikannya pasar Mirbad adalah karena orang-orang Arab yang datang ke Bashrah dari tengah Jazirah Arab menemukan di pinggiran kota tersebut tempat yang nyaman untuk menunda perjalanan. Mereka kemudian menjadi penduduk Bashrah. Mereka menanti di tempat tersebut untuk berdagang dan saling bertukar hal-hal yang bermanfaat. Alangkah cepatnya tempat tersebut menjadi pasar besar yang sibuk dengan perdagangan di mana para empunya adalah para penyair dan sastra sehingga hiduplah nuansa satra. Merekapun bersaing di Ukaz dalam keindahan. 4. Masjid Bashrah Terdapat berbagai macam majelis di dalam masjid tersebut diantaranya majelis kajian tafsir, ilmu kalam, bahasa dan lain-lain. Para imamnya adalah penduduk Bashrah sendiri yang berbangsa Arab, Persia dan India dan sebagian lagi orang-orang Badui yang datang dari pedalaman. Diantara majelis-majelis yang ada adalah sebagai berikut: a. Majelis Himad bin Sulmah. Sibawaih ikut bergabung dalam majelis tersebut. b. Majelis Musa bin Siyar al-Aswari. Jahizd berkomentar tentangnya:“Ini merupakan keajaiban. Dia sangat fasih berbahasa Persia sama halnya dengan bahasa Arabnya. Dia duduk di majelisnya yang terkenal itu, sementara di sebelah kanannya orang Arab dan di sebelah kirinya orang Persi. Dia pun mulai membacakan al-Qur’an dan menafsirkannya dengan orang Arab menggunakan bahasa Arab dan berpaling ke orang-orang Persi dan manfsirkan ayat al-Qur’an dengan bahasa Persia”. c. Majelis Abu Umar bin al-Ila. Dia megajar qira’ah, bahasa, dan nahwu. Murid-muridnya berdesak-desakan di dalamnya. Suatu ketika, Hasan al-Bashri lewat dan menyaksikan betapa berjejalnya murid-murid yang mengikuti majelis tersebut maka ia pun berkata:” la ila ha illallah, hampir para ulama menjadi tuhan-tuhanan, setiap kemualian tidak dibentengi dengan ilmu maka kehinaanlah yang berkuasa” d. Di antara majelis-majelis Bashrah yang paling terkenal adalah majelis Khalil bin Ahmad al-Farahidi, yang diikuti para murid yang kemudian menjadi pakar bahasa dan nahwu semisal: Sibawaih, an-Nadhar bin Syamil, Ali bin Hamzah al-Kisai, Abi Muhammad al-Yazidi, al-Ashmai dan yang lainnya. e. Majelis Yunus bin Habib yang dipenuhi pula murid-muird. Di antara para pemimpin majelis ini yang terkenal adalah Abu Ubaidah, al-Ashmai, Abu Zaid al-Anshari, Abu Muhammad al-Yazidi, Qathrab, Sibawaih, Abu Umar al-Jurmi, al-Kisai, al-Farra’, Khalf Ahmar dan Ibnu Salam al-Jum’i. Halaqah Yunus dimulai pada masa Khalil dan mencapai kesempurnaan setelah wafatnya. Banyak tergabung para tokoh ke dalam majelis Yunus tersebut. Tentang majelis Yunus ini, Marwan bin Abi Hafsah berkata:“Saya belum pernah melihat halaqah yang paling mulia kecuali halaqah-nya Yunus”. Basrah Mengembangkan Ilmu Nahwu Pada awal perkembangannya, nahwu masih merupakan ilmu dengan lingkup yang kecil. Abu al-Aswad menemukannya dan kemudian dikuatkan oleh Imam Ali ra. Ilmu ini mendapat iklim yang bagus untuk berkembang di Basrah sesuai dengan keadaan Basrah waktu itu. Ilmu nahwu sangat diperlukan di Basrah karena sangat banyak kesalahan bahasa di sana. Kaum muslim non Arab di Basrah sangat membutuhkan ilmu nahwu untuk memperbaiki bahasa, menghilangkan pengaruh bahasa asing, mendalami agama Islam, dan meningkatkan kedudukan mereka di kalangan orang Arab. Setelah Abu al-Aswad membangun sistematika ilmu nahwu, ternyata orang Arab juga membutuhkannya dalam berbahasa. Setelah masa Abu al-Aswad, perbedaan mulai timbul di antara para muridnya, seperti ‘Abdurrahman bin Hurmuz, Maimun al-Aqran, ‘Anbasah al-Fil, Yahya bin Ya‘mur, Nasr bin ‘Asim, dan juga para murid berikutnya, seperti ‘Isa bin ‘Umar, Abu ‘Amr bin al-‘Ala, dan Yunus bin Habib. Terkait dengan perkembangan ilmu nahwu, ada lima tahap perkembangan yang penting untuk diketahui, yaitu: 1. Penggunaan contoh dan dalil. Cara ini dipakai agar pendapat yang diambil benar dan sesuai dengan perkataan orang Arab. Abu al-Aswad memakai cara ini ketika Bani Qusyair mempertanyakan masuknya dia ke dalam kelompok Syiah. Kemudian Abu al-Aswad mengucapkan sebuah syair yang berbunyi ولست بمخطئ إن كان غيا فإن يك حبهم رشدا أصبه Syair ini adalah bukti bahwa Abu al-Aswad tidak ragu-ragu. Pendapat Abu al-Aswad terkait dengan hak untuk berbeda pendapat. Dia menggunakan ayat al-Qur’an sebagai dalil, yaitu ayat yang berbunyi: وإنا أو إياكم لعلى هدى أو فى ضلال مبين (سبأ : 24) Pada kesempatan yang lain, Abu al-Aswad juga menjelaskan bolehnya menggunakan perkataan لولاي . Hal ini sesuai dengan sebuah syair yang berbunyi: وكم موطن لولاي طيحت كما هوى # بأجرامه من قنة النيق منهرى 2. Penggunaan pendapat ulama terdahulu. Hal ini misalnya yang terjadi pada ‘Abdullah bin Abi Ishaq yang membaca: قل هو الله أحدٌ الله الصمد Kemudian dia mendengar Nasr bin ‘Asim membacanya dengan cara: قل هو الله أحدُ الله الصمد karena bertemunya dua tanwin. ‘Abdullah mengatakan kepada Nasr bahwa ‘Urwah membaca ayat tersebut dengan tanwin, tetapi Nasr mengatakan bahwa bacaan ‘Urwah tidak baik. Maka ‘Abdullah membaca ayat tersebut tanpa tanwin seperti yang dikatakan oleh Nasr. 3. Perbedaan pendapat Perbedaan pendapat ini terkait dengan prinsip-prinsip yang dirumuskan sendiri oleh para ahli nahwu. Sebagai contoh adalah ‘Abdurrahman bin Hurmuz yang membaca ayat dengan bacaan: أو يأتيهم العذاب قُبُلاً (الكهف : 55) Hal ini berbeda dengan ‘Isa bin ‘Umar yang membaca: أو يأتيهم العذاب قِبَلاً (الكهف : 55 ) ‘Abdullah bin Abu Ishaq juga membaca beberapa ayat dengan cara berbeda, misalnya: يا ليتنا نردَ ولا نكذبَ بآيات ربنا ونكونَ من المؤ منين (الأنعام : 27) والزانيةَ والزانيَ (النور : 2 ) dan والسارقَ والسارقةَ (المائدة : 38) 4. Pemeriksaan dan Penafsiran Para ahli nahwu mulai memeriksa kaidah dan menafsirkan teks sesuai dengan kaidah yang mereka susun. Sebagai contoh adalah perbedaan penafsiran antara ‘Isa bin ‘Umar dan ‘Amr bin al-‘Ala. Keduanya membaca sebuah ayat dengan cara yang sama, yaitu ayat: يا جبال أوبي معه والطيرَ (سبأ : 10) . Akan tetapi, keduanya berbeda dalam penafsiran. Bagi ‘Isa, cara pembacaan seperti di atas terkait dengan adanya nida’, sedangkan Abu ‘Amr menyatakan adanya idmar dengan سَخَّرْنَا seperti dalam ayat yang berbunyi:) ولسليمان الريحَ ( سبأ : 12 . 5. Pemberlakuan Aturan Nahwu. Pemberlakuan ini dilakukan oleh para ahli nahwu terkait dengan penggunaan bahasa Arab di kalangan umat Islam. Sebagai contoh adalah Abu Muslim yang menjadi pengajar khalifah Malik bin Marwan. Dia bertanya kepada seseorang mengenai ayat:(تأزهم أزا (مريم : 83 dan ( إذا الموءودة سئلت (التكوير : 8 ketika dipakai dalam contoh ungkapan يا فاعلٌ افعلْ . Maka orang itu menjawab dengan perkataan: يا آز اُز dan يا وائد اِد . Maka Abu Muslim merasa bahwa perkataan ini tidak pernah didengarnya dari orang Arab dan memutuskan untuk tidak digunakan di kalangan umat Islam. Generasi Nahwu Madzhab Bashrah Generasi Pertama 1. Abul Aswad Ad-Duali Nama lengkapnya Dzhalim bin Umar bin Supyan bin Jundal bin Ya’mur bin Halis bin Nufatsah bin ‘Uda ibn Du’al bin Abdu Manah bin Kinanah, dikatakan juga bernama Utsman. Dia seorang penduduk Bashrah dan memiliki kekuatan ingatan. Abul Aswad termasuk orang yang fasih bacaannya. Dia belajar qira’ah dari Utsman bin ‘Affan, Ali ibn Abi Thalib, yang meriwayatkan qira’ahnya adalah putranya sendiri Abu Harb dan Yahya bin Ya’mur. Para ahli sejarah menyimpulkan bahwa Abul Aswad adalah orang pertama yang menyusun ilmu Nahwu setelah mendapat rekomendasi dari Ali r.a. Abul Asawad meninggal di Bashrah pada tahun 69 H, pada usia delapan puluh lima tahun ketika terjadi wabah pes, namun adapula yang mengatakan bahwa ia wafat sebelum terjadinya wabah pes. 2. Abdurrahman bin Hurmuz Nama lengkapnya Abu Dawud Abdurrahman bin Hurmuz bin Abi Sa’ad al-Madini al-A’raj, hamba Ibnu Rabi’ah bin al-Harits bin Abdul Muthalib. Abdullah bin al-Hai’ah meriwayatkan dari Abi Nadhr bahwa Abdurahman bin Hurmuz adalah orang pertama yang menyusun bahasa Arab dan dialah orang pertama yang paling tah ilmu nahwu dan seorang keturunan Quraisy. Abdurrahman bin Hurmuz termasuk ahli qari dan juga termasuk rijalul hadits. Ini diriwayatkan dari Abdullah bin Bahinah, Abu Hurairah dan Abdurrahman bin Abdul Qari. Ia termasuk ahli fiqih dan berbeda pendapat dengan Malik bin Anas, ilmu yang diperdebatkan adalah mengenai ushul al-din. Abdurrahman bin Hurmuz pindah ke Iskandariah, dan bermukim di sana sampai wafat pada tahun 117 H. Karakteristik periode ini: a. Tergabung dalam profesi Qori’. Para ulama Bashrah secara menyeluruh sebagai Qari Al-Qur’an, yang mempelajari hukum-hukumnya, yang haus akan bacaan al-Qur’an dan juga sebagai para perawi hadits. b. Memberi perhatian khusus terhadap lahn dalam kalam Arab, dan dalam al-Qur’an dan menentang fenomena terlarang ini. c. Mushaf-mushaf diberi titik dengan i‘rab yang dimulai oleh Abul Aswad Ad-Duali yang mendapat nasihat dari Ziyad ibn Abihi, kemudian diikuti oleh murid-murid setelahnya, sebagai penentangan terhadap lahn dalam al-Qur’an. d. Awal penysusunan ilmu nahwu mendapat petunjuk dari Imam Ali r.a yang diawali oleh Abul Aswad dan diikuti oleh murid-muridnya. e. Tidak terdapat peninggalan berupa tulisan tentang generasi ini kecuali riwayat yang diklaim oleh Ibn Nadiim dan Qifthi. Generasi Kedua 1. Yahya bin Ya’mur Al-Udwan Al-Laitsi Abu Sulaiman Yahya bin Ya’mur bin Wasyqah bin Auf bin Bakr bin Yaskur bin Udwan ibn Qais bin Ilan bin Mudhar. Dia dari golongan Bani Laits. Ibnu Ya’mur termasuk orang yang belajar dari Abul Aswad mengenai memberi titik mushaf dengan titik i‘rab. 2. Maimun Al-Aqran Abu Abdullah Maimun Al-Aqran, dipanggil juga Maimun bin al-Aqran. Belajar Nahwu dari Abul Aswad. Abu Ubaidah berkata:”Orang yang pertama kali menyusun ilmu nahwu adalah Abul Aswad Ad-Duali, kemudian Maimun al-Aqran, kemudian Anbasah al-Fail, dan Abdullah bin Abi Ishaq”. 3. Anbasah Al-Fil Anbasah bin Mu’dan al-Misani al-Mahri. Orangtuanya (Mu’dan) adalah dari Misan, kemudian berpindah ke Bashrah dan bermukim di sana. 4. Nashr bin Ashim Al-Laitsi Nama lengkapnya Nashr bin Ashim bin Umar bin Khalid bin Hazm bin As’ad bin Wadi’ah bin Malik bin Qais bin Amir bin Laits bin Bakr bin Abdi Manah bin Ali bin Kinanah. Dalam hal keturunan ia bertemu dengan Abul Aswad Ad-Duali dari Bakr bin Abdi Mannah. Ia seorang yang faqih dan berpengetahuan di bidang bahasa Arab, termasuk dari tabiin terdahulu: Ia juga termasuk ahli Qira yang fasih, dalam hal al-Qur’an dan nahwu ia menyandarkan pada Abul Aswad. Nashr belajar Nahwu juga dari Yahya bin Ya’mur. Dari Abu Umar bin Ula dikatakan bahwa ia memiliki sebuah buku dalam bahasa Arab. Ia meninggal pada tahun 89 H. Karakteristik periode ini: a. Tergabung dalam profesi Ahli Qira dan Ahli Hadits. b. Memiliki perhatia pada realitas lahn dalam kalam Arab dan al-Qur’an, juga dalam pembicaraan para pemimpin seperti al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqfi dan pemimpin lainnya. c. Ada kesepakatan dalam memberi titik mushaf dengan titik i‘rab. d. Memberi titik mushaf dengan titik dan harakat atas nasihat dari Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqfi. e. Terdapat tambahan atas penyusunan ilmu Nahwu. f. Belum terdapat peninggalan berupa tulisan. Generasi Ketiga 1. Abdullah bin Abu Ishak Ia belajar al-Qur’an dari Yahya bin Ya’mur dan Nashr bin Ashim dan belajar nahwu dari Maimun al-Aqran. Dikatakan bahwa ia belajar nahwu dari Yahya bin Ya’mur. Hatim meriwayatkan dari Dawud bin Zibriqah dari Qatadah bin Da’amah ad-Daus, ia berkata:”Orang pertama yang menyusun nahwu setelah Abul Aswad adalah Yahya bin Ya’mur, dan belajar darinya Abdullah bin Abu Ishak. 2. Abu Umar bin Ula Al-Riyasy meriwayatkan dari al-Ashma‘i, ia berkata:”Saya bertanya pada Abu Umar:”Siapa namamu?” Ia menjawab:”Nama saya Abu Umar”. Abu Ubaidah berkata:”Abu Umar adalah manusia yang paling tahu di bidang sastra, bahasa Arab, al-Qur’an dan puisi”. Al-A‘shami berkata:”Saya bertanya pada Abu Umar seribu pertanyaan, maka dia pun memberi jawaban dengan seribu hujjah”. Ia meninggal di Kufah pada tahun 154 H, ada pula yang mengatakan 159 H. 3. Isa binAmr ats-Tsaqfi Ia belajar nahwu dari Abdullah bin Ishak dan Abu Umar al-Ula. Kemudian, Al-Khalil bin Ahmad, Yunus bin Habib dan Sibawaih.belajar darinya. Karakteristik periode ini: a. Dimulainya derivasi qias, dan implementasinya atas pembacaan al-Qur’an dan puisi Arab. b. Dimulainya ta’lil kaidah nahwu dan ta’wil terhadap hal yang menyalahi kaidah. c. Dimulai munculnya berbagai pendapat seperti terdapatnya pendapat antara Abu Umar al-Ula dan Abdullah bin Abu Ishak, dan antara Abu Umar al-Ula dan Isa bin Amr. d. Munculnya pendapat nahwu yang bersifat individual, dan pembacaan al-Qur’an yang berbeda dari ulama Jumhur. e. Tidak terdapat peninggalan berupa tulisan kecuali yang diriwayatkan dari al-Jami’ dan al-Kamil karya Isa ibn Amr. Generasi Keempat 1. Al-Akhfa al-Akbar Ia berpendapat (طاءر الخفوف ) yang diriwayatkan oleh Ibn Duraid: tidak ada salah-seorang dari sahabat kita yang menyebutkan kata tersebut. 2. Al-Khalil bin Ahmad Karya-karya al-Khalil: Dalam bahasa: a. Kitab Ma ‘anil-Huruf b. Kitab an-Naqth wat-Tasykil c. Kitab al-Jamal d. Kitab asy-Syawahid e. Kitab al-‘Ain Dalam ilmu Arud: a. Kitab al-Arudh b. Kitab al-Farsy wal-Mitsal Al-Khalil meninggal pada tahun 170 H. 3. Yunus bin Habib Salah satu pendapatnya berkaitan dengan Nahwu bahwa tashgir untuk kata قبائل adalah قبيّل, sementara Khalil dan Sibawaih berpendapat قبيئل . Generasi Kelima 1. Sibawaih Karya Sibawaih adalah Kitab Sibawaih, tak seorang pun yang tahu kapan penyusunan kitab tersebut. Dalam menyusun kitab ini, Sibawaih banyak mengambil manfaat dari ilmu yang dimiliki Khalil. Sibawaih meriwayatkan dalam kitabnya tentang para ahli nahwu, meskipun tidak jelas apakah dia bertemu mereka atau belajar dari mereka secara lisan, mereka itu adalah Abu Umar bin Ula, Abdullah bin Abi Ishak, Al-Ru’as dan para ahli Kuffah. Ada dua sumber yang dipakai Sibawaih sebagai argumentasi dalam menguatkan pendapatnya mengenai sebuah persoalan tatabahasa, yaitu puisi Arab dan hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam kitabnya, Sibawaih menggunakan kurang lebih seribu lima ratus bait puisi. Banyak dari puisi-puisi tersebut tidak disebutkan sumbernya, entah karena penciptanya sudah meninggal atau memang tidak diketahui. Karena takut salah, kadang-kadang Sibawaih mencantumkan dua bahkan lebih sumber untuk satu puisi. Puisi-puisi itu ada yang dinyatakan bersumber dari gurunya atau dari pendengarannya sendiri. Syaikh Muhammad ath-Thanthawy menyatakan adanya tiga puluh satu puisi tanpa sumber yang jelas, sedangkan Syaikh ‘Abdul Qadir al-Baghdady menyebut angka lima puluh. Berikut ini pendapat beberapa ulama terkait puisi-puisi tanpa sumber ini. 1. ‘Uqaibah bin Hubairah al-Asady مُعَـاوِىَ إِنَّـنَا بَشَـرٌ فَأَسْـجِحْ فَلَسْـنَا بِالْجِـبَالِ وَلاَ الْحَـدِيْـدَ ا Sibawaih menyatakan bahwa kata الحديدا itu mansub karena ma‘thuf kepada kata الجبال . Kata الجبالitu sendiri mansub, sedangkan ba’ adalah zaidah. ‘Uqaibah menyatakan bahwa Qutaibah menyalahkan pendapat Sibawaih di atas dan kata الحديدا harus dibaca majrur sebagaimana umumnya qasidah puisi Arab. Al-Mubarrad juga mengikuti pendapat Qutaibah ini. 2. Nahsyal bin Hurry لِيُـبْكَ يَـزِيْدٌ ضَـارِعٌ لِخُصُـوْمَـةٍ وَمُخْتَـبِطٌ مِمَّـا تُطِـيْحُ الطَـوَائِـحُ Sibawaih menyatakan bahwa kata ضـارع marfu‘ karena merupakan naibul fa‘il yang sudah diketahui dari kata ليـبك . Nahsyal menyampaikan pendapat al-Ushmu‘i yang menyangkal pendapat ini, karena tidak ada na’ibul fa‘il dari fi‘l mahzhuf. Kata يـزيد harus tetap mansub, sedangkan kata ضـارع adalah fa‘il. 3. Al-Akhthal كُرُّوْا إِلَى حَرَّتَيْكُمْ تَعْمُرُوْنَهَا كَمَا تَكِرُّ إِلَى أَوْ طَانِهَا الْبَقَرُ Sibawaih menggunakan bentuk di atas untuk orang kedua ketika dia menggunakan bentuk حَرَّتـَيْكُـمْ تَعْـمُرُوْ نَهُـمَا . Al-Akhtal menyampaikan kritik Syaikh Muhammad ath-Thanthawy mengenai bait syair di atas. Bentuk di atas seharusnya digunakan untuk orang ketiga, bukan untuk orang kedua. Bagi ath-Thantawy, Sibawaih seharusnya menggunakan bentuk حَرَّتـَيْهِـمْ يَعْـمُرُوْ نَهُـمَا Dalam menyusun kitabnya, Sibawaih telah menyusun materi-materi tatabahasa Arab dengan sistematis. Dari satu bagian ke bagian lain terdapat jalinan yang padu sehingga memudahkan para pembaca. Dalam akhir bagian selalu ada epilog yang menyambungkan dengan bagian sesudahnya. Tidak ada pemisahan pembahasan dalam setiap bagian. Pembahasan dalam kitab Sibawaih berdasar pada contoh-contoh asli bahasa Arab agar dapat langsung menentukan antara bentuk kalimat yang benar dan yang salah. Kitab itu sendiri terdiri atas 820 bab. Penyusunan bab-bab itu berbeda dengan umumnya penulis dalam beberapa hal, yaitu: 1. Urutan yang dipakai bukan pembahasan mengenai marfu‘at, kemudian manshubat, dan seterusnya, tetapi pembahasan dimulai dengan pembahasan fa‘il yang bersambung dengan pembahasan maf ‘ul, atau pembahasan mubtada’ yang disambung dengan pembahasan mengenai khabar. 2. Mendahulukan pembahasan yang seharusnya di akhir dan mengakhirkan pembahasan yang seharusnya di awal, misalnya mendahulukan pembahasan musnad ilaih dan baru disambung dengan pembahasan musnad. 3. Membahas dari masalah yang umum ke yang khusus, misalnya membahas tasghir secara umum, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai berbagai macam bentuk tasghir. 4. Beberapa pembahasan dilakukan sampai selesai, misalnya pembahasan mengenai fa‘il dimulai dengan fa’il tanpa maf‘ul, fa‘il dengan satu maf‘ul, dan diakhiri fa‘il dengan dua maf’ul. Pada masa sekarang, pembahasan ini biasanya diletakkan pada pembahasan mengenai fi‘l muta‘adi dan lazim. 5. Kadang-kadang suatu pembahasan berada dalam satu bab, sedangkan pembahasan yang lain berada pada bab yang lain agar mendapatkan kecocokan. 6. Karena belum ada istilah-istilah baku untuk tatabahasa Arab, Sibawaih masih menggunakan kata-kata yang panjang untuk membuat judul suatu bab, misalnya untuk inna wa akhwatuha dia menggunakan kata-kata ‘bab mengenai lima partikel yang berfungsi seperti fi‘l terkait dengan kata-kata sesudahnya’. Kitab Sibawaih banyak mendapat pujian karena kelengkapannya. Di Basrah, kitab ini adalah kitab pokok ilmu tatabahasa Arab. Akan tetapi, banyak juga orang yang tidak percaya bahwa kitab ini adalah karya Sibawaih sendiri. Mereka mengira Sibawaih mengerjakan kitab ini bersama-sama orang lain. Kitab Sibawaih telah mengalami enam kali cetak. Cetakan pertama di Paris pada tahun 1881, disambung dengan cetakan kedua di Calcutta tahun 1887, cetakan ketiga di Jerman tahun 1895, cetakan keempat di Kairo tahun 1898, cetakan kelima di Baghdad, dan cetakan keenam di Kairo tahun 1966. 2. Al- 2. Yazidy Nama lengkapnya adalah Yahya bin al-Mubarak bin al-Mughirah al-‘Adwy. Nama al-‘Adwy disambungkan kepada ‘Ady bin ‘Abd Manah bin Add bin Thabikhah bin Ilyas bin Mudhar bin Nazar bin Ma‘d bin Adnan. Kabilah ini kabilah yang besar dan terkenal. Kakeknya, al-Mughirah, adalah tuan seorang perempuan dari Bani ‘Ady. Nama al-Yazidy didapatkannya karena dia pertama kali mengajar anak-anak Yazid bin Manshur bin ‘Abdullah bin Yazid al-Hamiry yang juga paman al-Mahdy. Nama al-Yazidy ini kemudian diberikan kepada keturunannya. Al-Yazidy tinggal di Basrah. Dia belajar ilmu qira’ah kepada ‘Amr bin al-‘Ala dan nachw serta ‘arudh kepada Khalil bin Ahmad. Kemudian dia menggantikan ‘Amr mengajar sambil berguru kepada ‘Abdullah bin Ishaq dan Yunus bin Habib. Setelah itu, al-Yazidy mengajar anak-anak Yazid bin Manshur. Yazid kemudian menghubungkan al-Yazidy dengan khalifah Harun ar-Rasyid dan khalifah memerintahkan al-Yazidy untuk mengajar al-Ma’mun, sedangkan al-Kisa’iy mengajar al-Amin. Al-Yazidy dan al-Kisa’iy sering terlibat dalam perdebatan, tetapi al-Yazidy lebih sering menang. Beberapa kitab yang disusun oleh al-Yazidy di antaranya adalah: an-Nawadir fil-Lughah, al-Maqshur wal-Mamdud, Mukhtashar fin-Nachw, an-Naqth wat-Tasykil. Dia meninggal pada tahun 202 H di Khurasan. Sibawaih dan al-Yazidy adalah dua ulama yang berperan pada periode kelima. Pada masa ini, ilmu tatabahasa Arab memiliki beberapa kelebihan dibandingkan periode-periode sebelumnya, yaitu: 1. Penyempurnaan konsep ilmu tatabahasa Arab 2. Kitab-kitab yang disusun 3. Adanya diskusi-diskusi. Generasi Keenam 1. Al-Akhfasy al-Awsath Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Sa‘id bin Mas‘adah, hamba Bani Mujasyi‘ bin Darim bin Malik bin Hanzhalah bin Zaid Manah bin Tamim. Al-Akhfasy adalah sebutan karena matanya kecil dan penglihatannya lemah. Abu al-Hasan Sa‘id bin Mas‘adah dikenal sebagai “al-Akhfasy al-Shaghir” sedangkan ‘Abdul Hamid bin ‘Abdurrahman dikenal sebagai “al-Akhfasy al-Kabir”. Al-Akhfasy dilahirkan di Balkh, sedangkan riwayat yang lain mengatakan di Khawarizm. Dia datang ke Basrah untuk menuntut ilmu kepada Sibawaih. Al-Akhfasy dikenal sebagai pengikut Mu‘tazilah, walaupun ada yang mengatakan bahwa dia pengikut Qadariyyah-Murji’ah aliran Abu Syimr. Al-Akhfasy adalah teman dekat Sibawaih ketika dia terusir dari Baghdad karena kalah berdebat dengan al-Kisa’iy. Al-Akhfasy adalah sumber utama konsep tatabahasa Arab yang disusun Sibawaih karena tidak ada satu konsep pun dari tatabahasa Sibawaih yang tidak dibaca al-Akhfasy. Al-Kisa’iy sendiri secara rahasia meminta al-Akhfasy untuk membacakan kitab Sibawaih dan memberikan hadiah lima puluh dinar. Sebenarnya, al-Akhfasy adalah penggagas utama mazhab Kufah. Al-Kisa’iy secara khusus menempatkan al-Akhfasy di sampingnya dengan segala kemuliaan. Al-Akhfasy sendiri adalah guru putra-putra al-Kisa’iy. Banyaknya kemuliaan yang diterima al-Akhfasy di Baghdad mengakibatkan lunturnya semangat Basrah dan mendekatkan dia ke mazhab Kufah. Al-Akhfasy mulai membantah pendapat gurunya, Sibawaih serta al-Khalil, dan membantu para ulama aliran Kufah dalam menyusun mazhab mereka. Al-Akhfasy menunjukkan kepada para ulama Kufah beberapa pendapat berbeda mengenai tatabahasa yang kemudian mereka ikuti. Beberapa pendapat yang diikuti di antaranya: 1. Min jarr za’idah dalam kalimat aktif, misalnya لَـقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَـأِ الْمُرْسَلِيْـنَ (الأنعام) 2. Pemberlakuan ketentuan inna ketika ditambah ma, misalnya إِنَّمَـا زَيْـدًا قَائِمٌ . 3. Penggunaan tanwin pada kata ثَالِثٌ dan nashb pada kata ثَلاَثَةً dalam frase ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ 4. Penggunaan lam al-ibtida’iyyah pada ni‘ma dan bi’sa, misalnya إِنَّ مُحَمَدًا لَنِعْمَ الرَّجُلِ 5. Marfu‘ pada zharf yang muqaddam, misalnya أَمَامُـكَ زَيْـدٌ . Al-Akhfasy dikenal sangat cerdas. Para ulama mengakuinya karena banyak sekali kitab yang dia susun, yaitu al-Awsath, al-Maqayis, al-Isytiqaq, al-Masa’il, Waqf at-Tamam, al-Ashwat, Tafsir Ma‘ani al-Qur’anil-Karim, al-Arba‘ah, al-‘Arudh, al-Qawafi, Ma‘anisy-Syi‘r, al-Muluk, dan al-Ghanam: Alwanuha wa ‘Ilajuha. Ada beberapa pendapat mengenai tahun wafatnya al-Akhfasy, yaitu tahun 211 H, 215 H, 221 H, dan 225 H. 2. Qathrab Dia bernama Abu ‘Ali Muhammad bin al-Mustanir, hamba Salm bin Ziyad. Dia lahir dan besar di Basrah, kemudian belajar tatabahasa kepada ‘Isa bin ‘Umar, Yunus bin Habib, dan Sibawaih. Nama “Qathrab” diberikan oleh Sibawaih karena dia sering menunggui Sibawaih di depan pintu rumahnya pada malam hari ( قطرب ليل ), sehingga ketika Sibawaih bangun pagi, Qathrab sudah berada di depan rumah. Qathrab sendiri beraliran Mu‘atzilah-Nizhamiyyah. Salah seorang panglima perang khalifah Harun ar-Rasyid, yaitu Abu Dalf al-‘Ajliy memperkenalkannya kepada khalifah sehingga dia diminta mengajar al-Amin, al-Ma’mun, dan putra-putra Abu Dalf. Setelah dia meninggal, pengajaran dilanjutkan oleh putranya, al-Husain. Qathrab memiliki beberapa pendapat yang berbeda dengan ulama-ulama sebelumnya, baik itu al-Khalil, Sibawaih, maupun al-Akhfasy. Beberapa pendapat Qathrab itu misalnya: 1. Tanda baca pada i‘rab berupa raf‘, nashb, jarr, dan jazm, pada hakekatnya adalah tanda baca berupa dhammah, fathah, kashrah, dan sukun. 2. Al-Khalil dan Sibawaih menyatakan bahwa i‘rab untuk mutsanna dan jam‘ mudzakkar salim itu muqaddarah pada alif, waw, dan ya’, sedangkan Qathrab berpendapat bahwa i‘rab-nya muqaddarah pada huruf sebelum alif, waw, dan ya’. 3. Sibawaih berpendapat bahwa i‘rab untuk al-asma’ al-khamsah itu muqaddarah pada waw, alif dan ya’, sedangkan Qathrab berpendapat bahwa i‘rab-nya itu muqaddarah pada huruf sebelum waw, alif dan ya’. Di samping perbedaan di atas, Qathrab juga menyusun banyak kitab dalam berbgai bidang ilmu, seperti al-Qur’an, al-Hadits, dan bahasa. Di antara kitab-kitab itu adalah: Ma‘ani al-Qur’an, I‘rab al-Qur’an, ar-Radd ‘ala al-Mulchidin fi Mutasyabih al-Qur’an, Gharibil-Atsar, al-‘Ilal fin-Nachw, al-Mutsallats fin-Nachw, al-Adhdad, al-Hamz, Fi‘l wa Af‘al, al-Qawafi, ash-Shifat, al-Ashwat, an-Nawadir, al-Azminah, al-Farq, Chalaqul-Insan, dan Khuluqul-Furs. Banyaknya kitab ini membuktikan kecerdasan Qathrab sebagaimana diakui oleh para ulama. Qathrab meninggal pada tahun 206 H. Al-Akhfasy dan Qathrab adalah dua ulama dari masa periode keenam. Pada periode ini, ada beberapa kemajuan dan dicapai, di antaranya: 1. Pemikiran yang tajam, jelas, dan luas. 2. Akomodatif terhadap budaya secara umum. 3. Banyaknya karangan. 4. Kepercayaan diri untuk menyusun pendapat sendiri. 5. Dekat dengan pemerintah dan kalangan elit politik. 6. Pengembangan keilmuwan. Generasi Ketujuh 1. Al-Jurmy Dia bernama Abu ‘Umar Shalih bin Ishaq al-Bajly, hamba Bajilah bin Anmar bin Irasy bin al-Ghauts. Nama al-Jurmy dihubungkan dengan Jarm bin Rabban bin ‘Imran bin Ilhaf bin Qadha‘ah karena dia dihadiahkan kepada Jarm. Jarm adalah salah satu kabilah Yaman yang terkenal. Al-Jurmy lahir dan besar di Basrah kemudian belajar tatabahasa kepada al-Akhfasy al-Awsath dan Yunus bin Habib. Dia juga belajar ilmu bahasa dari Abu ‘Ubaidah, Abu Zaid al-Anshary, Ushmu‘i, dan ulama-ulama lain yang semasa. Kemudian al-Jurmy pergi ke Baghdad dan mengalahkan al-Farra’ dalam sebuah debat. Dia terkenal suka berbicara keras dalam setiap perdebatan sehingga mendapat gelar “al-Kalb (anjing)”. Al-Jurmy juga terkenal cerdas dan ahli di bidang hadits. Beberapa kitab yang telah disusun di antaranya: al-Farh, at-Tatsniyah wal-Jam‘, Tafsir Gharib Sibawaih, Mukhtashar Nahwuil-Muta‘allimin, al-Abniyah, at-Tashrif, al-Arudh, al-Qawafi, dan as-Siyar. Al-Jurmy wafat pada tahun 225 H. 2. At-Tauzy Dia bernama Muhammad ‘Abdullah bin Muhammad bin Harun. Nama at-Tauzy dihubungkan dengan negeri Tauz di Persia. Dia berguru kepada al-Usmu‘i, Abu ‘Ubaidah, Abu ‘Umar al-Jurmy, Abu Zaid al-Anshary, dan al-Akhfasy. At-Tauzy adalah salah seorang pegawai khalifah al-Watsiq dan dia menikah dengan ibu seorang ahli tatabahasa bernama Abu Dzakwan al-Qasim bin Isma‘il. At-Tauzy menyusun beberapa kitab, di antaranya: al-Amtsal, al-Adhdad, an-Nawadir, Fa‘altu wa Af‘altu, dan al-Khail. Banyak perbedaan pendapat mengenai tahun waftnya at-Tauzy, yaitu tahun 230 H, 233 H, dan 238 H. 3. Al-Maziny. Dia bernama Abu ‘Utsman Bakr bin Muhammad bin ‘Utsman. Nama al-Maziny dihubungkan dengan Bani Mazin bin Syaiban bin Dzahl bin Tsa‘labah bin ‘Ukabah bin Sha‘b bin ‘Ali bin Bakr bin Wail. Dia adalah hamba Bani Sadus yang dihadiahkan kepada Bani Mazin. Al-Maziny adalah ahli tatabahasa dan qira’ah. Pada masa al-Watsiq di Samarra’, al-Maziny berada di sampingnya untuk membacakan kitab Sibawaih atas permintaan al-Mubarrad. Al-Maziny mendapatkan belanja sebanyak seratus dinar setiap bulan dari al-Watsiq. Al-Maziny wafat di Basrah pada tahun 249 H. Dari segi ideologi, al-Maziny adalah pengikut aliran Murji’ah. Al-Maziny dikenal sebagai ulama yang sangat anti terhadap analogi (qiyas) dalam merumuskan kaidah-kaidah tatabahasa dan qira’ah. Banyak kitab yang telah disusun oleh al-Maziny, di antaranya: ‘Ulumul-Qur’an, ‘Ilalin-Nachw, Tafasir Kitab Sibawaih, Lachnul-‘Ammah, al-‘Alif wal-Lam, al-‘Arudh, al-Qawafy, dan ad-Dibaj. Dia tidak mau menyusun sebuah kitab tatabahasa dengan menyatakan bahwa siapa saja yang menyusun kitab tatabahasa setelah Sibawaih, maka dia akan merasa malu. Akan tetapi, al-Maziny memiliki pendapat sendiri, di antaranya: 1. Alif mutsanna, waw jam‘, dan ya’ al-mukhathabah pada fi‘l, misalnya يَـقُوْمَـانِ , يَـقُوْ مُوْنَ , dan تَـقُوْمِيْـنَ , bukanlah fa‘il, tetapi tanda tatsniyah, jam‘, dan ta’nits. Adapun fa‘il adalah damir mustathir. 2. Alif, waw, dan ya’ pada mutsanna’ dan jam‘ mudzakkar salim, misalnya مُسْلِمَانِ , مُسْلِمَيْنِ , مُسْلِمُوْنَ , dan مُسْلِمِيْنَ , bukanlah tanda i‘rab, tetapi tanda mutsanna’ dan jam‘ mudzakkar salim. 3. Jam‘ mu’annats salim wajib mabni fathah jika didahului la nafiyah lil-jins, misalnya لاَ مُطِيْعَاتَ لَكَ . 4. Al-Khalil menyatakan bahwa ‘ain fi‘l dalam kata seperti اِسْتَـحْيَى itu dibuang karena ada pertemuan dua sukun, sedangkan al-Maziny menyatakan bahwa ‘ain fi‘l itu dibuang karena sebagai takhfif karena banyak digunakan. 5. Sibawaih menyatakan bolehnya qiyas pada ism tafdhil dari fi‘l mudhari‘ dengan wazan أَفْعَـلَ , tetapi al-Maziny menyatakan tidak boleh sehingga tidak ambigu antara fi‘l madhi dan ism tafdhil. 4. Abu Chatim as-Sijistany Dia bernama Sahl bin Muhammad bin ‘Utsman bin al-Qasim bin Yazid al-Juzmy as-Sijistany. As-Sijistany adalah nama musim yang terkenal di Basrah. As-Sijistany tinggal di Basrah dan menjadi mahaguru di bidang al-Qur’an, bahasa, dan sastra. Dia berguru kepada al-Akhfasy di samping banyak menyampaikan pendapat dari Abu Zaid al-Anshary, Abu ‘Ubaidah, al-Ushmu‘i, ‘Umar bin Karkarah, dan Ruh bin ‘Ubadah. Ulama semasanya juga banyak mengambil pendapat dari dia, seperti Abu Bakr Muhammad bin Duraid dan al-Mubarrad. As-Sijistany terkenal karena rutin berderma sebanyak satu dinar setiap hari dan meng-khatam-kan al-Qur’an setiap minggu. Dalam bidang fiqh, as-Sijistany sangat fanatik terhadap ahlul-hadits. Dia tidak pernah tinggal di Baghdad. As-Sijistany banyak meninggalkan kitab yang berharga, baik di bidang ilmu al-Qur’an, tatabahasa, dan lain-lain, seperti: I‘rabul-Qur’an, al-Qira’at, al-Maqathi‘ wal-Mabadi’, Ikhtilaful-Mashahif, al-Mukhtashar fin-Nachw, Lachnul-‘Ammah, al-Maqshur wal-Mamdud, al-Mudzakkar wal-Mu’annats, al-Isyba‘, al-Adhdad, al-Haja’, al-Fashahah, asy-Syajaru wan-Nabat, an-Nakhlah, al-Karam, al-‘Usybu wal-Baql, al-Wuchusy, al-Chasyarat, az-Zar‘, al-Jarad, Chuluqul-Insan, al-Qasy was-Siham wan-Nibal, as-Suyuf war-Rimach, al-Laba’ wal-Laban wal-Chalib, al-Khashb wal-Qachth, an-Nachl wal-‘Asal, asy-Syita’ wash-Shaif, al-Ibil, al-Charr wal-Bard wasy-Syams wal-Qamar wal-Lail wan-Nahar, al-Farq bainal-Adamiyyin wa baina kulli dzi Ruch, dan Asyuq ilal-Wathan. Abu Chatim as-Sijistany wafat pada bulan Rajab tahun 255 H. 5. Ar-Riyasyy Dia bernama Abu al-Fadhl ‘Abbas bin al-Farj, hamba dari Muhammad bin Sulaiman bin ‘Ali al-Hasyimy. Ar-Riyasyy dihubungkan dengan seseorang dari Jadzam yang bernama Riyasy yang menjadi tuan al-Farj, ayah ‘Abbas, kemudian dia menjual al-Farj kepada al-Hasyimy. Akan tetapi, nama ‘Abbas tetap dihubungkan dengan tuan sebelumnya, yaitu Riyasy. Ar-Riyasyy adalah ahli di bidang bahasa dan puisi. Dia banyak meriwayatkan dari Ushmu‘i, Abu ‘Ubadah dan lain-lain. Ulama-ulama yang lain, seperti al-Mubarrad, Ibnu Duraid, Ibrahim al-Charby, dan Ibnu Abid-Dunya, juga mengambil pendapatnya. Ar-Riyasyy juga dikenal sebagai orang yang zuhud, banyak mempergunakan waktunya untuk ilmu, dan seorang penopang mazhab Basrah. Ar-Riyasyy tewas terbunuh di daerah Zanj di Basrah pada tahun 257 H pada masa pemerintahan khalifah al-Mutawakkil. Khalifah menyerbu Zanj karena menjadi markas perlawanan kaum Alawiyyin yang dipimpin oleh ‘Ali bin Muhammad bin ‘Isa. Ar-Riyasyy adalah ulama terakhir periode ketujuh. Periode ini memiliki beberapa kelebihan, di antaranya: 1. Ada pemisahan antara nachw dan tashrif. 2. Mengarah pada kemudahan dalam merumuskan kaidah tatabahasa. 3. Banyak ulama yang menggunakan teknik taqdir (perkiraan). 4. Pemendekan pada teknik simak dan qiyas (analogi). 5. Tidak menggunakan contoh-contoh di luar bahasa Arab. 6. Banyak perdebatan antar para ulama. 7. Banyak teknik yang tidak fungsional dalam sharf. 8. Bersandar pada pendapat sendiri tanpa mengikuti pendapat ulama sebelumnya. 9. Banyak karangan dalam berbagai bidang ilmu. 10. Banyak perumusan menggunakan informasi dari orang Arab. Generasi Kedelapan 1. Al-Mubarrad Dia bernama Abu al-‘Abbas Muhammad bin Yazid bin ‘Abdul-Akbar bin ‘Umair bin Hasan bin Salim bin Sa‘d bin ‘Abdullah bin Yazid bin Malik bin al-Charits bin ‘Amir bin ‘Abdullah bin Bilal bin ‘Auf bin Aslam bin Achjan bin Ka‘b bin al-Charits bin Ka‘b bin ‘Abdullah bin Malik bin Nashr bin al-Azd bin al-Ghauts. Nama al-Mubarrad diberikan oleh al-Maziny kepada Muhammad bin Mazid dia menyusun kitab “al-Alif wal-Lam”. Dia berguru pada al-Jurmy, al-Maziny, dan as-Sijistany. Al-Mubarrad terkenal kikir karena menganggap bahwa kaya itu disebabkan oleh banyak menyimpan sedangkan miskin itu oleh banyak memberi. Sebagaimana al-Maziny, al-Mubarrad memprioritaskan perumusan kaidah dengan teknik mendengar langsung (sima‘). Hal ini berbeda dengan Sibawaih. Misalnya dalam hal taskin pada fi‘l mudhari‘ pada puisi: فَالْيَـوْمَ أَشْرَبْ غَيْـرَ مُسْتَـحْقِب إِثْـمًا مِـنَ اللهِ وِلاَ وَاغِـلِ Sibawaih memperbolehkan taskin pada kata أَشْرَبْ, sedangkan menurut al-Mubarrad, bacaan yang benar adalah فَالْيَـوْمَ اشْرَبْ. Demikian juga dengan dhamir jarr sebagai ganti dari dhamir raf‘ dalam kata لَـوْلاَكَ seperti dalam puisi: أَوْمَـتْ بِكَـفَّيْـهَا مِنَ الْهَـوْدَجِ لَـوْلاَكَ هَـذا الْعَـامُ لَمْ أَحْجُـجْ Menurut al-Mubarrad, bacaan seperti ini salah karena dhamir raf‘ di atas tidak bisa diganti, misalnya dalam ayat: ( لَوْلاَ أَنْـتُمْ لَكُنَّـا مُـؤْمِنِـيْنَ (سبأ : 31 . Kata di atas seharusnya dibaca لَـوْلاَ أنْتَ bukannya لَـوْلاَكَ . Pendapat yang lain adalah tasghir dari kata إِبْرَاهِيْـم dan إِسْمَاعِيْـل . Menurut Sibawaih, kedua kata di atas menjadi بُرَيْـهِيْـم dan سُمَيْعِيْـل . Adapun menurut al-Mubarrad, kedua kata itu menjadi أُبَيْـرِيْـه dan أُسَيْـمِيْـع karena alif pada kedua kata di atas adalah asli. Pada masa khalifah al-Mutawakkil, al-Mubarrad pernah dimintai fatwa terkait dengan kata انـها pada ayat (وَمَـا يُشْعِرُكًمْ اَنَّـهَا إِذَا جِـا ءَتْ (الأنعام : 109 , apakah dibaca اَنَّـهَا atau إِنَّـهَا . Permintaan ini terkait dengan perbedaan pendapat antara khalifah dengan al-Fath bin Khaqan. Khalifah dan umumnya ulama membaca dengan اَنَّـهَا. Al-Mubarrad menganggap bacaan itu salah dan menyatakan yang benar adalah إِنَّـهَا. Akan tetapi, al-Mubarrad tidak berani menyatakan hal ini di depan khalifah dan hanya menyembunyikan pendapatnya. Al-Mubarrad banyak menyusun kitab yang penting, di antaranya: Nasab ‘Adnan wa Qachthan, I‘rabul-Qur‘an, al-Ittifaq wal-Ikhtilaf minal-Qur‘anil-Majid, al-Fadhil, al-Kamil, al-Muqtadhab, al-Isytiqaq, at-Tashrif, al-Madkhal li-Sibawaih, Syarch Syawahidul-Kitab, Ma‘na Kitab lil-Akhfasy, ar-Radd ‘ala Sibawaih, Dharuratusy-Syi‘r, Generasi Nuchatil-Bashriyyin, al-Maqshur wal-Mamdud, dan al-Qawafy. Dia meninggal pada hari Senin tanggal 28 Dzulhijjah 286 H dan dimakamkan di sebuah rumah depan pintu masuk kota yang dibelinya. Al-Mubarrad adalah satu-satunya ulama peride kedelapan dan periode ini memiki kelebihan dibandingkan periode sebelumnya, di antaranya: a. Menyusun sebuah kitab berdasarkan pendapat sendiri. b. Menggunakan pendapat ulama terdahulu dalam beberapa pembahasan. c. Pembahasan dalam bermacam-macam bidang ilmu. d. Penggunaan metode-metode baru dalam tatabahasa, seperti qiyas, sima‘, ta‘lil, ‘awamil, dan ma‘lumat. e. Banyaknya diskusi. 2. Nahwu Aliran Kufah Sekilas Tentang Kufah Setelah panglima perang kaum Muslimin (Abu ‘Abid ats-Tsaqafi) terbunuh di tangan Persia, maka khalifah Umar Ibn Khatab menugaskan Sa’d Ibn Abi Waqash yang bekerja di Hawazan sebagai gantinya. Maka ia pun segera memimpin 19.000 pasukan untuk bertempur hingga mereka berhasil menaklukkan Persia. Untuk menentukan tempat tinggal bagi mereka, Sa’d memilih sebuah tempat di tepian sungai Efrat yang terkenal sangat subur tanahnya, sebuah tempat yang hujan banyak turun dan mengguyur dengan sangat deras, memiliki banyak sumber mata air yang memancar dari sungai seperti suburnya rerumputan yang tumbuh di sana, juga tempat pohon korma tumbuh berjajar di sepanjang tepian sungai Efrat. Mayoritas penduduk Kufah adalah para mantan tentara dari Bani Abas. Kufah didirikan oleh Sa’d ibn Abi Waqash pada tahun 16-17 H, atau antara 2-3 tahun setelah berdirinya kota Bashrah.   Letak Geografis Kufah Kufah terletak di tepian lembah sungai Efrat yang terkenal dengan kesuburan tanahnya. Di sebelah Timur berbatasan langsung dengan sungai Efrat, di sebelah Selatan berbatasan dengan Najf, dan di sebelah Barat dan Utaranya berbatasan langsung dengan padang pasir yang sangat luas dan membentang hingga ke kota Syam. Melihat kesuburan tanah di kota Kufah dan terbentangnya rerumputan, bunga-bungaan, dan sungai-sungai, penduduknya pun beramai-ramai mendirikan tempat tinggal yang nyaman untuk membangkitkan kejernihan jiwa dan kepekaan rasa dan imajinasi. Kesuburan ini tidak hanya di Kufah saja, tetapi juga meliputi kota-kota di sekitarnya, seperti Hairah, Najf, Khirnik, Sadir, Ghariyan, dan lain-lain. Penamaan Kota Kufah Kufah pada mulanya adalah tanah yang berwarna kemerahan dengan bentuk yang membulat, atau disebut juga sebagai setiap tanah yang dilingkupi oleh kesuburan. Versi lain tentang penamaan Kufah ini menyebutkan bahwa orang-orang Arab yang datang dari Najf di sebelah Utara Kufah telah menemukan tanah yang subur ini dan mereka lalu menamainya dengan nama Kufah. Kamudian Sa’d Ibn Abi Waqash menyebut nama ini ketika mengirim surat kepada Umar Ibn Khatab. Yaqut al-Hamawi menyebut Kufah karena letak geografisnya, dan karena setiap tanah atau lahan yang dilingkupi oleh kesuburan adalah Kufah. Versi yang paling mendekati kebenaran yaitu saat usai penaklukan atas negeri ini, kaum Muslimin yang sedang mencari tempat untuk berlindung tertimpa penyakit cacar, kemudian mereka berbondong-bondong mencari tempat yang subur. Saat menemukan tempat ini, Sa’ad pun berkata kepada mereka: “Takuufuu...!, atau berkumpullah..berkumpullah...! Pembentukan Kota Kufah Penduduk Kufah yang sebagian besar berasal dari bangsa Arab di sebelah Selatan Jazirah Arab terdiri dari 20.000 orang. 12.000 di antaranya dari Yaman, dan 8.000 sisanya berasal dari Madlariy. Penduduk Arab yang pada mulanya menjadi penduduk Kufah adalah para pejuang penakluk negeri ini setelah mereka menaklukkan Persia. Sejak saat itu, Kufah menjadi kota tempat berkumpulnya para pemimpin kabilah, para panglima perang, dan kota para pejuang. Ketika kemudian orang-orang dari segala penjuru telah berkumpul di sana, Kufah menjadi kota dengan berbagai unsur baik Arab maupun non Arab, dan menjadi kiblat yang paling dianut oleh dunia Arab pada umumnya. Menjelang abad ke-4 H, penduduk Kufah berprofesi sebagai pedagang, petani, berindustri, dan banyak di antara mereka yang menjadi ahli-ahli bahasa (linguis). Unsur budaya asing terkuat di Kufah adalah budaya Persi. Persi merupakan kelompok penduduk terbesar yang tinggal di Kufah sejak didirikannya negeri ini. Mereka bertani, mengolah lahan pertanian, dan 4.000 orang di antaranya menjadi tentara dan pejuang. Sebanyak 20.000 orang dari Persi ini berbondong-bondong masuk Islam di bawah pimpinan al-Mukhtar Ibn Abi ‘Abid. Unsur terkuat ke dua adalah unsur Siryani. Mereka adalah kaum Muslimin yang berasal dari Yua’abah, Nasathirah, Najf, dan Hairah. Banyak juga diantara mereka yang masuk Islam. Unsur pembentuk ke tiga adalah unsur Nabthi. Mereka tinggal di kawasan yang terbentang dari Kufah hingga ke Bathaih di sebelah Selatan Irak. Banyak di antara mereka yang menganut agama Islam. Kemudian unsur Najran yang terdiri atas penduduk Yahudi dan Nasrani yang datang dari Yaman. Kufah Sebagai Kubah Bagi Islam Sebagai negeri Islam, sejarah Kufah dimulai dari peristiwa perang Badar saat Umar Ibn Khatab beserta 70 orang sahabat dan 300 orang lainnya bermalam di Kufah. Mereka menunjuk Amar Ibn Yasir sebagai amir dan Abdullah Ibn Mas’ud sebagai muazin dan menteri urusan keagamaan. DR. Mahdi al-Makhzumi dan Abu Abas berkata bahwa Kufah adalah cikal-bakal negeri sastra, dan wajah dari negeri Irak, puncak impian dan harapan, tempat bermukimnya para sahabat yang terpilih dan tempat orang-orang mulia. Sebagai kota perjuangan, Kufah menjadi pusat kepemimpinan umum bagi para pejuang Muslim di Irak. Sebagai penghadir khilafah Islamiyah pada masa kepemimpinan Ali R.A., Kufah merupakan kota yang beriman, markas besar Islam, perisai dan kekuasaan Tuhan yang dianugerahkan atas kehendak-Nya. Saai itu, Kufah menjadi inspirasi bagi para pejuang, pemuka agama, dan para pemerhati umat. Mengenai sisa-sisa fanatisme terhadap Arab, hal ini terlihat dari banyaknya para pejuang yang datang dari Arab dan berperadaban ala Badui. Mereka hidup melajang, membangga-banggakan silsilah dan nasabnya, dan enggan berbaur dengan unsur-unsur lainnya. Maka dari itu,agar terjadi tenggang rasa, maka dihapuslah ungkapan yang mengatakan bahwa “tidak ada suatu hukum pun yang paling benar kecuali hukum Arab. Kufah dan Studi Nahwu Studi Nahwu di Kufah ini dimulai dari semakin ramainya dunia perniagaan yang dan saling bertemunya kebudayaan yang heterogen di dalamnya. Sebagai penghormatan terhadap hijrahnya para ahli bahasa dan para penyair ke negeri ini, tepatnya sejak khalifah Umar Ibn Khatab memerintah Amar Ibn Yasir sebagai pemimpin Kufah dengan Abdulah Ibn Mas’ud sebagai menterinya. Studi Nahwu dimulai dengan pembacaan ayat-ayat Qur’an, hadist Nabi, Usul-Fiqh, dan pasal-pasal dalam hukum negara. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan terhadap riwayat-riwayat puisi dan studi sastra untuk memposisikan adat-istiadat kuno yang mereka bangga-banggaakan seperti al-Mufakhirah, al-Munafarah, al-Isyadah, dan sebagainya. Studi ini dipelopori oleh Ali Hamzah as-Sa’i dan kemudian diteruskan oleh muridnya, Yahya Ibn Ziyad al-Fara’i. Nahwu Mazhab Bashrah Sebagai Titik Tolak Bagi Nahwu Mazhab Kufah Mayoritas pada ahli bahasa dan ahli Nahwu dari Kufah menstudi Nahwu mereka dengan mazhab Bashrah. Sebagai contoh, nama-nama seperti Abu Ja’far ar-Ru’asi mengikuti mazhab Abu Amru Ibn al-Ala’i dan Isa Ibn Umar dalam bermazhab Bashrah, dan Khalah Mu’adz Ibn Muslim al-Harraa’i juga memanfaatkan mazhab keduanya dalam mempelajari Nahwu dan Shorf. Al-Kisa’i menganut mazhab Isa Ibn Umar, Khalil Ibn Ahmad, Yunus Ibn Habib, juga mengadopsi pemikiran-pemikiran Sibawaih. Studi Nahwu Mazhab Kufah Studi Nahwu di Kufah ini menggunakan titik-tolak pemikiran Sibawaih sebagai pemimpin dan senior bagi studi Nahwu mazhab Bashrah, yang kemudian jejaknya diikuti oleh muridnya, Sa’id Ibn Mas’adah. Sibawaih menjadikan al-Kisa’i sebagi guru bagi anak-anaknya. Dengan kematangan cara berpikirannya, ia mulai cenderung menciptakan studi Nahwu dengan mazhab Kufah, memberikan wahana yang sebesar-besarnya bagi berbagai perbedaan pendapat yang ada. Ia juga sering bertukar-pikiran dengan gurunya (Sibawaih) yang sangat ia kagumi. Tidak jarang al-Kisa’i juga tidak sepakat dengan Sibawaih dalam banyak hal. Namun, hal ini tidak menjadi masalah bagi para penstudi Nahwu dari Kufah yang bersepakat dengan al-Kisa’i dalam mendirikan mazhab atau madrasah Kufah ini. Adapun ide-ide dan pemikiran Nahwu Sibawaih yang sedikit banyak dianut oleh Al-Kisa’i yaitu: 1. Diperbolehkannya menta’kidkan kata yang sebenarnya berhubungan, tetapi kata tersebut terhapus dalam penggunaannya dan digantikan oleh waw athf sebagai gantinya. Contoh: جاء الذى ضربت نفسه، أى: ضربته نفسه 2. Tambahan huruf jar منdalam perkataan/firman Allah SWT yang positif. Contoh: seperti firman Allah SWT: و يغفر لكم من ذنو بكم، ولقد حاءك من نبإ المر سلين 3. Diperbolehkannya penggunaan kataإن setelah bertemu dengan kata ما. Contoh: إنما زيدا قائم 4. Bahwa لعل bermakna taqlil (minimal). Contoh: seperti firman Allah SWT فقولا له قولا لينا لعله يتذكر أو يخشى 5. Bahwa لولا terkadang juga bermakna هلا. Contoh: seperti firman Allah SWT فلو لا كانت قرية آمنت فنفعها إيمانها Hal ini juga diikuti oleh al-Fara’i dalam kumpulan karyanya, yaitu antara lain: 1. Mengakhirkan Khabar apabila ia diawali dengan إن. Contoh: إن العلم نور قول المشهور 2. Diperbolehkannya menggunakan ل ibtida bagi kata-kata نِعْمَ dan بِـئْسَ . Contoh: إن محمدا لنعم الرجل 3. Digunakannya إلا untuk sebagai pengganti و dalam perkataan maupun makna. Contoh: seperti firman Allah SWT: لئلا يكون للناس عليكم حجة إلا الذين ظلموا منهم 4. Diperbolehkannya penggunaan “athf pada dua pernyataan yang berbeda di dalam ilmu nahwu. Contoh: فى الدر زيد والحجرة عمرو؛ بعطف الحجرة على الدار، و عمرو على زيد dan lain-lain. Contoh-contoh di atas adalah sebagian dari ide-ide dan pemikiran para ahli Nahwu mazhab Kufah yang diikuti oleh al-Akhfasy, selain al-Kisa’i dan al-Fara’i. Kemudian, Sibawaih pun mengumpulkan permaslahan-permasalahan yang ada di seputar pemikiran tentang Nahwu ini dengan kontribusi pemikiran dari al-Khalil dan menyusunnya menjadi sebuah buku yang dinamai dengan al-Masaail al-Kabiir. Orang-orang kemudian menjuluki Sibawaih ini sebagai pioneer pertama bagi Nahwu mazhab Kufah yang diadopsi dari Nahwu mazhab Bashrah. Generasi Nahwu Mazhab Kufah Jelas bagi kita jika bahwasanya keterangan di awal telah menyebutkan bahwa berdirinya Nahwu mazhab Kufah adalah karena jasa Ali Ibn Hamzah al-Kasai beserta muridnya Yahya Ibn Ziyad al-Fara’i, dan bahwasanya promotor utama bagi pembentukan Nahwu mazhab Kufah ini adalah al-Akhfasy al-Ausath Said Ibn Mas’adah yang terinspirasi dari ide-ide dan pemikiran gurunya Sibawaih dan al-Khalil. Generasi Pertama 1. Mu’adz al-Hara’i Nama aslinya adalah Abu Muslim Mu’adz Ibn Muslim al-Harraa’i. Tinggal di Kufah dan mendalami Nahwu bersama anak dari saudaranya, yaitu ar-Ru’asi dan menyebarkan prinsip-prinsip Nahwu madzhab Bashrah. Di Kufah ini, ia bekerja sebagai pengajar nahwu bagi anak-anak Abd al-Malik Ibn Marwan. Ia sangat mahir dalam menguasai Nahwu dan Shorf. Menurut as-Suyuthi, orang pertama yang menyusun buku tentang tashrif adalah Mu’adz. Pendapat ini belum tentu benar karena pemikiran-pemikiran Muadz tidak begitu berpengaruh terhadap perkembangan tashrif bahasa Arab. Karya Mu’adz ini diadopsi dari kumpulan pengetahuan tentang nahwu dan sharf dari buku Masaa’il at-Tadriib. Sejak saat itu, tashrif mulai dikenal sebagai pengetahuan yang mandiri sejak abad ke-2 H ketika susunannya diperbaharui oleh Uthman Ibn Baqiyah al-Maziniy dalam kitab yaitu at-Tahsrif setelah sekian lama menjadi bagian dari studi Nahwu. Mu’adz wafat di Kufah pada tahun 187 H. 2. Ar-Ru’asi: Nama aslinya adalah Abu Ja’far Muhamad Ibn al-Hasan. Dijuluki ar-Ru’asi karena ia mempunyai kepala yang besar. Ia dibesarkan di Kufah, datang ke Bashrah dan belajar kepada Isa Ibn Umar, Abu Amr Ibn al-‘Ala’i, dan kembali ke Kufah untuk mempelajari Nahwu bersama pamannya, Mu’adz al-Hara’i, selain belajar dari al-Kisa’i dan al-Fara’i. Ar-Ru’asi mengarang kitab Nahwu al-Faishal, yaitu kitab yang pertama kali muncul dan membahas tentang studi Nahwu madzhab Kufah. Ibn Nadim dan Ibn Anbari juga menyebutkan bahwa ar-Ru’asi ini memiliki banyak karya dalam ilmu Nahwu, diantaranya yaitu: al-Faishal, at-Tashghir, Ma’ani al-Qur’an, al-Waqf wal-Ibtidaa’, dan sebagainya. Ar-Ru’asi wafat di Kufah pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid. Kedua pendahulu nahwu mazhab Bashrah ini telah memberikan dasar-dasar pijakan yang relatif sangat kuat dalam pembelajaran Nahwu meskipun kecenderungan ini bermula dari pembelajaran mereka terhadap Nahwu mazhab Bashrah. Generasi Kedua 1. Al-Kisa’i Nama lengkapnya Abu Hasan Ali ibn Hamzah, berkebangsaan Persia. Sedangkan “al-Kisa’i” merupakan julukan yang diberikan kepadanya. Sebagaimana diriwayatkan bahwa julukan tersebut diperoleh karena beliau menghadiri sebuah majlis Hamzah ibn Habib az-Ziyat dengan memakai baju (كساء) hitam yang mahal. Ketika absent, sang guru pun menyakan ketidakhadirannya kepada hadirin : apa yang telah dilakukan oleh si pemakai baju bagus?. Sejak saat itu, beliau lebih dikenal dengan panggilan al-Kisa’i. Dia lahir di Kufah, pada tahun 119 H dan wafat pada 189 H dalam perjalanannya menuju Tus (sebuah wilayah di Persia). Al-Kisa’i giat mengikuti beragam majlis qira’ah dengan guru-guru yang beraneka pula. Salah satunya, pembacaan syair yang dipimpin oleh Khalil ibn Ahmad. Hingga akhirnya Al-Kisa’i paham bahwa syair-syair tersebut bersumber dari masyarakat Badui yang bermukim di Hijaz, Nejed dan Tihamah. Untuk memuaskan rasa keingintahuannya, beliau mendatangi masyarakat tersebut dengan menuliskan setiap apa yang didengarnya sehingga menghabiskan 15 botol tinta. Peran al-Kisa’i dalam Mendirikan Madrasah Kufah Keseriusannya dalam mempelajari nahwu dan kemudian menuliskannya. Ketika bermukim di Baghad, Al-Kisa’i konsen terhadap perkataan bangsa Arab kota yang bukan tidak mungkin mengandung kesalahan dalam pelafalan yang didengarnya. Al-Kisa’i tidak puas, dari sinilah berawal lahirnya dua madzhab; antara Kufah dan Bashrah, perdebatan antara Sibawaih dan Al-Kisa’i yang terkenal dengan a-Mas’alah az-Zanburiyah. Perdebatan ini dimenangkan oleh Al-Kisa’i dan moment ini menjadi tonggak stabilitas madzhab Kufah. Namun demikian, setelah kematian Sibawaih, Al-Kisa’i pun membaca “Kitab Sibawaih” (satu-satunya buku yang ditulis Sibahwaih), meskipun dengan cara sembunyi-sembunyi. Karakterisitik generasi kedua: a. pembahasan yang mendalam b. menggunakan siasat untuk meraih pengetahuan; membaca “Kitab Sibawaih” secara sembunyi-sembunyi c. berdiskusi dengan para tokoh aliran Basrah d. penulisan dan pembukuan, seperti buku yang ditulisnya: Ma’anil Qur’an, Mukhtashirun fi an-Nahwi, al-Hudud an-Nahwiyah, dan lainnya. Generasi Ketiga 1. Al-Ahmar Dengan nama lengkap Abu Hasan Ali Ibn Hasan, tetapi terkenal dengan nama al-Ahmar. Beliau merupakan salah seorang murid Al-Kisa’i. Wafat dalam pelaksanaan haji pada tahun 194 H. Disebutkan oleh Tsa’lab bahwa beliau hapal 40 ribu syahid (kutipan, contoh) tentang nahwu. Adapun karyanya: Maqayis at-Tashrif, Tafannun al-Balgha’i 2. Al-Fara’ Nama lengkapnya Abu Zakariya Yahya ibn Ziyad ibn Abdullah ibn Marwan ad-Dailumiy. Lahir di Kufah pada tahun 144 H, berkebangsaan Persia dan meninggal pada tahun 207 dalam perjalanannya menuju Mekkah. Menghabiskan hidupnya dengan mempelajari qira’ah, tafsir, syair dari Abu Bakar ibn ‘Ayyas dan Sufyan ibn ‘Iyyinah. Sedangkan guru bahasa dan nahwunya adalah Abi Ja’far ar-Ru’asiy dan al-Kisa’i Beliau juga seorang murid Al-Kisa’i yang banyak mendapat pengetahuan riwayat mengenai bangsa Arab dari Gurunya Selanjutnya, beliau juga meneruskan studinya ke Bashrah setelah kematian Khalil ibn Ahmad, yang kemudian posisinya digantikan oleh Yunus ibn Habib. Hingga akhirnya, dia belajar kepada Yunus mengenai nahwu dan bahasa. Adapun karya-karyanya cukup banyak, yang di antaranya adalah: Lughatu al-Qur’an, an-Nawadir, al-Kitaab al-Kabiir fi an-Nahwi, dan lainnya. 3. Hisyam adh-Dharir Nama lengkapnya Abu Abdullah Hisyam ibn Mu’awiyah ad-Dharir yang wafat pada tahun 209, sedangkan untuk tahun kelahirannya tidak disebutkan. Beliau juga merupakan salah seorang murid Al-Kisa’i, yang kemudian mengabdikan dirinya dengan menjadi tutorial bagi murid-muridnya. Dengan karya tiga buku yaitu: al-Hudud, al-Mukhtashir dan al-Qiyash. 4. Al-Lihyaani Dengan nama lengkap Abu Hasan Ali ibn Mubarak, sedangkan nama “al-lihyan” sebagai bentuk penghormatan terhadap lihyaan-nya (jenggot). Wafat pada tahun 220 H. Selain berguru kepada Al-Kisa’i, dia juga belajar kepada Abi Zayd, Abi Ubaidah dan lainnya. Karakteristik generasi ketiga: a. Semakin maraknya penulisan baik dalam ilmu agama maupun ilmu bahasa b. Dimulainya konsentrasi penulisan tentang Nahwu secara terpisah c. Perhatian khusus terhadap kesalahan lisan secara umum dan upaya memperbaikinya d. Lahirnya istilah-istilah Nahwu Kufah Generasi Keempat 1. Ibnu Sa’dan Nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad ibn Sa’dan adh-Dharir. Lahir di Baghdad pada tahun 161 H, sedangkan tumbuh besar di Kufah. Kemudian meninggal dunia pada tahun 231 H, dengan menulis 1 buku Nahwu dan lainnya buku-buku mengenai Qira’at. 2. Ath-Thuwal Beliau bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Abdullah ath-Thuwal, dan tumbuh di Kufah. Wafat pada tahun 234 H. Belajar nahwu kepada Al-Kisa’i. kemudian ke Baghdad dengan mengikuti majlis Qira’ah Abu Umar dan ad-Dauri 3. Ibnu Qadim Nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad ibn Abdullah ibn Qadim. Wafat pada tahun 251 H. Ibnu Qadim mempelajari nahwu dari al-Fara, Tsa’lab. Adapun karya nahwunya adalah: al-Kaafi dan al-Mukhtashir. Karakteristik generasi ini secara umum tidak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya (ketiga), hanya sudah mulai mengenal sharaf. Generasi Kelima Tsa’lab Nama lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad ibn Yahya ibn Yazid, tetapi terkenal dengan Tsa’lab. Beliau berkebangsaan Persia, namun lahir dan tumbuh di Baghdad. Tahun kelahirannya pada 200 H. Sejak kecil sudah mempelajari berbagai ilmu; membaca, menulis, menghapal al-Qur’an dan sya’ir Arab. Karyanya: a. Majaalis Tsa’lab; di dalamnya merangkum berbagai pemikirannya tentang nahwu, bahasa, makna al-Qur’an dan syair-syair asing b. Al-Fashih c. Qawaaidu asy-Syi’ri Adapun karyanya yang membahas tentang nahwu adalah: a. Ikhtilafu an-Nahwiyiin b. Ma Yansharifu wa ma laa yansharif c. Haddu an-Nahwi Karakteristiknya: a. Pengetahuan yang beraneka ragam; nahwu, bahasa, balaghah dan lainnya b. Banyaknya penulisan dari berbagai ilmu pengetahuan 3. Nahwu Aliran Baghdad Pada abad keempat hijriyah para ahli nahwu Baghdad memunculkan metode baru dalam ilmu nahwu, yaitu dengan memilih yang terbaik dari kedua pendapat aliran nahwu yang telah ada, Basrah dan Kufah. Hal ini bermula ketika mereka belajar nahwu kepada dua tokoh yang berbeda aliran, yaitu Tsa’lab dan Al-Mubarrad kemudian mulai mempertemukan kedua aliran tersebut hingga memunculkan aliran baru yang dapat dibedakan dari keduanya. Munculnya aliran tersendiri ini sempat membuat bingung para penulis biografi para ahli nahwu. Hal ini disebabkan karena ahli nahwu aliran baghdad ini ada yang condong kepada aliran Basrah dan ada pula yang lebih condong kepada aliran Kufah. Oleh karenanya, ada yang menggolongkan sebagian dari mereka ke dalam aliran Kufah, Basrah, dan ada pula yang menggolongkannya dalam kelompok aliran tersendiri. Para pakar kontemporer bahkan berusaha menafikan aliran Baghdad ini dengan alasan bahwa dua orang pembesar aliran ini, yaitu Abu Ali Al-Farisi dan Ibn Jinni menisbatkan diri mereka sendiri ke dalam aliran Basrah. Generasi awal aliran Baghdad ini memang cenderung kepada pendapat aliran Kufah. Oleh karenanya, mereka kadang disebut sebagai pengikut Kufah dan kadang pula disebut sebagai pengikut aliran Baghdad. Tokoh terpenting darigenerasi awal ini adalah Ibn Kaisan (w. 299 H), Ibn Syuqair (w. 315 H), Ibn al-Khiyath (w. 320 H). Kemudian, muncul tokoh seperti Az-Zajjaji, Abu Ali Al-Farisi dan Ibn Jinni yang mana cenderung kepada pendapat aliran Basrah. Berikut sekilas biografi beberapa tokoh aliran Baghdad ini: Ibn Kaisan Beliau adalah Abu al-Hasan Muhammad bin Ahmad bin Kaisan. Beliau wafat pada tahun 299 H. Beliau belajar nahwu dari Tsa’lab dan Al-Mubarrad. Bahkan Ibn Mujahid mengatakan bahwa beliau ini lebih menguasai nahwu daripada kedua gurunya tersebut. Beberapa tulisan beliau adalah kitab Ikhtilaf al-Bashriyyin wa al-Kufiyyin fi an-Nahwi, Al-Kafi fi an-Nahwi, At-Tasharif, Al-Mukhtar fi ‘Ilal an-Nahwi. Az-Zajjaji Beliau adalah Abu al-Qasim Abdurrahman bin Ishaq. Beliau adalah penduduk Shaimarah, suatu daerah yang terletak di antara Al-jabal dan Kazakhstan, kemudian tumbuh di Nahawand, lalu pindah ke Baghdad. Beliau sering berpindah tempat hingga akhirnya wafat di Thabariyah pada tahun 337 H, atau 340 H menurut satu riwayat. Beliau meninggalkan banyak karya, di antaranya:Al-Amali al-Wustha, Majalis al-Ulama’ yang berisi tentang dialog para ulama tentang beberapa masalah terutama masalah bahasa dan nahwu, Al-Idlah fi ‘Ilal an-Nahwi, Al-Jumal fi Qawa’id an-Nahwi Abu Ali Al-Farisi Beliau adalah Al-Hasan bin Ahmad bin Abdul Ghaffar Al-Farisiy. Ayah beliau seorang persia sedangkan ibunya adalah seorang Arab dari tanah Sadus. Abu Ali Al-Farisi banyak pengikuti kajian para ahli nahwu mulai pegikut aliran Basrah seperti Ibn As-Siraj, Al-Akhfasy Ash-Shaghir, Az-Zajaj, Ibn Duraid, Nafthawaih, dan Mubraman, hingga pemuka aliran Baghdad awal seperti Ibn al-Khiyath dan Abu Bakar Ibn Mujahid, murid Tsa’lab. Beliau mengajar ilmu di Baghdad, kemudian pindah ke Askar Makram, sebagian kota Mosul, Aleppo, sebagian tanah Syam, hingga kembali ke Baghdad pada tahun 346 H. Murid beliau salah satunya adalah Ibn Jinni. Abu Ali Al-Farisi sangat terkenal dengan penguasaannya atas Qiyas sebagai landasan dari kaidah bahasa. Ibn Jinni Beliau adalah Abu al-Fath ‘Utsman bin Jinni Al-Mushili, ayah beliau adalah seorang budak romawi, dalam bahasa yunani dikenal dengan Gennaius. Ibn Jinni belajar nahwu dari Ahmad bin Muhammad Al-Mushili An-Nahwiy. Ibn Jinni banyak menelorkan karya hingga lima puluh buah. Ibn Jinni dikenal sebagai seorang tokoh bahasa yang intens dalam bidang ilmu at-tashrif, morfologi bahasa Arab. Kitab beliau yang terkenal adalah Al-Khasha’ish. Ibn Jinni adalah orang yang pertama kali menemukan ada keterkaitan makna dalam Isytiqaq Akbar dan juga teori tentang Tadlmin. Generasi Akhir Yang termasuk golongan ini adalah Ibn asy-Syajariy, Abu al-Barakat Ibn al-Anbariy (w. 577 H) yang menulis buku Al-Inshaf, kemudian Abu al-Baqa’Al-’Akbariy (w. 616 H), Ya’isy bin Ali bin Ya’isy (w. 643 H), Najmuddin Muhammad bin Ahmad Ar-Rodliy Al-Istirabadiy (w. 686 H), Mahmud bin UmarAz-Zamakhsyari (w. 538 H). Az-Zamakhsyariy adalah penulis Asas al-Balaghah dan juga Tafsir Al-Kasysyaf yang cukup terkenal. Beliau seorang penganut Mu’tazilah. 4. Nahwu Aliran Andalusia Gairah keilmuan di Andalusia berlangsung selama kekuasaan Bani Umayah di sana dari tahun 137 – 422 H. Ilmu Bahasa Arab berkembang di sana seiring perkembangan keilmuan Al-Quran. Di Cordova dan kota-kota lainnya banyak orang yang mengajarkan dasar-dasar Bahasa Arab melalui kajian teks dan syair. Mayoritas dari mereka adalah para qurra’ yang hidup mengabdi menjaga kemurnian bacaan Al-Quran. Mereka melakukan perjalanan ke timur, belajar bacaan Al-quran dan lain sebagainya, lalu kembali dan mengajar di Andalusia. Di Andalusia, terdapat seorang dengan nama Abu Musa Al-Hiwari. Az-Zubaidi menyatakan bahwa beliau adalah orang yang pertama kali mengajarkan ilmu fiqih dan Bahasa Arab di Andalusia. Beliau melakukan perjalanan ke timur pada masa pemerintahan Abdurrahman Ad-Dakhil (138 – 172 H) dan belajar kepada Imam Malik, Abu Zaid, Al-Ashmu’i, dan lain sebagainya. Adapun tokoh yang sezaman dengan beliau adalah Al-Ghazi bin Qais. Beliau adalah yang menyebarkan riwayat bacaan Nafi’ bin Abi Nua’im di Cordova. Tokoh nahwu di Andalusia pertama kali adalah Judiy bin ‘Utsman Al-Maururi(w. 198 H). Beliau belajar nahwu dari Al-Kisa’i dan Al-Farra’. Tokoh yang sezaman dengan beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah, seorang yang menyebarkan bacaan Warasy, ‘Utsman bin Sa’id Al-Mishriy, di Andalusia. Pada abad ketiga hijriyah banyak bermunculan tokoh qiraat dan juga sastrawan, diantaranya adalah Abdul Malik bin Habib As-Sulamiy (w. 238 H). Beliau adalah seorang ahli fiqih, hadits, nahwu, dan bahasa. Diantara karangan beliau adalah tentang I’rab al-Quran. Tokoh lainnya yang sezaman dengan beliau adalahMufarraj bin Malik An-Nahwiy yang menulis buku penjelasan atas karangan Al-Kisa’i. Kemudian terdapat nama Abu Bakar bin Khatib An-Nahwiy yang juga menulis kitab tentang nahwu. Fakta perkembangan awal ilmu nahwu di Andalusia adalah kuatnya aliran Kufah dalam kajiannya. Sedikit sekali perhatian terhadap nahwu Basrah hingga sampai tampilnya Al-Ufusyniq, Muhammad bin Musa bin Hasyim (w. 307 H) yang belajar Al-Kitab milik Sibawaih dari Ad-Dinauri di Mesir. Beliau kemudian mengajarkannya kepada para pelajar di Cordova. Kemudian terdapat namaAhmad bin Yusuf bin Hajjaj (w. 336 H). Beliau dikenal selalu membawa Al-Kitab dan mempelajarinya dalam keadaan luang maupun sibuk, sehat maupun sakit. Al-Kitab mendapatkan perhatian besar di Andalusia di bawah pengajaran Muhammad bin Yahya Al-Mahlabi Ar-Rabbahi Al-Jayyani (w. 353 H). Beliau seorang ahli filsafat, logika, dan Kalam. Beliau belajar nahwu di Mesir di bawah bimbingan Ibn an-Nuhas kemudian mengajar di Cordova. Tiap Jumat beliau mengadakan forum dialog tentang masalah-masalah Nahwu. Berkat peran beliau, kajian nahwu di Andalusia semakin mendalam. Tokoh yang sezaman dengan Ar-Rabbahi di Cordova adalah Abu ‘Ali Al-Qaliy Al-Baghdadiy yang masuk Andalusia pada tahun 330 H di masa pemerintahan Abdurrahman An-Nashir. Beliau belajar Al-Kitab dari Ibn Darastuwaih, murid Al-Mubarrad. Generasi setelah Ar-Rabbahi dan Al-Qaliy adalah para murid kedua tokoh tersebut. Mereka tidak hanya mempelajari nahwu Basrah saja, tapi juga selainnya. Diantara mereka adalah: 1. Abu Bakar bin al-Qutiyah (w. 367 H), murid al-Qoliy, penulis kitab Al-Af’al wa Tasharifiha yang dicetak di Leiden 2. Muhammad bin al-Hasan Az-Zubaidi (w. 379 H), murid al-Qoliy, penulis kitab Thabaqat an-Nahwiyyin wa al-Lughawiyyin yang sangat terkenal 3. Abu Abdillah Muhammad bin ‘Ashim al-’Ashimi (w. 382 H), murid Ar-Rabbahi 4. Ahmad bin Aban (w. 382 H), penulis dua buku penjelasan terhadap dua karya Al-Kisai dan Al-Akhfasy 5. Harun bin Musa Al-Qurthubi An-Nahwi (w. 401 H) Kemudian setelah runtuhnya Umayah di sana, muncullah tokoh nahwu sepertiAl-Iflili (w. 441 H), murid Al-’Ashimi, kemudian Ibn Sayidah adh-Dharir (w. 448 H). Ibn Sayidah disebut-sebut sebagai orang yang paling ‘alim dalam ilmu-ilmu bahasa Arab pada masa itu. Aliran Andalusia secara Independen Studi Nahwu di Andalusia mulai meluas sejak masa dinasti raja-raja. Para ahli nahwu memadukan para tokoh sebelum mereka mulai dari pengikut aliran Basrah, Kufah, maupun Baghdad. Mereka tidak hanya berpijak pada model Abu Ali al-Farisi dan Ibn Jinni dalam hal pilihan pendapat, mereka bahkan cenderung memperbanyak argumentasi hingga muncul pendapat-pendapat baru. Diantara mereka adalah al-A’lam asy-Syintamari (w. 476 H). Beliau dianggap sebagai orang yang pertama kali memunculkan metode nahwu ala Andalusia. Beliau sangat memperhatikan tentang pentingnya mempertanyakan tentang ‘illat kedua, misalnya adalah pertanyaan kenapa mubtada di-rafa’-kan, tidak di-nashab-kan saja ? Al-A’lam menulis buku penjelasan kitab Al-Jumal milik Az-Zajjaji Al-Baghdadi, dan meriwayatkan enam analogi penyair Jahili, yaitu Umru’ al-Qais, Zuhair, An-Nabighah, ‘Alqamah, Tharfah, dan ‘Antarah, secara bersanad hingga Al-Ashmu’i. Beliau belajar al-Kitab dari Ibn al-Iflili. Pada masa ini, para tokoh bahasa Arab di Andalusia terkenal bahkan ke dunia Arab, sampai-sampai Az-Zamakhsyari melakukan perjalanan dari Khawarizm ke Mekah untuk belajar kepada seorang ahli nahwu di sana, yaitu Abdullah bin Thalhah (w. 518 H). Tokoh yang sezaman dengan al-A’lam adalah Ibn as-Sayyid Al-Bathalius, Abdullah bin Muhammad (w. 521 H), lalu Ibn al-Badisy, Ali bin Ahmad bin Khalaf Al-Anshariy Al-Gharnathi (w. 528 H), dan Ibn ath-Tharawah, Sulaiman bin Muhammad (w. 528 H). Kemudian di masa al-Muwahhidin muncul tokoh antara lain: 1. Ibn ar-Rammak (w. 541 H), murid Ibn ath-Tharawah 2. Al-Aqlisyi (w. 550 H), murid Ibn As-Sayyid 3. Jabir Al-Isybili Al-Hadhrami (w. 596 H), murid Ibn ar-Rammak 4. Abu Bakar Muhammad bin Thalhah (w. 618 H), murid Al-Isybili 5. Ibn Thahir, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Thahir (w. 58x H), murid Ibn ar-Rammak, termasuk tokoh penting 6. As-Suhaili, Abu al-Qasim Abdurrahman bin Abdullah Adh-Dharir (w. 581 H), murid Ibn ath-Tharawah dan ibn Thahir, seorang ‘alim dalam bahasa arab, tafsir, dan ilmu kalam, penulis kitab ar-Raudh al-Anfi fi Syarh as-Sirah an-Nabawiyah, Nata’ij al-Fikr 7. Isa al-Jazuli Al-Maghribi (w. 607 H), beliau belajar dari Ibn Barriy di Mesir kemudian mengajar di Mariyyah dan kota-kota lainnya di Andalusia 8. Ibn Kharuf, Ali bin Yusuf bin Kharuf Al-Qurthubi (w. 609 H), belajar nahwu dari Ibn Thahir kemudian ke Maroko dan berkeliling di negeri-negeri Arab hingga sampai ke Aleppo, beliau terkenal dengan perdebatannya dengan As-Suhailli 9. Asy-Syalaubin, Abu Ali Umar bin Muhammad (w. 645 H), murid Al-Jazuli dan juga As-Suhaili, beliau mengajar selama 60 tahun menghasilkan para pembesar-pembesar nahwu. 10. Ibn Hisyam Al-Khadhrawi, Abu Abdillah Muhammad bin Yahya Al-Khazraji (w. 646 H), murid Ibn Kharuf 11. Ibn Madha’, Abu al-Abbas Ahmad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Madha’ Al-Lakhami (w. 592 H), beliau seorang penganut Dhahiri dalam bidang fiqih, terlalu berlebihan dalam kajian nahwu hingga hal-hal yang dianggap tak perlu. 12. Ibn ‘Ushfur, Abu al-Hasan Ali bin Mu’min bin Muhammad bin Ali bin Ushfur al-Hadhrami al-Isybili (w. 663 H), murid Asy-Syalaubin, banyak menulis karya dalam nahwu dan sharaf seperti Al-Muqarrab, Al-Mumta’, Mukhtashar al-Muhtasab, dan 3 syarah terhadap kitab Al-Jumal karya Az-Zajjaji. 13. Ibn Malik, Jamal ad-Din Muhammad bin Abdullah bin Abdullah bin Malik Ath-Tha’i Al-Jayyani (w. 672 H), beliau sangat terkenal memadukan berbagai macam pendapat dalam ilmu nahwu, beliau wafat di Damaskus. Beliau belajar kepada Asy-Syalaubin, kemudian berkelana ke timur sekitar tahun 630 H belajar kepada Ibn al-Hajib, kemudian menetap di Aleppo belajar kepada Ibn Ya’isy. Ibn Malik banyak menggunakan Al-Qur’an, lalu disusul hadits, lalu syair-syair Arab untuk sebagai bukti atas pendapatnya. Beliau banyak mengambil pendapat dari berbagai aliran nahwu disamping hasil ijtihad beliau sendiri. Karya monumental beliau adalah Alfiyyah yang terdiri dari 1000 bait tentang nahwu dan sharaf, kemudian Al-Kafiyah Asy-Syafiyah terdiri dari 3000 bait, Al-Muashshal fi Nazhm al-Mufashshal li az-Zamakhsyari, Tuhfah al-Maudud fi al-Maqshur wa al-Mamdud, dan masih banyak lagi hingga lebih dari 30 buah berupa nazham dan natsar. 14. Ibn al-Haj, Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad Al-Azdi (w. 651), murid Asy-Syalaubin, terkenal dengan karya-karya beliau men-syarah-i kitab Sibawaih, Al-Idhah karya Al-Farisi, dan kitab Sirr ash-Shina’ah karya Ibn Jinni. 15. Ibn adh-Dhaai’, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-Kitami al-Ubbadi (w. 680 H), murid Asy-Syalaubin, beliau banyak menulis sanggahan terhadap pendahulunya semisal Ibn ‘Ushfur 16. Ibn Abi ar-Rabi’, Ubaidillah bin Ahmad Al-Umawi Al-Isybili (w. 688 H), beliau menulis syarah bagi al-Kitab Sibawaih, Idhah al-Farisi, dan al-Jumalaz-Zajjaji 17. Ash-Shaffar, Qasim bin Ali (w. – H), murid Ibn Ushfur, menulis syarah bagi kitab Sibawaih dengan menyertakan banyak sanggahan kepada Asy-Syalaubin 18. Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim bin az-Zubair (w. 710 H) 19. Abu Hayyan, Atsir ad-Din Muhammad bin Yusuf al-Gharnathi (w. 745 H), murid Abu Ja’far ibn az-Zubair dan Ibn adh-Dhaai’ dalam bidang nahwu. Beliau banyak mempelajari tafsir, hadits, qiraat, dan tarikh hingga pengetahuan beliau ssangat mendalam dalam bidang-bidang tersebut. Di waktu muda beliau berkelana ke utara Afrika hingga sampai ke Kairo tahun 679 H dan belajar kepada Ibn an-Nuhas yang adalah murid Ibn Malik, kemudian beliau berpindah-pindah dari mulai Syam, Sudan, dan Hijaz. Beliau menulis tiga kitab syarah at-Tashil Ibn Malik, kemudian Manhaj as-Salik fi al-Kalam ‘ala Alfiyyah Ibn Malik, kemudian karangan tersendiri berupa 6 jilid dengan judul Al-Irtisyaf dan ringkasannya sejumlah 2 jilid. Beliau awalnya adalah penganut fiqih Zhahiri, kemudian berpindah mengikuti madzhab Syafi’i. 5. Nahwu Aliran Mesir Aktivitas keilmuan khususnya disiplin ilmu nahwu di Mesir telah muncul dan berkembang sejak masa-masa awal muncul dan berkembangnya nahwu secara umum. Dorongan untuk menjaga bacaan Al-Quran secara benar menjadi faktor utama berkembangnya nahwu di negeri Firaun ini. Pada masa awal, telah ada pengikut Abul Aswad yang mengajar disana, yaitu Abdurrahman bin Hurmuz (w. 117 H). Beliau inilah yang memberikan tanda titik pada mushaf Al-Quran sebagai tanda I’rab. Beliau juga guru salah seorang dari qurra’ bacaan Al-Quran yang tujuh, yaitu Imam Nafi’ bin Abi Nu’aim di Madinah. Bacaan cara Nafi’ ini kemudian berkembang di Mesir berkat muridnya, yaitu Warasy, seorang penduduk asli Mesir yang bernama lengkap ‘Utsman bin Sa’id. Nahwu aliran Mesir secara khusus mulai berkibar dengan hadirnya Wallad bin Muhammad At-Tamimi, seorang yang berasal dari Basrah tetapi tumbuh di Fusthath Mesir. Beliau berguru kepada Al-Khalil bin Ahmad di Iraq dan menulis buku hasil pembelajarannya bersama sang penemu ilmu ‘arudh tersebut. Salah satu tokoh yang sezaman dengan Wallad ini adalah Abul Hasan Al-A’azz yang belajar nahwu kepada Al-Kisa’i. Dari adanya dua tokoh inilah mulai muncul aliran baru paduan antara kedua aliran yang telah ada, yaitu Kufah dan Basrah. Dua tokoh inilah generasi pertama Nahwu Mesir. Generasi kedua Nahwu Mesir ditandai dengan munculnya Ad-Dinauri (w. 289 H). Beliau adalah Ahmad bin Ja’far, yang melakukan perjalanan ke Basrah untuk menuntut ilmu. Beliau belajar Al-Kitab milik Sibawaih dari Al-Mazini, kemudian ke Baghdad belajar kepada Tsa’lab, lalu pindah belajar kepada Al-Mubarrad. Setelah itu, beliau kembali ke Mesir dan mengajar Nahwu di sana dan menulis sebuah buku berjudul Al-Muhadzdzab yang beliau peruntukkan bagi para muridnya di sana. Seorang tokoh yang sezaman dengan Ad-Dinauri adalah Muhammad bin Wallad At-Tamimi (w. 298 H). Pada mulanya, beliau belajar nahwu dari ayahanda beliau, dan juga Ad-Dinauri, dan Mahmud bin Hassan. Kemudian, beliau menuju Baghdad dan belajar Al-Kitab kepada Al-Mubarrad. Setelah itu, beliau pulang, mengajar, dan menulis sebuah buku ajar dengan judul Al-Munammaq. Generasi berikutnya adalah Ali bin Husain Al-Hunna’i (w. 320 H), dan Abul ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin Wallad At-Tamimi (w. 332 H). Ali bin Husain adalah penulis Al-Mundhad. Beliau memadukan pendapat Basrah dan Kufah. Beliau dijuluki Kura’un Namli yang berarti kaki semut karena fisiknya yang pendek. Sedangkan Abul Abbas, beliau belajar nahwu dan mendapat salinan al-Kitab dari ayah beliau, Muhammad, dan juga belajar dari Az-Zajjaj di Basrah. Beliau dikenal seorang yang cerdik pandai. Selain kedua tokoh ini, terdapat pula Abu Ja’far An-Nuhas (w. 337 H), penulis kitab Ma’anil Qur’an dan I’rabul Qur’an. Beberapa tokoh yang muncul berikutnya pada masa dinasti Fathimiyyah adalah : 1. Abu Bakar Al-Idfawi (w. 388 H) 2. Ali bin Ibrahim Al-Haufi (w. 430 H), murid Al-Idfawi 3. Adz-Dzakir An-Nahwi (w. 440 H), murid Ibn Jinni 4. Ibn Babasyadz, Thahir bin Ahmad (w. 469 H) 5. Muhammad bin Barakat (w. 520 H) 6. Ibn al-Qaththa’, ‘Ali bin Ja’far As-Sa’di (w. 515 H) 7. Ibn Barriy (w. 582 H) 8.‘Utsman bin ‘Ali Al-Balathiy Al-Maushili (w. 599 H) Kemudian pada masa Al-Ayyubi : 1. Sulaiman bin Banin Ad-Daqiqiy (w. 614 H), murid Ibn Barriy 2. Yahya bin Mu’thi Al-Maghribi (w. 628 H), penulis Alfiyah Ibn Mu’thi, yang dikutip namanya oleh Ibn Malik dalam Alfiyyah-nya 3. Ibn ar-Ramah, ‘Ali bin Abdushshomad (w. 633 H) 4.‘Ali bin Muhammad As-Sakhawi (w. 643 H) Kemudian pada masa dinasti Mamalik dan seterusnya antara lain : 1. Bahauddin Ibn Nuhas Al-Halabiy (w. 698 H), beliau adalah guru Abu Hayyan 2. Ibn Ummi Qasim, Al-Hasan bin Qasim (w. 749 H) 3. Ibn al-Hajib, Jamaluddin ‘Utsman bin ‘Umar bin Abu Bakar (570 H – 646 H) 4. Ibn Hisyam, Jamaluddin Abdullah bin Yusuf bin Ahmad bin Abdullah bin Hisyam Al-Anshari Al-Mishriy (708 H- 761 H). Beberapa karya beliau yang perlu dicatat adalah Mughni al-Labib ‘an Kutub al-A’arib, Awdloh al-Masalik ila Alfiyyah ibn Malik, Syudzur adz-Dzahab, Qathru an-Nada wa Ballu ash-Shada, dan al-I’rab ‘an Qawaid al-I’rab. Kemudian generasi Mesir akhir antara lain : 1. Ibn ‘Aqil, Abdullah bin Abdurrahman (w 769 H), penulis syarah Alfiyyah Ibn Malik yang terkenal 2. Ibn ash-Sha’igh, Muhammad bin ‘Abdurrahman (w. 776 H) 3. Ad-Damamini, Muhammad bin Umar (w. 837 H), penulis Tuhfah al-Gharib, komentar atas Mughni al-Labib karya Ibn Hisyam, beliau berpindah-pindah hingga wafat di India 4. Asy-Syumunni (w. 872), juga menulis komentar atas Mughni al-Labib 5. Al-Kafiji, Muhammad bin Sulaiman Ar-Rumi (w. 879 H) 6. Khalid Al-Azhari (w. 905 H), beliau menghasilkan banyak karya, termasukSyarh at-Tashrih ‘ala at-Taudhih 7. As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar bin Muhammad (w. 911 H), beliau sangat terkenal dengan banyak karyanya dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam bidang bahasa, terdapat Asybah wa an-Nazhair, Ham’ul Hawami’, Bughyat al-Wu’at, dan lain sebagainya. 8. Al-Asymuniy, Nuruddin Ali bin Muhammad (w. 929 H) 9. Asy-Syanwani (w. 1019 H) 10. Ad-Danusyari (w. 1025 H) 11. Syaikh Yasin (w. 1025 H) 12. Al-Hifni (w. 1178 H) 13. Ash-Shiban, Muhammad bin ‘Ali (w. 1206 H), terkenal dengan kitab komentar beliau atas Alfiyyah Ibn Malik disamping karya-karya lainnya. 14. Ad-Dasuqi, Muhammad bin Arafah (w. 1230 H) 15. Hasan Al-Athar (w. 1250 H) B. Logika Aristoteles dan Nahwu Nahwu dikalim sebagai temuan asli para ahli bahasa Arab yang berpikir menggunakan logika natural mereka, tetapi dalam perkembangannya, nahwu menurut banyak ahli tidak lepas dari pengaruh filsafat yang berkembang dan sangat diminati saat itu. Filsafat dimaksud di sini bukanlah filsafat spekulatif, tetapi logika formal yang merupakan metode berpikir filosofis yang lalu menjadi bagian dari filsafat itu sendiri. Orang yang pertama menyatakan adanya pengaruh filsafat Yunani dan logika adalah Adalbertus Merx (1889), seorang orientalis berkebangsaan German. Pada akhir abad sembilan belas, ia menulis sebuah buku “Historia artis gramaticae apud Syros” (Târîkh Shinâ’at al-Nahwi al-Siryâni- Sejarah kreasi gramatika Suryani). Dalam buku tersebut ia menyatakan bahwa nahwu yang dikembangkan oleh bangsa Arab dipengaruhi oleh logika formal Aristoteles setelah sebelumnya berkembang di Syria. Pengaruh logika formal tersebut, menurutnya, terutama pada sejumlah terminologi nahwu dan sistem pembagian kalimat. Analisis Merx ini lalu diikuti oleh sejumlah orientalis lain dan akhirnya juga oleh sebagian penulis Arab sendiri baik yang pro maupun yang kontra. Inti dari berbagai kajian yang menyimpulkan adanya pengaruh filsafat terhadap nahwu ialah ada dua hal; pertama pengaruh dari segi metodologi, dan yang kedua dari segi terminologi. Menurut Merx, misalnya, ada beberapa teori nahwu yang memiliki akar Aristotelian, diantaranya adalah: (a) pembagian tiga kalimat (kata) dalam nahwu yaitu kata Isim, fi’il, dan huruf, menurut Merx, semua itu meniru konsep Yunani: onoma, rhema dan sundesmos, (b), konsep i’rab, Merx mengaitkannya dengan kata-kata Yunani hellenizein, hellenismos, (c), Konsep tentang gender (al-Jins) yang membedakan antara laki-laki (muzakkar) dan perempuan (mu’annats) berasal dari konsep “genos”, (d), konsep dzaraf (al-Dzarf) sebagai kata keterangan waktu dan tempat, menurut Merx berasal dari konsep Atistoteles tentang ruang dan waktu (space and time), (e), istilah hal (al-Hâl) oleh Merx dikaitkan dengan dua istilah Yunani hexis dan diathesis, (f) sedang konsep tentang khabar (al-Khabar, predicate), terpengaruh oleh konsep kategoroumenon. Analisis serupa juga disimpulkan oleh Rundgren (1976), seperti halnya Merx, ia juga menyimpulkan bahwa beberapa konsep nahwu Arab memiliki kesamaan dalam beberapa terminologi Yunani seperti istilah “sharf” (al-Sharf), mirip dengan “klisis” (flection), i’rab (al-I’râb), mirip dengan “hellenismos” (declension), istilah “musnad ilaih” (al-Musnad ilaih) mirip dengan istilah “hupokeimenon”, (subject), sedang khabar (al-Khabar) mirip dengan istilah “kategoroumenon” (predicate). Bahkan istlah “nahwu” sendiri oleh Rundgren dikaitkan dengan istilah “analogia” dan para ahli nahwu generasi pertama menurutnya menjadi pengkaji masalah analogi (kias) dalam kalimat. Sayangnya, Rundgren sama sekali tidak dapat membuktikan secara historis adanya keterkaitan terminologi “nahwu” dengan istilah Yunani itu, juga “aktifitas para nuhât” sebagai peminat pengetahuan “analogia”, sehingga pengkaitan itu hanya bersifat asumsi belaka, lagi pula secara semantik antara istilah “nahwu” dan “analogia” memiliki pengertian yang sangat berbeda. Rundgren juga mengklaim konsep “mustaqîm dan muhâl” yang diajukan oleh Sibawaih pada bagian awal karyanya “Kitâb” sebagai terkait dengan konsep Yunani tentang “arthos” dan “ adunatos”. Baik analisis Merx maupun Rundgren meskipun tampak dapat diterima, menurut Versteegh, lemah dari segi argumentasinya. Kelemahan paparan Merx adalah dari segi soal waktu atau kronologinya. Sebab, teori-teori nahwu yang dikembangkan oleh bangsa Arab berlangsung pada priode dimana filsafat maupun logika formal Yunani belum dikenal atau belum berkembang di sana, karena kajian-kajian nahwu pertama berlangsung sebelum adanya penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Sedangkan Rundgren, menurut Versteegh, terlampau menjeneralisir keterkaitan antara nahwu dengan filsafat, terutama yang terkait dengan beberapa kategori atau terminologi tanpa dapat menegaskan dari segi apa dan dimana letak kesamaan antara keduanya. Oleh karena itu, Versteegh mengajukan sebuah teori lain tentang pengaruh filsafat terhadap nahwu ini. Menurutnya, pengaruh filsafat terhadap nahwu ada yang bersifat langsung (direct influence) dan bersifat tidak langsung (indirect influence). Yang pertama, (direct influence) terjadi pada masa penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab pada abad ke tiga dan ke empat hijriah, sedangkan yang kedua (indirect influence) berlangsung pada saat adanya kontak antara kebudayaan Arab dan Yunani (Hellenis) di wilayah atau provinsi kerajaan Bizantium yang dikuasai Islam. Di wilayah penaklukan inilah bangsa Arab bertemu dengan kebudayaan Hellenistik yang diajarkan di sekolah-sekolah di seluruh imperium Bizntium. Kemudian mereka banyak meminjam beberapa element pengajaran gramatika Yunani tanpa harus mengambilnya secara keseluruhan. Beberapa terminologi nahwu yang terpengaruh oleh terminologi gramatika Yunani menurut Versteegh diantranya ialah: -Harf (al-Harf) = stoicheion – “particle” -I’rab (al-I’râb) = hellenismos -.”declension” -Sharf (al-Sharf) = klisis – “inflection” -Raf’ (al-Raf’u) = orthe (ptosis) – “nominative” -Ta’addin (al-Mut’a’ddi) = metabasis – “transitivity” -Haraka (al-Harakah) =kinesis – “vowel” -‘Ilal (al-‘Ilal) = pathe – “sound changes” -Kalâm/Qaul (al-Kalâm/al-Qoul) = logos/lexis – “sentence/utterance” -Fâida (al-Fâidah) = autoteleia – “meaningfulness” -Ma’nâ (al-Ma’nâ) = lekton – - “meaning”. Uraian di atas menjelaskan bahwa baik Merx, Rundgren maupun Versteegh berkesimpulan bahwa nahwu baik dari segi konsep maupun terminologinya sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani, terutama Aristotelian. Yang membedakan ketiga kesimpulan itu adalah dari segi proses keterpengaruhannya. Menurut Merx, pengaruh filsafat terhadap nahwu adalah melalui karya-karya filsafat Yunani setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Syria, sedangkan menurut Rundgren, pengaruh filsafat itu telah ada jauh sebelumnya, yaitu melalui terjemahan karya-karya filsafat ke dalam bahasa Parsi yang dilakukan oleh Akademi Jundisyapur, baru dari bahasa Parsi ini diterjemahkan ke dalam bahasa Syria. Sementara manurut Versteegh, pengaruh filsafat terhadap nahwu berlangsung dengan dua cara: “langsung” (proses terjemahan karya-karya Yunani) dan “tidak langsung” (mengadopsi sistem pengajaran gramatika Yunani) ketika terjadi akulturasi antara budaya Arab dan budaya Hellenis di wilayah penaklukan Islam di imperium Bizantium. Itulah beberapa pandangan para orientalis Barat terhadap pengaruh filsafat atas nahwu yang juga diamini oleh beberapa pakar bahasa di Timur tengah. Hanya saja, kebanyakan kajian-kajian linguistik terkait dengan persoalan ini oleh para pakar di Timur tengah tidak lebih komprehensive dibanding kajian para orientalis. Hampir seluruh literatur Arab yang mendukung adanya pengaruh filsafat terhadap nahwu mengacu dan mengutip pernyataan Abu ‘Ali al-Fârisi yang mengkritik sahabatnya, al-Rummâni , yang dianggap telah berlebihan memasukkan unsur-unsur filsafat dalam kajian nahwu. Al-Fârisi berkata:”jika nahwu seperti yang dikembangkan al-Rummâni, maka ia tidak terkait sama sekali dengan nahwu yang kami pahami, begitu pula nahwu yang kami kembangkan, ia tidak terkait samasekali dengan nahwu yang ia kembangkan”. Pernyataan al-Farisi inilah kemudian oleh para penulis Arab dijadikan justifikasi adanya pengaruh filsafat terhadap nahwu meskipun seringkali mereka tidak menyertakan contoh konkrit sebagai pembuktian atau analisisnya. Sebagian lain memperkuat pandangan yang dikemukakan orientalis di atas. Abdurrahmân al-Hâj Shâleh, misalnya, menduga bahwa definisi “huruf” (al-Harf) yang dikemukakan oleh Sibawaih merupakan peniruan pengertian “sundesmos” (al-Ribâth) yang dikemukakan Aristoteles. Menurut Aristoteles, sundesmos adalah suatu kalimat yang tidak memiliki makna apa-apa, lalu Sibawaih pun mendefinisikan huruf sebagai sesuatu yang juga tidak menunjukkan arti atau pengertian apapun.[19] Demikian pula yang dikatakan Jawwâd ‘Ali, menurutnya tidak tertutup kemungkinan bahwa pembagian kalimat (Arab) atau kata (Indonesia) oleh ‘Ali bin Abi Thalib dan Abu al-Aswad al-Du’ali ke dalam “isim, fi’il dan huruf” terinspirasi oleh kontak mereka dengan komunitas intelektual di Hira atau dengan para intelektual Irak yang telah mengenal gramatika dan ilmu bahasa saat itu.[20] Senada dengan pendapat sebelumnya, Ishâq Sâka juga mengatakan bahwa sistem pembagian kalimat (kata) Arab ke dalam “isim, fi’il dan huruf” sama persis pembagian kalimat dalam bahasa Yunani yang didasarkan konsep logika. Pendapat-pendapat di atas menjadi kurang berbobot sebab tidak disertai pembuktian maupun analisis dari segi persamaan antara konsep kalimat dan pembagiannya dalam bahasa Yunani dan bahasa Arab. Pendapat yang sedikit lebih komprehensif dikemukakan oleh Ibrâhîm Salâmah Mazkûr. Dengan merujuk beberapa karya Aristoteles seperti “Organon dan al-‘Ibârah (Elocution) lalu membandingkannya dengan karya Sibawaih, “Kitâb”, Ibrahim memulai dengan pembagian kalimat oleh Aristoteles yang ia jelaskan dalam mukadimah bukunya “al-‘Ibârah” (Elocution). Dalam buku tersebut, Aristoteles menyebutkan dua pembagian kata yaitu kata nominal (isim) dan verbal (fi’il). Yang pertama oleh Aristoteles didefinisikan sebagai “sebuah kata yang menunujukkan (memiliki) suatu makna dan tidak mengandung pengertian waktu di dalamnya”, sementara yang kedua (kalimat verbal) didefinisikan sebagai “sebuah kata yang menunjuk (memiliki) makna sekaligus terkandung waktu di dalamnya”. Kemudian pada bukunya yang lain yaitu “Topico-Tpiques” (al-Thûbiqo atau al-Jadal” Aristoteles menyebutkan satu lagi pembagian pembagian kalimat yang ia sebut dengan “al-Adât”. Pembagian kalimat Aristoteles di atas persis seperti pembagian kalimat dan definisinya dalam bahasa Arab oleh Sibawaih. Anehnya, kata Ibrahim, apa yang disebut sebagai “huruf” oleh Sibawaih, oleh ahli nahwu Kufah disebut dengan “adat” yang tampaknya mereka ingin mempertahankan secara utuh terminologi-terminologi mantiq. Disamping mengadakan perbandingan, Ibrahim juga mengajukan argumen historis yang mengindikasikan adanya pengaruh filsafat Yunani ke dalam nahwu yaitu bahwa kemunculan gramatika Suryani di sekolah atau akademi Nasibin pada abad keenam masehi berdekatan dengan munculnya ahli nahwu generasi pertama, kemudian diikuti oleh penerjemahan karya logika Aristoteles ke dalam bahasa bahasa Arab oleh Abdullah Ibnu al-Muqaffa’, juga bergurunya beberapa orang Suryani yang banyak berjasa menerjemahkan karya-karya Yunani semisal Hunain bin Ishaq kepada Khalil bin Ahmad. Ini semua, menuru Ibrahim, membawa pengaruh bagi para penggagas dan perumus nahwu. Itulah beberapa pandangan yang mendukung adanya pengaruh filsafat terhadap nahwu baik yang dikemukakan oleh analis Barat maupun Timur sendiri. Sebagai penyeimbang pendapat-pendapat di atas, tidak fair kiranya jika di sini tidak dikemukakan pendapat yang kontra terhadap pandangan-pandangan di atas. Oleh karena itu, poin berikut ini menyajikan pandangan beberapa tokoh yang menyanggah pandangan sebelumnya. C. Nahwu dan Gramatika Transformatif Tata bahasa Transformasi Generatif atau biasa disebut Tata bahasa Generatif Transformatif adalah sebuah konsep kajian kebahasaan yang diperoleh oleh Noam Chomsky. Pada thun 1957 Chomsky mengenalkan gagasan barunya melalui sebuah buku yang berjudul Syntactic Structure. Teori transformasi merupakan salah satu aliran linguistik yang berasumsi bahwa pembelajaran bahasa adalah sebuah proses pembentukan kaidah, bukan sebagai pembentukan kebiasaan, seperti yang diyakini oleh aliran strukturalisme dan didukung oleh behaviorisme. Teori kebahasaan transformasi ini merupakan teori (mutakhir) yang dirintis oleh Linguis Amerika Serikat Noam Chomsky yang hendak mempertahankan asumsi dan hipotesis mengenai yang dikemukakan: 1. Perbedaan antara competence dan performance. 2. Pembedaan antara deep structure dan surface structure 3. Aspek kreatif bahasa atau dikatakan pula sifat dinamis bahasa. Chomsky berpendapat bahwa tujuan dari semua teori bahasa hendaknya dihubungkan dengan ilmu tentang kaidah-kaidah bahasa yang ada di dalam akal si penutur bahasa, yakni semua kaidah pengetahuan bahasa menjadi patokan. Dengan pengetahuan kaidah bahasa itu menjadikan penutur bahasa tertentu bisa melahirkan dan menginovasikan semua kalimat-kalimat dengan benar di dalam bahasa yang di maksud. Ia juga bisa menjauhkan dirinya dari melakukan kesalahan dalam membuat kalimat yang tidak benar. Dalam sebuah pembelajaran, aliran ini berasumsi bahwa pembelajaran bahasa adalah sebuah proses pembentukan kaidah bukan pembentukan kebiasaan. Aliran ini juga menjelaskan adanya struktur lahir dan struktur batin. Menurut aliran ini bahasa merupakan fitrah, maka belajar bahasa menurut aliran ini merupakan sebuah proses manusiawi yang menghendaki adannya aktualisasi potensi kebahasaan. Teori gramatika transformasi generative (an-nahw at-tahwiliy at-taulidiy) mempunyai tiga sendi utama, yaitu: Pertama, kaidah struktur ungkapan, yaitu kaidah yang menjelaskan bahwa kalimat ungkapan itu terstruktur dari ungkapan-ungkapan, sedangkan ungkapan-ungkapan itu terbentuk dari kata-kata. Kedua, kaidah transformasi, yaitu sejumlah aturan yang harus diterapkan secara ketat. Sebagian kaidah itu bersifat keharusan (ijbariy/obligatori) dan sebagian lagi bersifat pemilihan (ikhtiyariy/optional). Ketiga, kaidah-kaidah morfologi bunyi, yaitu kaidah yang menetapkan bentuk akhir suatu kata yang diucapkan atau ditulis. Dari teori di atas telah diketahui teori Transformatif-Generatif dan beberapa penjabarannya. Dapat diterapkan dalam pembelajaran Bahasa Arab, dalam hal ini pada pembelajaran Nahwu dan Shorf. Dengan mengacu pada pola-pola transformasi kalimat yang dapat dikembangkang melalui: Penghilangan/pembuangan (al-hazf/delation) seperti: كتب أحمد درسا جديدا← كتب أحمد درسا Penempatan (al-ihlal) seperti: الله سميع عليم predikatnya ditempati kata lain, sehingga menjadi الله غفور رحيم Perluasan (al-ittisa) seperti perluasan dengan sifat atau idhafah: الجامعة مشهورة menjadi الجامعة الكبيرة مشهورة الباب مفتوح menjadi باب الفصل مفتوح Penyingkatan (al-iktishar/reduction) seperti: رئيس القرية جديد menjadi رئيس جديد Penambahan (az-ziyadah/additional) yakni penambahan unsur baru dalam kalimat dengan struktur athfi seperti: الطالب نشيط menjadi الطالب والمدرس نشيطان Pengulangan urutan (i’adah at-tartib/permutation) misalnya dengan merubah jumlah ismiyyah menjadi jumlah fi’liyyah atau sebaliknya, seperti: يحضر الطلاب menjadi الطلاب يحضرون . KESIMPULAN Setelah tersusunnya ilmu gramatikal bahasa Arab dan banyaknya para ulama yang telah memperjelas ilmu tersebut. Hal ini, mengakibatkan timbulnya aliran-aliran dalam ilmu nahwu, yang disebabkan adanya khilaf dikalangan para ulama nahwu dalam menentukan posisi (mahal) kata dalam suatu kalimat. Beda persepsi ini, tidak luput dari pengaruh daerah para ulama tersebut menetap. Diantara aliran-aliran ilmu nahwu (Madaaris an-Nahwiyah) tersebut: aliran (madrasah) Al-Basrah, Kufah, Baghdad, Andalus dan Mesir. Namun, aliran (madrasah) yang paling terkenal dalam kitab-kitab nahwu hanya dua, Basrah dan Kufah. DAFTAR PUSTAKA Dlaif, Syauqi. 1968. Al-Mada:risun Nahwiyyah. Mesir : Darul Ma’arif. Subarkah, Fitrah. Sejarah dan Pembaharuan Nahwu. http://fitrahidea.wordpress.com/2012/06/16/sejarah-dan-pembaharuan-nahwu/. diakses 13 September 2012 Abdillah, Zamzam Afandi. Pembaharuan Ilmu Nahwu: Kajian Epistemologis. http://zamzamafandi.blogspot.com/2008/06/pembaharuan-ilmu-nahwu-kajian.html. diakses 13 September 2012 ______. Studi Nahwu Mazhab Bashrah. http://forumstudinahwu.blogspot.com/2009/05/nahwu-mazhab-basrah.html. diakses 18 September 2012 Antono, Irfan. Nahwu Aliran Baghdad (Tokoh-Tokoh). http://irfanantono.wordpress.com/2009/11/17/nahwu-aliran-baghdad-tokoh-tokoh/, diakses 18 September 2012 Antono, Irfan. Nahwu Aliran Andalusia (Tokoh-Tokoh).http://irfanantono.wordpress.com/2009/11/17/nahwu-aliran-andalusia-tokoh-tokoh/. diakses 18 September 2012 Antono, Irfan. Nahwu Aliran Mesir (Tokoh-Tokoh). http://irfanantono.wordpress.com/2009/11/17/nahwu-aliran-mesir-tokoh-tokoh/. diakses 18 September 2012 Abdillah, Zamzam Afandi. Pengaruh Filsafat Terhadap Nahwu. http://rumahterjemah.com/lainnya/pengaruh-filsafat-terhadap-nahwu/. diakses 18 September 2012 Hera. Aplikasi Aliran Transformatif-Generatif Dalam Pembelajaran Bahasa Arab. http://herasukses.wordpress.com/2012/05/15/aplikasi-aliran-transformatif-generatif-dalam-pembelajaran-bahasa-arab-2/. diakses 18 September 2012

No comments:

Post a Comment

Pragmatisme Manusia Moderen

Pragmatisme Manusia Moderen Sejak bergulirnya Era reformasi Indonesia sudah Berganti 5 kali kepemimpinan Presiden Namun ekonomi bukan semak...